Monday, August 5, 2019

#MATILAMPU: STORY #3



Aku masuk ke dalam lift. Di dalamnya sudah ada empat orang lain. Seorang pria berjas (kemungkinan teman kantornya di lantai lain), seorang wanita berusia uzur (mungkin klien di firma hukum lantai 4), serta seorang wanita dan anak laki-lakinya yang masih SMA (mungkin keluarga dari salah satu pegawai di sini).


“Lantai berapa, Mbak?” tanya pria berjas itu dengan sopan.

“Lantai 12.” jawabku.

Lift itupun mulai bergerak. Pria itu menatap jamnya, mungkin terburu-buru hendak menghadiri sebuah rapat. Wanita dan anaknya itu tampak bercakap-cakap. Sepertinya si anak terlibat masalah dan terpaksa dipulangkan. Sementara sang nenek yang berpakaian seperti sosialita terlihat membaca-baca dokumen di tangannya.

Tiba-tiba lift itu terhenti.

“Lho, kenapa ini?” jerit wanita sosialita itu, “Ini ... ini kan baru lantai 10.”

Sang pria dengan panik memencet-mencet tombol, namun tak ada satupun lampu yang menyala.
“Sepertinya liftnya rusak!”

“Apa? Rusak?” jerit sang ibu. Ia tampak megap-megap, kesulitan mengatur napas. Kemungkinan ia menderita klaustrofobia.

“Ibu, tenanglah!” pinta anak laki-lakinya.

“Te ... telepon polisi!” sang nenek perlente itu mengangkat Apple-nya.

“Percuma, Bu! Takkan ada sinyal di dalam sini.” aku hapal, sebab sudah hampir tujuh tahun aku bekerja di sini.

“Aku ada janji lima menit lagi! Ini urusan mendesak!” seru sang nenek.

“Kita semua juga ada urusan di sini, nggak cuman kamu!” jawab sang pria dengan ketus.

“Apa katamu? Dimana kau bekerja? Akan kusuruh bosmu memecatmu!”

“Hei, diam kamu nenek cerewet!”

“Sudah! Berhenti! Jangan bertengkar!” aku berusaha melerai mereka. Tiba-tiba terdengar seruan panik sang pemuda SMA itu.

“Ibu! Ibu!” ia berusaha membangunkan ibunya. Namun wanita paruh baya itu kini tergeletak pingsan di lantai lift.

“Astaga!” jeritku. Namun tiba-tiba saja lampu lift mati. Kini tak hanya terjebak, sekarang kami diselimuti kegelapan dan tak mampu melihat apapun.

“IBU! IBU!” teriakan sang pemuda itu makin menggema.

“Tenanglah!” ujarku. “Dia akan baik-baik saja.”

“Bukan itu! Aku nggak bisa menemukannya!”

“Apa?”

“Dia barusan di sini tapi dia hilang!”

“Apa maksudmu?” tanyaku tak percaya.

“Dia lenyap begitu sa ...”

“AAAAAAAAA!!!!” tiba-tiba saja terdengar teriakan yang amat mengerikan. Asalnya dari nenek itu.
“Astaga! Apa yang terjadi?” jeritku.

“Kau! Kau pasti pelakunya!” tiba-tiba terdengar suara perkelahian. Pemuda itu tampaknya menyerang pria berjas itu.

“Hei, aku tidak ...” serunya, “AAAAAAAAA!!!”

Kemudian suara pria itu tak terdengar lagi.

“A ... apa yang kau lakukan?” tangisku.

“Bu ... bukan aku ... “ muda itu terdengar panik, “Aku tadi hanya mencengkeram kerah jasnya dan tiba-tiba saja ada yang menariknya. Asalnya dari ....AAAAAAAAA!!!”

“Hei, kau dimana? Apa yang terjadi? AAAAAA!!!” aku berteriak sekeras mungkin ketika sesuatu tiba-tiba mencengkeram tanganku. Kuku-kukunya terbenam di lengaku, bahkan mencakarku hingga rasa perih menjalar ke seluruh tubuhku. Kurasakan darah segar mulai mengalir dari lukaku.

“PERGI KAU! PERGI!” kulemparkan tasku untuk mengusirnya. Sepertinya itu berhasil, sebab ia melepaskanku. Tanpa banyak pikir, aku langsung memencet tombol emergency di panel lift dan berteriak di speakernya.

“TOLONG AKU! KUMOHON TOLONG AKU!”

Tiba-tiba lampu menyala dan pintu lift terbuka. Beberapa pria terlihat cemas menatapku, sementara lorong di belakang terlihat remang-remang.

“Nona, kau tidak apa-apa.”

“Ada ... ada ...” aku menoleh, tapi tak ada siapapun di sana. Hanya ada tetesan darah yang berasal dari luka di lenganku tercecer di lantai.

“Apa yang terjadi?” tanya mereka. Akupun menjelaskan. Namun mereka terlihat tak percaya.

“Lift ini dilengkap CCTV yang akan terus merekam walaupun listrik padam. Ayo kita lihat bersama di ruang kontrol.”

Akupun mengikuti mereka dan tercekam.

Saat memutar video itu, terlihat aku masuk ke dalam lift sendirian. Tak ada seorangpun di sana kecuali aku. Tak ada pria berjas, nenek-nenek, ataupun wanita dengan putranya itu. Hanya ada aku.
Dan ketika lift berhenti karena mati lampu, aku hanya berdiri di sana diam, sembari menatap ke arah kamera CCTV. Aku menyunggingkan senyum lebar dan mulai berputar-putar. Tubuhku berputar-putar, seperti baling-baling. Video itu tak memiliki suara, namun terlihat jelas dari ekspresi wajahku bahwa aku sedang tertawa-tawa.

Kemudian aku mengamuk dan mencakari lenganku sendiri hingga berdarah.

Dan saat itulah mereka menyelamatkanku.

7 comments: