Thursday, January 19, 2017

AFTER DAWN: CHAPTER 4

 

UNTIL DAWN 2

“Siapa di situ?” Edwin menodongkan pistolnya ke arah ranting yang bergemerisik di dekatnya.

“Itu mungkin hanya binatang liar, Ed.” ujar Chelsea, “Berhentilah membuat kami ketakutan!”

“Bagaimana keadaannya?”

Chelsea mengusap dahi Calvin yang berkeringat dingin, “Ia sudah tertidur. Kurasa ia akan baik-baik saja. Aku sudah merawat lukanya.”

Gadis itu mendongak menatap pemuda itu. “Apa temanmu bisa dipercaya?”

“Apa? Siapa?”

“Gaston-Pierre.”

“Apa maksudmu? Dia sudah meninggal!”

“Tapi kalian tak menemukan mayatnya kan?”

“Jangan bicara non-sense! Dia tak mungkin memalsukan lukanya jatuh dari air terjun kemudian pura-pura mati untuk membunuhi kita semua?”

“Dia ... dia agak kasar, sewaktu di kapal. Beberapa kali dia berkata kasar bukan?”

“Ah, orang Prancis memang seperti itu. Lagipula mustahil Gaston-Pierre membunuh Miranda. Mereka sudah berpacaran selama 2 tahun setelah gadis itu pindah dari Budapest ke Paris.”

“Bukankah seperti itu modusnya. Sama seperti Josh ... bukankah ia berpura-pura terbunuh dulu ...”

Edwin memandangnya dengan tajam, “Darimana kau mendengarnya?”

Tiba-tiba, “SREEEEEK ...” sesuatu lewat di semak-semak di samping Edwin.

“Siapa itu?” seru Edwin. Ia segera mengikutinya dengan pistol dan senternya.

“Tidak, Ed!” jerit Chelsea. “Jangan pergi!”

Namun Edwin terus mengikuti gerakan itu hingga akhirnya dia berhasil memojokkannya di sebuah pohon dan menyorotkan senternya ke arahnya.

Seekor kijang.

Hewan itu segera berlari menembus malam. Tiba-tiba Edwin tersentak ketika dirasakannya sehelai tangan menyentuh bahunya.

“Ini aku!” bisik Chelsea di belakangnya.

“Jangan lakukan itu lagi!” dengus Edwin, “Aku nyaris menembakmu!”

“Jangan pergi seperti itu lagi, Ed!” Chelsea terlihat marah, “Kami membutuhkanmu.”

“Calvin ... kau meninggalkannya?”

“Dia baik-baik saja. Dia sedang tertidur ...”

“AAAAAAAARGH!!!” tiba-tiba terdengar suara teriakan yang amat keras.

“Sial, Calvin!” Edwin dengan segera berlari kembali diikuti Chelsea, namun begitu sampai di sana ...

“AAAAAAAARGH!!! TOLONG! TOLOOOOOONG ...”

“Calvin! CALVIN!” jerit Chelsea, namun jeritannya semakin keras ketika ia tiba di tempat ia meninggalkan Calvin tadi.

Tubuh Calvin tersandar di pohon, berlumuran darah. Ia kini tergolek lemas dengan kepala bersandar menyamping dan leher berdarah. Jelas ada yang menyayatnya. Chelsea segera memeriksa denyut nadinya dan dengan berurai air mata, ia menoleh ke arah Edwin.

“Dia ... dia sudah meninggal ...”

***

 

“Hei di sini! Aku menemukannya!” terdengar seruan James. Clara dan Sam segera menghampirinya.

“Kau menemukan bunkernya?” tanya Clara penuh harap.

“Yup,” James menginjak-injak tanah di bawahnya, “Ini beton! Jelas ada bangunan di bawah sini!”

“Kemana saja kau?” Sam memicingkan matanya dengan curiga, “Kau pergi lama sekali untuk mencari bunker ini. Lagipula bukankah sejak awal kau yang tak menginginkan agar kita tidak berpencar?”

“Sulit mencari bunker ini di tengah kegelapan, Nona! Lagipula ada banyak tanaman yang menyembunyikan tempat ini.” James mencoba mencari jalan masuk, “Jika ini benar, maka sepertinya benda ini sudah tak pernah dimasuki semenjak perang berakhir.”

