Thursday, October 15, 2015

SILENT HILL – DETOX: CHAPTER 1

 

CURSED TOWN

by: Dave Cahyo

SH3_thumb[1]

Mizuki Kaneshiro menatap dengan muram papan nama kota itu ketika turun dari bis.

SILENT HILL

Populasi: 200 jiwa.

Ia menyeret tas beroda yang ia turunkan dari atas bus, sementara bus yang tadi ia tumpangi segera melaju pergi. Ia menoleh ke kaca-kaca yang menyembunyikan wajah para penumpang di baliknya. Terlihat macam-macam ekspresi mereka ketika melihat papan nama itu: jijik, takut, ngeri; semuanya adalah tatapan negatif.

Mizuki menatap kembali kota itu. Melihat warna-warna cat rumah yang cerah serta pohon-pohon berbunga yang tumbuh rindang, takkan ada yang menduga ini adalah kota Silent Hill yang sama. Kota itu memang berada di atas sebuah bukit, seperti namanya.

Menganggap kota ini sebagai kota yang menyandang nama horor sebenarnya adalah salah kaprah. Dari huruf kanjinya, kata “silent” sebenarnya lebih tepat diartikan “damai”. Para penghuni pertamanya memilih lokasi ini untuk membangun kota baru karena kesunyiannya. Tak ada binatang liar yang tinggal di sini, sehingga dianggap aman bagi penduduk. Namun segera, setelah kota ini berdiri, para penduduk-pun mengetahui mengapa tempat ini begitu sunyi, jauh dari keriapan makhluk melata ataupun kicauan nyanyian burung-burung dari hutan di sekitarnya.

Karena gas beracun dalam tanahnya.

Tanah di tempat ini mengadung radon – zat radioaktif yang mengeluarkan radiasi mematikan –yang perlahan membuat para penduduk menjadi sakit. Para penduduk justru salah mengira semua penyakit dan kematian di kota ini disebabkan oleh Alessa, seorang gadis yang dituduh penyihir karena fisiknya berbeda dengan yang lain. Ia adalah “gaijin” – orang asing – yang kedatangannya dianggap membawa tulah bagi kota mereka. Maka, mereka kemudian mengadili Alessa dengan cara mereka sendiri: membakarnya hidup-hidup. Alessa berhasil diselamatkan, namun itu justru menjadi kesalahan fatal. Seharusnya mereka membiarkannya mati saja ... sebab walaupun selamat, ia menderita luka-luka tak tersembuhkan yang membuatnya menjerit kesakitan setiap malam.

Hingga entah bagaimana, semua dendam, semua kebencian yang ia miliki mengejawantah, membunuh tak hanya penduduk kota Silent Hill yang tersisa, namun juga siapapun yang kurang beruntung untuk menginjakkan kaki mereka di kota terkutuk ini.

Mizuki selesai membaca sinopsis game “Silent Hill” yang dipegangnya.

“Huh, kutukan apaan.” Mizuki mendorong tasnya menaiki bukit. Beberapa mobil melewatinya dan beberapa anak tampak asyik bermain di jalanan yang belum begitu ramai. Sejak ia tinggal di Tokyo, ia sudah cukup sering mendengar omong kosong tentang Silent Hill ini. Kota ini hanyalah kota biasa yang belum ramai, karena masih dalam perkembangan developernya. Beberapa bangunan masih belum selesai dibangun. Namun ini justru menjadi keuntungan tersendiri bagi Mizuki. Di sini ia jauh dari anak-anak apatis yang setiap hari kerjaannya hanya bermain android dan game, tanpa mempedulikan teman sungguhan yang berada di samping mereka.

Mizuki berada di sini karena hukuman kedua orang tuanya. Sejak pertengkaran dengan sesama murid SMA-nya yang berakhir dengan perkelahian, ia dikeluarkan. Orang tuanya terlalu marah dan kesal untuk mencarikannya sekolah baru di Tokyo. Apalagi ini adalah insiden ketiga dalam dua tahun terakhir. Karena itu, bisa dibilang mereka sudah muak dan mengusirnya ke sini.

Namun apa boleh buat? Mereka-lah yang selalu mengganggunya, padahal Mizuki hanya ingin dibiarkan sendiri. Dan Mizuki juga hanya mengangkat tangannya saja ke arah mereka kok. Ia tak menduga mereka akan terpental hingga menghantam dinding, menabrak jendela kaca dan memecahkannya, bahkan ada yang terpental jatuh dari balkon lantai dua. Ia sama sekali tak sengaja.

