Sunday, February 7, 2016

CITY OF FEAR: TROIS (3)

 

ARMY OF THE DAMNED

CITY OF FEAR

Aku segera membelokkan mobil ke arah lain, mencoba memutar balik, namun terlambat. Mereka telah mengepung kami.

“Astaga, bagaimana mereka bisa menjebak kita secepat ini?” tanyaku panik. “Jumlah mereka amat banyak!”

“Karena aku yang menyuruh mereka ke sini.” bisik Venus dengan enteng.

“Apa?”

Ia tiba-tiba mengeluarkan pisau lipat dan menusuk pahaku. Aku berteriak kesakitan dan secara refleks membanting setir hingga mobilku teronggok di sisi jalan. Aku membuka pintu dan terjatuh ke luar. Dengan tertatih-tatih aku mencoba bangkit dan berjalan, namun aku kembali jatuh karena rasa sakit tak tertahankan.

“Ke ... kenapa Venus ...”

“Ini pertama kalinya aku bertemu dengan seorang yang imun sepertimu,” bisiknya, “Dan kau tahu apa yang orang-orang Avignon lakukan kepadamu? Mereka akan menggunakan darahmu sebagai serum penawar dan segera, obat untuk mengatasi wabah ini akan ditemukan.”

Para indigo itu berjalan terseok-seok mengelilingiku. Seharusnya aku tahu, gadis itu pasti mengendalikan mereka. Ia indigo dan ia bisa berkomunikasi dengan roh. Dan roh itu mengendalikan tubuh mereka.

“Lalu kenapa ... bu ... bukankah itu hal yang bagus ...” aku mencoba merangkak, namun gagal. Aku merasa kesakitan ketika debu dari jalanan mulai mengenai lukaku.

“Apa kau pikir enak menjadi seorang indigo sejak lahir? Sejak kecil aku melihat hal-hal yang semestinya tak dilihat manusia ... apa kau tahu rasanya? Ketakutan setiap saat? Dan orang tuaku ... mereka bukannya membantuku, malah memperlakukanku seperti orang gila! Apa kau tahu rasanya?!” ia menjerit.

Tiba-tiba ia tertawa, “Namun setelah wabah itu meluas, akupun puas. Akhirnya mereka bisa merasakan penderitaan yang selama ini kurasakan. Akhirnya mereka semua akan menanggung sakit yang sama .... dan aku sangat puas! Mereka layak mendapat pembalasan hahaha!!!”

“Kau ...” bisikku dengan sisa tenagaku, “Kau memang gila ...”

Aku masih mencoba merangkak, namun para indigo itu menarik tubuhku dan menggigitku. Aku berteriak kesakitan..

Aku kini tak bisa melarikan diri.

Tiba-tiba tubuh indigo di depanku roboh. Sebilah pisau menancap di dadanya. Satu persatu indigo lainnya ikut roboh. Sekilas aku melihat seorang wanita datang menyabetkan pedangnya ke tubuh para indigo itu.

A ... apa yang terjadi?

Si ... siapa itu?

Namun aku tak punya kekuatan lagi. Rasa sakit dan lelah dengan cepat memangsaku dan akupun rubuh tak berdaya, tak sadarkan diri.

***

“Hei, bangun!” aku mendengar suara seorang wanita. Aku langsung tersadar begitu ia menyiramkan air ke wajahku.

“Apa kau baik-baik saja? Apa kau merasa demam? Itu tanda-tanda orang yang terinfeksi.” tanya gadis berwajah Asia itu.

“Sudah tinggalkan saja dia.” ucap seorang pria dengan aksen aneh. “Dia sudah terinfeksi. Nanti dia bakal memperlambat perjalanan dia.”

“Kita tak bisa membiarkan sendirian di sini, Ryan.” katanya.

“Aku baik-baik saja,” aku mencoba bangkit, “Aku tidak terinfeksi.”

“Ta ... tapi aku melihat mereka menggigitmu.”

Aku menaikkan lengan bajuku dan memperlihatkan beberapa bekas gigitan di tanganku. “Aku sudah sering digigit, namun tak pernah ada efeknya.”

“Kau kebal?” tanya pemuda yang dipanggil Ryan itu, heran, “Aneh sekali.”

Tiba-tiba aku mendengar auman singa. Dengan terkejut, aku melompat ke dalam sungai begitu melihat seekor singa mendekat.

Gadis itu tertawa, “Haha tak usah takut. Dia jinak kok.”

Singa itu, walaupun sudah dewasa, namun menerjang tubuh Ryan sambil menjilati badannya, seperti seekor anak anjing yang minta bermain.

“Tampaknya gadis psikopat itu berhasil lolos.” kata Ryan sambil kewalahan menghindari jilatan singa itu. “Singaku tak berhasil menangkapnya.”

“Siapa sebenarnya kalian?”

“Kami adalah anggota sirkus gypsi dari Rumania. Namaku Aulia Hazuki, seorang pemain samurai.”

“Tapi kami memanggilnya Geisha.” kata Ryan sambil terkekeh.

“Sudah kubilang aku benci nama itu.” gadis itu cemberut, “Dan dia Ryan van Claude, seorang pemain akrobat, pelempar pisau, dan tentu saja ... pawang singa kami.

“Bagaimana kalian bisa lolos?”

“Kami dalam perjalanan ke Barcelona, Spanyol ketika wabah itu merebak. Sebagian besar anggota kami tertular dan tak selamat. Hanya kami berdua yang berhasil meloloskan diri, tentu saja karena kami yang paling mampu membela diri.”

“Lalu kemana kalian akan pergi.”

“Benteng Avignon. Katanya pemerintahan sementara Prancis sudah dipindah ke Palais des Papes di Avignon setelah kota Paris kolaps.”

“Kata mereka Menara Eiffel sudah rubuh. Benar-benar mengerikan. Saranku, jauhi kota-kota besar.” tambah Ryan.

“Kalau begitu mari kita berangkat bersama ke sana.” aku lega karena akhirnya memperoleh teman perjalanan yang bisa melindungiku.

***

Venus berlari ke puncak bukit. Ia menyaksikan nun jauh di bawah, pemuda bernama Raka tadi berangkat bersama dua orang yang menolongnya dan seekor singa.

“Huh, gagal total.” bisik gadis itu, “Dan pasukanku juga dihabisinya. Seharusnya aku rampok saja mobilnya seperti rencana awal.”

Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki berat di belakangnya. Gadis itu menoleh. Ia terperanjat melihat sosok di depannya.

Seorang ksatria abad pertengahan berdiri di hadapannya. Ia mengenakan zirah besi yang mengkilap dari ujung kepala hingga kaki. Bahkan langkah kakinya terdengar berdentang ketika ia berjalan dan sepatu besinya menyentuh tanah berbatu, bak lonceng. Simbol palang putih tertera di dadanya.

“A ... apa-apaan ini? Siapa kau?” jerit Venus ketika kastria itu terus berjalan ke arahnya dengan langkah sempoyongan.

“Ah sial,” bisik Venus kepada dirinya sendiri sambil menggigit bibirnya, “Dia kesurupan.”

Ksatria itupun mengangkat pedangnya ke arah gadis itu.

“Ti ... tidaaaaaak!!!”

Dan menebaskannya ke lehernya.

 

TO BE CONTINUED

No comments:

Post a Comment