Aku masuk ke dalam lift. Di dalamnya
sudah ada empat orang lain. Seorang pria berjas (kemungkinan teman
kantornya di lantai lain), seorang wanita berusia uzur (mungkin klien
di firma hukum lantai 4), serta seorang wanita dan anak laki-lakinya
yang masih SMA (mungkin keluarga dari salah satu pegawai di sini).
“Lantai berapa, Mbak?” tanya pria
berjas itu dengan sopan.
“Lantai 12.” jawabku.
Lift itupun mulai bergerak. Pria itu
menatap jamnya, mungkin terburu-buru hendak menghadiri sebuah rapat.
Wanita dan anaknya itu tampak bercakap-cakap. Sepertinya si anak
terlibat masalah dan terpaksa dipulangkan. Sementara sang nenek yang
berpakaian seperti sosialita terlihat membaca-baca dokumen di
tangannya.
Tiba-tiba lift itu terhenti.
“Lho, kenapa ini?” jerit wanita
sosialita itu, “Ini ... ini kan baru lantai 10.”
Sang pria dengan panik memencet-mencet
tombol, namun tak ada satupun lampu yang menyala.
“Sepertinya liftnya rusak!”
“Apa? Rusak?” jerit sang ibu. Ia
tampak megap-megap, kesulitan mengatur napas. Kemungkinan ia
menderita klaustrofobia.
“Ibu, tenanglah!” pinta anak
laki-lakinya.
“Te ... telepon polisi!” sang nenek
perlente itu mengangkat Apple-nya.
“Percuma, Bu! Takkan ada sinyal di
dalam sini.” aku hapal, sebab sudah hampir tujuh tahun aku bekerja
di sini.
“Aku ada janji lima menit lagi! Ini
urusan mendesak!” seru sang nenek.
“Kita semua juga ada urusan di sini,
nggak cuman kamu!” jawab sang pria dengan ketus.
“Apa katamu? Dimana kau bekerja? Akan
kusuruh bosmu memecatmu!”
“Hei, diam kamu nenek cerewet!”
“Sudah! Berhenti! Jangan bertengkar!”
aku berusaha melerai mereka. Tiba-tiba terdengar seruan panik sang
pemuda SMA itu.
“Ibu! Ibu!” ia berusaha
membangunkan ibunya. Namun wanita paruh baya itu kini tergeletak
pingsan di lantai lift.
“Astaga!” jeritku. Namun tiba-tiba
saja lampu lift mati. Kini tak hanya terjebak, sekarang kami
diselimuti kegelapan dan tak mampu melihat apapun.
“IBU! IBU!” teriakan sang pemuda
itu makin menggema.
“Tenanglah!” ujarku. “Dia akan
baik-baik saja.”
“Bukan itu! Aku nggak bisa
menemukannya!”
“Apa?”
“Dia barusan di sini tapi dia
hilang!”
“Apa maksudmu?” tanyaku tak
percaya.
“Dia lenyap begitu sa ...”
“AAAAAAAAA!!!!” tiba-tiba saja
terdengar teriakan yang amat mengerikan. Asalnya dari nenek itu.
“Astaga! Apa yang terjadi?”
jeritku.
“Kau! Kau pasti pelakunya!”
tiba-tiba terdengar suara perkelahian. Pemuda itu tampaknya menyerang
pria berjas itu.
“Hei, aku tidak ...” serunya,
“AAAAAAAAA!!!”
Kemudian suara pria itu tak terdengar
lagi.
“A ... apa yang kau lakukan?”
tangisku.
“Bu ... bukan aku ... “ muda itu
terdengar panik, “Aku tadi hanya mencengkeram kerah jasnya dan
tiba-tiba saja ada yang menariknya. Asalnya dari ....AAAAAAAAA!!!”
“Hei, kau dimana? Apa yang terjadi?
AAAAAA!!!” aku berteriak sekeras mungkin ketika sesuatu tiba-tiba
mencengkeram tanganku. Kuku-kukunya terbenam di lengaku, bahkan
mencakarku hingga rasa perih menjalar ke seluruh tubuhku. Kurasakan
darah segar mulai mengalir dari lukaku.
“PERGI KAU! PERGI!” kulemparkan
tasku untuk mengusirnya. Sepertinya itu berhasil, sebab ia
melepaskanku. Tanpa banyak pikir, aku langsung memencet tombol
emergency di panel lift dan berteriak di speakernya.
“TOLONG AKU! KUMOHON TOLONG AKU!”
Tiba-tiba lampu menyala dan pintu lift
terbuka. Beberapa pria terlihat cemas menatapku, sementara lorong di
belakang terlihat remang-remang.
“Nona, kau tidak apa-apa.”
“Ada ... ada ...” aku menoleh, tapi
tak ada siapapun di sana. Hanya ada tetesan darah yang berasal dari
luka di lenganku tercecer di lantai.
“Apa yang terjadi?” tanya mereka.
Akupun menjelaskan. Namun mereka terlihat tak percaya.
“Lift ini dilengkap CCTV yang akan
terus merekam walaupun listrik padam. Ayo kita lihat bersama di ruang
kontrol.”
Akupun mengikuti mereka dan tercekam.
Saat memutar video itu, terlihat aku
masuk ke dalam lift sendirian. Tak ada seorangpun di sana kecuali
aku. Tak ada pria berjas, nenek-nenek, ataupun wanita dengan putranya
itu. Hanya ada aku.
Dan ketika lift berhenti karena mati
lampu, aku hanya berdiri di sana diam, sembari menatap ke arah kamera
CCTV. Aku menyunggingkan senyum lebar dan mulai berputar-putar.
Tubuhku berputar-putar, seperti baling-baling. Video itu tak memiliki
suara, namun terlihat jelas dari ekspresi wajahku bahwa aku sedang
tertawa-tawa.
Kemudian aku mengamuk dan mencakari
lenganku sendiri hingga berdarah.
Dan saat itulah mereka menyelamatkanku.
tinggal nunggu video klarifikasi-nya deh
ReplyDelete'Alasan saya ketawa-ketawa di lift'
Jadi dia kesurupan atau gimana ya?
ReplyDeleteTrlalu lama di lift membuatmu gila
ReplyDeleteHanya Tuhan & Dave ynng tau
ReplyDeleteGilaa bikin merinding banget 😬
ReplyDeleteApakah dy kerasukan baling baling bambunya doraemon?
ReplyDeletesukaaaa
ReplyDelete