Mizuki berhenti di rumah bercat biru nomor 15. Ini pasti rumah bibinya, Maruko. Ia menoleh ke rumah yang ada tepat di rumah tersebut. Rumah itu berwarna merah dengan dinding bata terlihat jelas. Di jendela lantai dua yang tak berbalkon, tampak wajah seorang kakek tua menatap ke arah jalan. Kemudian matanya menatap tepat ke arahnya.

Gadis itu bergidik melihat tatapan kakek itu dan segera menolehkan pandangannya. Ia memencet tombol bel pintu dan seorang wanita memakai celemek kemudian keluar.

“Tante Maruko?” tanya Mizuki. Gadis itu hampir tak mengenalinya. Wanita itu kini tampak bertambah tua. Terakhir kali Mizuki melihatnya ketika dirinya masih berumur 5 tahun. Kala itu keluarga mereka menghadiri upacara pemakaman pamannya, suami Tante Maruko.

“Mizuki ... ayo masuk. Jangan lupa lepaskan sepatumu dan taruh di tempatnya ya.”

Mizuki membuka pintu pagar dan masuk. Sejenak ia kembali menoleh, melihat jendela rumah merah di belakangnya.

Wajah kakek itu tak ada lagi di sana.

***

 

Ketika Mizuki naik ke kamarnya di lantai dua, ia mendengar suara bunyi senapan berderu. Ia menengok ke sebuah kamar yang dilewatinya di atas tangga dan melihat punggung seorang pemuda tengah asyik bermain game tembak-tembakan. Sepertinya ia tengah menembaki zombie. Ah, grafiknya murahan sekali, pikir Mizuki.

“Hei, ini game jadul, jangan salahkan grafiknya. Yang penting dari game itu level kesulitannya, bukan gambarnya.” tiba-tiba pemuda itu berseru dan menoleh, masih mengenakan headphone.

Mizuki terkejut.

“Ah, sial. Aku lupa kemampuan ini menurun dalam keluarga.”

“Aku cuman bisa melakukannya saat bermain game, saat itu otakku benar-benar berkonsentrasi. Sialnya aku nggak bisa melakukannya di sekolah untuk membaca pikiran guruku tentang soal-soal ujian yang akan datang.”

“Itu masalahmu, Ken.”

Mizuki ingat benar anak ini. Kenichi, putra satu-satunya tantenya. Masih nakal seperti dulu, Mizuki bernostalgia.

“Kau tambah tua saja seperti ibu-ibu.” ejek Ken.

“Huh! Sana lanjutkan saja game-mu!” Mizuki menutup pintu kamar pemuda itu dengan kesal.

***

 

Mizuki merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Aduh, keluhnya, ini mimpi buruk. Kota ini bakalan berpuluh-puluh kali membosankan ketimbang desa neneknya. Mizuki bahkan tak yakin ada bioskop di kota ini. Belum lagi ia harus tinggal dengan sepupunya yang menyebalkan itu.

Mizuki bangkit dan menoleh ke kaca jendelanya. Dari sana, rumah bercat merah itu tampak jelas. Rasa penasaran Mizuki mendorongnya untuk mendekati jendela dan mengintip ke arah rumah itu. Pintu depan rumah merah itu terbuka. Mungkin kakek itu ingin jalan-jalan, pikir Mizuki. Namun betapa terkejutnya dia ketika bukannya kakek-kakek yang keluar, melainkan seorang pemuda bule yang tampan.

“Wow! Ada cogan!” pekiknya tanpa sadar, “Lumayan nih untuk ukuran kota kecil kayak gini. Turun aaaaah ...”

Mizuki segera beranjak membuka pintu dan berjalan ke arah tangga. Dari kamar sepupunya (yang pintunya masih tertutup), ia mendengar sahutan, “Dasar tante-tante ... nggak bisa lihat cowok cakep dikit.”

Mizuki menjulurkan lidah ke arah pintu itu dan bergegas menuruni tangga. Ia membuka pintu dan benar, pemuda itu berada di depan pekarangan rumah merah itu, hendak membuka pintu mobilnya.

“Hi, how are you?’ ucap Mizuki, “I’m your new neighbour.”

Pemuda itu menatapnya. Matanya biru dan rambutnya yang pirang bergelombang. Sepertinya ia cucu kakek yang tadi, sebab kakek tadi juga memiliki kulit seputih salju.