James menarik sebuah pegangan dan sebuah lubang terbuka, menuju ke bawah.

Mereka bertiga melongok ke dalam lubang itu.

“A ... aku tak mau masuk ke sana ...” bisik Clara.

“Baiklah!” James berkata, “Karena kita sudah menemukannya, kurasa kita harus kembali menjemput yang lainnya.”

“Kurasa begitu ... AAAAAAAAAAA!!!” baru saja mau beranjak pergi, tiba-tiba Sam tergelincir dan terperosok masuk ke lubang itu.

“Sam!” jerit Clara. Tanpa pikir panjang ia langsung menuruni lubang itu melalui tangga. Disorotinya bagian bawah dengan senter dan ia bisa melihat tubuh Sam tergeletak di dasar bunker.

“Sam, kau tak apa-apa?” suara Clara menggema di dalam bunker. Tiba-tiba ia mendengar suara decitan dari atasnya. Gadis itu mendongak dan terkejut setengah mati ketika melihat lubang tempatnya masuk tadi kini perlahan-lahan tertutup.

“JAMES! APA YANG KAU LAKUKAN? JAMES!!!”

TO BE CONTINUED

CHAPTER 6

“Kita harus pergi! Cepat!” Edwin menarik tangan Chelsea,

“Ta ... tapi kita tak bisa meninggalkannya ...” gadis itu masih menangis meratapi jenazah Calvin.

“Ia sudah mati dan kita masih hidup! Jadi sangat jelas yang mana yang jadi prioritas!” Edwin menariknya pergi sembari tetap berwaspada dengan senter di tangannya.

“Sini, pegang senter ini!” Edwin menyerahkan senternya, “Lebih aman jika aku memegang pistol!”

Namun tiba-tiba ia menodongkannya ke arah gadis itu.

“A ... apa yang kau lakukan?”

Edwin menatapnya tajam, “Darimana kau tahu tentang Josh?”

“Sam ... Sam yang menceritakannya ...” katanya terbata-bata.

“Jangan bohong! Dia hilang ingatan!”

“Tidak, aku bersumpah! Dia sudah mengingatnya! Dia sendiri yang menceritakannya kepadaku!”

“Apa?”

“Dan ada satu hal lagi yang harus kukatakan padamu ... tentang James.”

***

 

“Apa ini karma, Sam?”

Sam mendengar jelas isakan gadis itu. Ia berdiri di atas salju sambil menangis. Ia tahu benar siapa dia. Jessica, salah satu temannya yang terbunuh setahun lalu di resort itu.

Jess ...” Sam mengulurkan tangannya, “Jess, kembalilah ke pondok ... kau akan mati di sini ...”

“Sudah terlambat, Sam!” gadis itu menjawab dengan dingin, “AKU AKAN MATI, BEGITU PULA KAU DAN SELURUH TEMAN-TEMANMU! KALIAN SEMUA AKAN MATI!”

Tiba-tiba sesosok pembunuh bertopeng muncul dari balik pepohonan di belakangnya dan mematahkan rahangnya.

“TIDAAAAAK!!!!”

Sam menjerit dan membuka matanya. Salju itu telah hilang, begitu pula dengan Jess dan pembunuh itu. Ia kini melihat Clara tengah menatapnya.

“Cla ... Clara ... dimana kita?”

“Kita terjebak di dalam bunker, kau ingat?”

“Terjebak?” ia berusaha bangun, “Apa maksudmu?”

“James mengurung kita di sini. Sudah kuduga ia tak bisa dipercaya.”

“Apa?” Sam terkejut. Ia memegangi kepalanya yang masih terasa sakit. Perlahan-lahan ingatannya akan malam itu kembali pulih.

“Kau menungguiku. Clara.” Sam memandang sahabatnya dengan haru, “Kau benar-benar baik ...”

“Aku hanya berpikir, apa yang akan kukatakan pada polisi tentang mayatmu nanti?” jawabnya dingin.

“Hah, apa?”

