Thursday, January 19, 2017

AFTER DAWN: CHAPTER 5

 

UNTIL DAWN 2

“Maaf aku harus melakukannya.” kata Edwin di perjalanan.

Sam menggeleng sedih, “Jika kau tak menarik pelatuknya, mungkin aku sudah mati saat ini. Aku tahu itu keputusan sulit yang harus kau ambil.”

“Jangan khawatir,” James menoleh ke arah mereka, “Dia seorang Fear. Dia bisa membayar pengacara mahal yang bisa membebaskannya dalam waktu singkat.”

“Sebenarnya apa masalahmu, James?” Edwin mulai marah, namun Sam menahannya.

Di belakang mereka, Chelsea berjalan dengan lesu. Kepalanya terus menunduk ke bawah.

“Chelsea ...” ucap Sam dengan lembut, “Aku sangat menyesal atas apa yang terjadi pada Calvin.”

“Aku baru mengenalnya selama dua hari ...” Chelsea menjawab lirih, “Namun aku sudah merindukannya.”

“Kita akan keluar dengan selamat dari pulau ini. Aku berjanji, Chelsea.”

***

 

Berapa jam sebelum fajar menjelang dan semuanya berakhir? Bagaimana jika peraturannya berubah? Bagaimana jika ia masih memburu kami bahkan setelah fajar tiba?

Sam tak berani memikirkannya. Siapapun psikopat yang ia hadapi, ia takkan memiliki hati nurani, apalagi mau mengikuti peraturan.

Ia takkan berhenti sebelum semuanya mati.

Kenapa orang-orang ini juga menjadi korban? Dalam hati Sam menyesali kematian Clara dan Calvin, juga Gaston-Pierre dan Miranda. Mereka tak berdosa. Bahkan Edwin dan Chelsea juga terseret ke dalam permainan ini. Mereka tak ada hubungannya dengan peristiwa setahun lalu yang merenggut nyawa teman-temannya.

Jika ini balas dendam, maka apa tujuannya memburu semua orang ini?

Kecuali jika si pembunuh berpikir untuk menyiksa Sam terlebih dahulu dengan membantai teman-temannya di hadapan matanya dengan keji.

Betapa kejam, Sam tak habis pikir.

Seandainya saja ingatannya kembali, mungkin ia bisa mendapat pencerahan dan menghentikan sang pembunuh sebelum beraksi lagi.

“Siapa kalian?” terdengar seruan dari atas mereka. Keempat orang itu mendongak, bahkan Edwin menodongkan pistolnya.

“Jangan, Ed!” cegah Sam, “Itu jagawana! Lihat seragamnya!”

“Siapa kalian, aku bertanya lagi!” ia mengacungkan senapannya ke arah mereka.

“Kumohon!” pinta Sam. “Kami butuh bantuan ...”

“Ya Tuhan, darah siapa itu?” Irwan terhenyak melihat darah di pakaian Chelsea.

“I ... ini darah temanku ... ia terbunuh ..” isak gadis itu dalam Bahasa Indonesia.

Pemuda itu menurunkan senapannya.

“Aku akan memanggilkan bantuan untuk kalian. Seharusnya mereka datang pagi ini, namun jika keadaannya segenting ini, mereka pasti mau mengirimkan helikopter untuk mengevakuasi kalian.”

“Terima kasih.” Sam bernapas lega.

“Naiklah!” Irwan mengajak mereka menapaki sebuah jembatan gantung yang membentang dari pepohonan. Dengan ngeri Sam menginjakkan kakinya di atas jembatan kayu itu. Dengan ketinggian ini, ia kembali teringat saat ia naik cable car melintasi jurang untuk sampai ke pondok milik Josh.

Sebuah rumah kayu sederhana tampak di ujung jembatan itu, diterangi lampu di bagian luarnya.

“Masuklah,” ajak Irwan, “Di dalam ada ... AAAAARGH!”

Pemuda itu berteriak begitu melihat keadaan kacau balau di dalam. Semua peralatan yang ada di atas meja sudah hancur, termasuk radio dan peralatan komunikasi lain.

“Si ... siapa yang melakukan ini semua!” Irwan tak mempercayai kondisi pondoknya.

“Sial! Dia sudah mendahului kita!”

“Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang mengejar kalian?” Irwan memandangi mereka satu demi satu dengan curiga.

“Kami juga tidak tahu.” dengus James kesal. “Hilang semua kesempatan kita kabur dari sini!”

“Kami dikejar seseorang ... seorang pembunuh. Empat teman kami sudah meninggal.” isak Sam, “A ... apa kau bisa memanggil pertolongan?”