“Aku bisa bahasa Jepang kok. Aku baru melihatmu hari ini. Apa kau baru pindah ke rumah Nyonya Maruko?”

“Ya, aku keponakannya. Namaku Mizuki.” gadis itu mengulurkan tangannya sambil berharap ia bisa mengendalikan kekuatannya sehingga pemuda yang baru dikenalnya ini tak terpental sampai ke mobilnya.

“Kau bisa memanggilku Ben.” pemuda itu tersenyum. “Aku tinggal di rumah merah ini.”

“Ya, aku sudah tahu.” jawab Mizuki, “Kau tinggal bersama kakekmu kan?”

Ben tertawa lagi, “Oh, kau sudah melihatnya ya? Maaf ya jika kakekku membuatmu terganggu. Kakek Richard sudah pikun jadi wajar kalau bicaranya meracau.”

“Oh, aku baru sekali melihatnya kok, belum berbicara dengannya. Kau tinggal di sini bersama orang tuamu?”

Ia menggeleng, “Aku hanya berdua di sini bersama kakekku. Aku adalah agen developer di sini. Bahkan aku dulu yang menjual rumah biru itu ke tantemu.” Ben menunjuk ke rumah yang kini didiami Mizuki.

“Oh, kau pasti mau berangkat kerja ya? Maaf mengganggumu.” Mizuki menunduk.

“Tak apa-apa.” jawab Ben, “Permisi aku mau berangkat dulu. Kita bisa ngobrol lagi kapan-kapan.”

Mizuki melambaikan tangannya ketika pemuda itu masuk ke dalam mobil dan meluncur pergi. Pemuda itu sekilas membalas lambaian tangannya dari dalam mobil.

“Hmmm .... Ben ya?”

***

 

“Kau sudah bertemu dengan Ben ya?”

Mizuki tersentak melihat seorang gadis berseragam sekolah sailor-fuku tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya ketika ia membuka pintu.

“Si ... siapa kau?”

Dengan santai gadis berambut panjang itu bangkit dari kasur yang tadi didudukinya dan membuka lemari pakaian. “Jangan lupa menaruh kapur barus di dalam lemari. Kau tak ingin pakaianmu habis dimakan rayap.”

“Apa-apaan ini? Kenapa kau ada di dalam kamarku?”

“Dan showernya sering mampet. Kalau kataku sih lebih baik mandi menggunakan gayung saja.”

“Kok kau tahu banyak tentang kamarku?” tanya Mizuki dengan curiga, “Apa kau pernah tinggal di sini?”

“Namaku Yuri.” gadis itu menatapnya dengan mata yang misterius. Mizuki seperti pernah melihat wajahnya sebelumnya, namun ia tak bisa mengingatnya.

“Apa kau dulu tinggal di rumah ini?” tanya Mizuki curiga.

“Yah, bisa dibilang begitu.” ujarnya sambil bergerak maju ke arah pintu. Mizuki segera melangkah mundur.

“Ben memang ganteng,” ucap gadis itu, “Sayang sekali, gaijin seperti dia bukan tipeku.”

Gadis itu hanya nyelonong keluar dari kamar saat Mizuki bergerak ke samping, memberikannya jalan.

“Nggak apa-apa ya kalau aku mampir lagi di sini?”

“Hei, tunggu!”

Mizuki berusaha mengejarnya keluar, namun tak ada siapapun di lorong. Dan tak ada suara langkah kaki di tangga. Tak mungkin ia turun secepat itu.

Ia hanya melihat kepala tantenya melongok dari salah satu ruangan yang ada di lantai dua, masih mengenakan celemeknya dan terdengar pula suara ribut penyedot debu. Sepertinya ia sedang bersih-bersih.

“Ada apa Mizuki?”

“Tante, apa tadi tante melihat ada anak perempuan keluar dari sini?”

“Apa maksudmu? Hanya ada kita bertiga di rumah ini: kau, aku, dan Ken.”

Mizuki hanya bisa melongo. Apa ia harus menambahkan kemampuan melihat hantu ke dalam list kekuatannya?

 

TO BE CONTINUED

2 comments:

  1. Silent Hill ini dlm kanji jadi 平岡 bukan?

    ReplyDelete
  2. Yahh.. telat liat infonya di "Mengaku Backpacker : Grand Opening Dark Darker Darkest"
    A.

    ReplyDelete