“Mustahil.” Balasnya sembari memeriksa serpihan radionya, “Tapi aku mungkin bisa membawa kalian keluar dari sini.”

“Apa kapalmu kebetulan berlabuh di sebelah sebuah yatch mewah di sebuah dermaga yang terlihat terbengkalai?” tanya Edwin curiga.

“Ya, bagaimana kau tahu?”

“Ah, baguslah! Kau tak melihat ledakan tadi, Bung?” James mulai merasa kesal. “Apa saja kerjamu di rumah pohon ini?”

“James, hentikan!” Sam mulai sebal dengan tingkah James yang seperti anak kecil, “Dia sedang berusaha menolong kita!”

“Kurasa dia takkan bisa berbuat apapun untuk melawan psikopat itu? Kerjaannya hanya jalan-jalan di hutan.”

Tiba-tiba Irwan menodongkan senapannya ke arahnya, “Dan melawan pemburu liar bersenjata setiap hari. Mau tarik kata-katamu?”

“O ... oke ... jangan marah begitu ...” James mengangkat kedua tangannya.

“UHUK ...” tiba-tiba Chelsea terbatuk.

“Chelsea, apa kau tak apa-apa?” Sam terlihat khawatir, “Ini ... minumlah ...”

Gadis itu memberikan botol minumnya, namun Chelsea menolaknya.

“A ... aku punya sendiri ...”

Chelsea mengeluarkan botol minumnya dan meneguknya, namun tiba-tiba ia menjatuhkannya hingga isinya tercecer di lantai kayu,

“Ke ... kenapa warnanya biru?” tunjuk James dengan ketakutan.

“UHUK! UHUK!!!” batuk gadis itu semakin kecang, namun kali ini ia juga memuntahkan darah. Tubuhnya langsung limbung dan jatuh, namun Sam segera menangkapnya.

“CHELSEA! CHELSEA!” Sam memapah gadis itu, namun bola matanya berubah menjadi putih dan tubuhnya kejang-kejang. Mulutnya terus memuntahkan darah.

Hingga akhirnya kepalanya lunglai tak bernyawa. Tubuhnya terselip begitu saja dan terjatuh di lantai berlumuran darah. Sam langsung menjerit sejadi-jadinya.

“Apa yang terjadi padanya?” tangis Sam.

“Apa kalian tak lihat itu! Ada yang meracuni minumannya!” seru James. Ia langsung menarik botol minumnya dari tas ransel dan membuangnya.

“Siapa yang melakukannya?” jerit Sam sembari masih menangis memandangi mayat gadis itu. Ia sudah berjanji akan mengeluarkannya hidup-hidup dari pulau ini.

Dan ia tak bisa menjaga janjinya itu.

“DOR! DOR! DOR!”

Tiba-tiba terdengar suara letusan senjata. Sam menjerit begitu melihat tubuh James tiba-tiba jatuh dengan dada berlubang dan darah mengucur deras. Matanya masih membelalak ke arah pria yang baru saja menembaknya.

Sam menoleh dan melihat Edwin masih menggenggam pistolnya yang berasap.

“ED!” jerit Sam tak percaya, “APA YANG KAU LAKUKAN!”

“Dia yang membunuh gadis itu! Chelsea mengetahui siapa dirinya sebenarnya sehingga ia harus membungkamnya!”

“Apa maksudmu?”

Edwin melemparkan obat-obatan ke depan Sam.

“I ... ini ...” Sam meraih plastik berisi pil-pil itu. Ia seperti pernah melihatnya sebelumnya. Ya, ada satu obat yang dikenalinya. Ini obat penenang yang biasa ia minum pasca-tragedi setahun lalu. Dokter memberikannya agar ia tak terus mengalami trauma.

“Kau mengenali obat-obat ini kan?”

“Ya, psikiater biasanya memberikannya untuk terapi kejiwaan. Darimana kau dapat ini?”

“Chelsea yang memberikannya padaku, Ia memperolehnya dari dalam tas James.”

“APA?!” ucap Sam tak percaya, “Apa maksud semua ini?”

“Sam, kau pernah bilang ia dan Josh bersahabat bukan? Namun kau lebih dulu bersahabat dengan Josh dan tak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Bukankah kau rasa itu aneh.”

“Ya, seharusnya aku mengenal semua teman Josh ... tapi apa maksudnya?”

“Kurasa aku tahu dimana ia bertemu dengan Josh untuk pertama kalinya. Rumah sakit jiwa.”

“Tapi ... tapi itu bukan alasan untuk membunuhnya!” jerit Sam.

“Apa kau masih belum mengerti juga! Dia gila, Sam! GILA!”

“KAU YANG GILA!”

Edwin menoleh ke arah suara itu. Dilihatnya Irwan, yang ia lupakan keberadaannya, tengah menodongkan senapan ke arahnya.

“Sekarang letakkan senjatamu!” kata penjaga hutan itu dengan tegas.

“Baiklah.” Edwin justru tersenyum dan perlahan-lahan membungkuk meletakkan senjatanya.

“Sekarang tendang ke arahku!” perintah Irwan.

Edwin mengikutinya dengan mendorongnya ke arah kaki Irwan. Namun ketika perhatian jaga itu terpecah dengan pistol itu, Edwin dengan segera mengeluarkan pisau lipat yang ia sembunyikan di balik sepatu boot-nya dan menikamkannya ke arah lengan Irwan.

“AAAAARGH!!” pemuda itu langsung menjatuhkan senapannya yang langsung meletus, hampir mengenai Sam, ketika jatuh ke lantai. Gadis itu langsung menjerit.

“Pergi!” seru Irwan, masih kesakitan, “Selamatkan dirimu!”

“Ta ... tapi kau ...”

“PERGI!!!”

Sam tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk segera berlari keluar.

“Tunggu, Sam!” teriak Edwin dari belakang, “Tunggu!!!”

Namun Sam terus berlari hingga tiba di jembatan gantung. Di sana, dengan panik ia berpegangan pada tali di kanan kirinya. Jembatan itu bergoyang karena langkahnya dan Edwin yang mengejarnya.

“Berhenti!” jerit Sam sembari diam dan berbalik, “Kau bisa membuat kita berdua jatuh.”

Edwin berdiri hanya beberapa meter darinya, masih menggenggam pistol yang tadi dijatuhkannya.

“Kenapa kau lakukan ini semua, Ed?” napas Sam tersengal-sengal, “Kenapa kau membunuh mereka?”

“Aku?” Edwin tertawa, “Bagaimana mungkin kau menuduhku, Sam? Aku tak ada sangkut-pautnya dengan semua ini.”

“Tapi kau barusan membunuh James dan jagawana itu ...”

“Oh, akuilah ... kau juga membenci James bukan!” jawab Edwin sambil mengayun-ayunkan pistolnya, “Lagipula tinggal menunggu waktu hingga sikap paranoidnya membahayakan kita semua.”

“Tapi Gaston-Pierre dan Miranda ... mereka sahabatmu. Chelsea dan Calvin, kau juga baru bertemu mereka. Apa salah mereka?”

Tiba-tiba Edwin meletuskan senjatanya ke atas, diikuti teriakan Sam.

“SUDAH KUBILANG BUKAN AKU PEMBUNUHNYA!” bentak pemuda itu. Tabiat kasarnya mulai terkuak. “Kenapa kau tak mau mengerti juga?”

“Kalau bukan kau, lalu siapa?” tangis Sam.

“Justru aku yang ingin menanyakan hal itu, Sam!” Edwin tiba-tiba menodongkan senjatanya ke arahnya. “Siapa pelakunya? Siapa yang membunuh teman-temanmu pada malam itu?”

***

 

“Kau sudah mati!” teriak Sam tak percaya.

Pembunuh itu melepaskan topengnya.

“Kau sudah mati, Dawn!”

***

 

Sam meringkuk di atas jembatan dengan memegangi kepalanya.

“I ... itulah yang aku ingat ... Dawn dan Josh ... mereka bekerja sama ...”

“Tidak!” bantah Edwin, “Bukan itu yang terjadi! Berani-beraninya kau menuduh mereka berdua sebagai pembunuh berdarah dingin! Mereka keluargaku, Sam!”

Sam mendongak. Baru kali ini ia menyadarinya.

“Hubungan darah keluarga Fear selalu lebih kuat dari apapun.” senyumnya.

“Ka ... kau di sini untuk membalaskan dendam Josh, Hope, dan Dawn?”

“Bukan membalas dendam ... melainkan mencari kebenaran!” ia masih mengacungkan moncong pistolnya ke arah gadis tak berdaya itu, “Aku tak percaya kebohonganmu. Semenjak dulu aku sudah tahu siapa pembunuhnya yang sebenarnya. Dan pembunuh yang beraksi di resort itu sama dengan yang membunuhi teman-temanmu malam ini ...”

Edwin tersenyum.

“Yakni kau, Sam!”

 

BERSAMBUNG

2 comments:

  1. bukannya Dawn yang jadi wendigo bang, Hope kan mati ketindih

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe udah diralat. sebenarnya until dawn versi wattpad dan versi blog beda. di wattpad pelakunya hope tapi di sini pelakunya dawn. yg gw tulis kmrn kopi paste dr file versi wattpad sih tapi udah diganti koq

      btw makasih banyak udah baca :D

      Delete