“Awalnya aku pikir si pembunuh akan mendapatkanmu cepat atau lambat, jadi aku tak perlu bersusah payah. Namun kita malah terjebak di sini dan ... apa ya yang akan kukatakan? Kepalamu terbentur amat keras dan mengalami pendarahan? Kau putus asa kemudian bunuh diri?”

“A ... apa maksudmu? Kau membuatku takut ...”

“Indonesia adalah tempat yang sempurna. Tak ada hubungan ekstradisi ... dan kematianmu di sini akan dianggap hal yang wajar. Ada banyak hal bisa terjadi di negara ini dan kedutaan jelas akan kesulitan menyelidiki kematianmu. ‘Turis Amerika hilang tanpa jejak ...’ aku sudah membayangkan headline itu. Apalagi dengan kondisimu yang hampir gila dan labil itu, tak akan ada yang mencurigaiku.”

Tiba-tiba Clara mengeluarkan sebilah pisau dari tasnya.

“Kau ...” Sam bergerak mundur.

“Oh, bukan aku Sam. Aku tak tahu-menahu siapa pembunuh Gaston-Pierre dan Miranda. Aku tak tahu siapa yang meledakkan kapal James dan mengacak-acak perkemahan kita. Tapi aku dengan senang hati menimpakan pembunuhanmu kepadanya.”

“Ke ... kenapa, Clara? Kita kan ...”

“Sahabat?” teriaknya geram, “Kuberitahu kau satu hal. Sam! SAHABAT TAK MEREBUT PRIA YANG KUCINTAI!”

“Apa maksudmu?!”

“Kau sudah tahu aku mencintai Edwin! Tapi kau justru menggodanya! Dengan semua tingkah sok sucimu ... pura-pura menghindar dan tak menyukainya! Kau pikir kau bisa merebutnya diam-diam dariku?!”

“Apa yang kau bicarakan, Clara! Aku sama sekali tak tahu kau menyukainya!”

“Dia Fear, Sam! Tak ada yang tak jatuh cinta pada seorang Fear! Tampan, kaya, cerdas!” Clara mulai tertawa sinis, “Kurasa memang itulah seleramu, bukan? Seperti kau dulu mengincar Josh Washington! DASAR PEREMPUAN MURAHAN!!!”

Tiba-tiba Clara menghujamkan pisau ke arahnya. Sam segera berusaha menghindar, namun ia berhasil menarik kakinya. Namun begitu Clara bersiap menusuk gadis itu, seketika pintu bunker terbuka dan cahaya senter menyinari mereka.

“DOR! DOR!” suara tembakan menggema di bunker itu dan langsung merobohkan Clara. Gadis itupun terjerembap di lantai, berlumuran darah. Pisau terjatuh dari genggamannya, meninggalkan suara berdenting.

Sam mendongak ke atas dan melihat Edwin turun dengan senjatanya.

“Kau baik-baik saja?” dengan wajah cemas, Edwin menghampirinya.

Sam langsung memeluknya, “Clara ... dia tadi ...”

Edwin berusaha menenangkan isakan gadis itu, “Ya ... ya aku tahu! Kita harus segera keluar. Terlalu berbahaya di sini.”

Mereka berdua keluar dan melihat James serta Chelsea menanti mereka.

“KAU!” tunjuk Sam. “Kau meninggalkan dan mengurung kami!”

“Aku harus melakukannya.” James membela diri, “Aku harus menjemput mereka dan kurasa tempat teraman bagi kalian adalah di dalam sana.”

“Maaf, aku salah membawa kalian ke sini.” ucap Chelsea, “Aku baru teringat dengan percobaan gila yang dilakukan Jepang di sini. Mereka mengembangkan gas saraf semasa Perang Dunia II. Aku takut sisanya masih ada di dalam bunker itu ...”

“Gas saraf? Astaga!” Sam menutup mulutnya, “Itukah yang terjadi pada Clara sehingga dia menggila?”

Tiba-tiba gadis itu menyadari sesuatu.

“Calvin? Dimana dia?”

Chelsea terisak begitu mendengar namanya.

“Oh tidak ...” Sam tercekat. “Kemana sekarang kita akan pergi?”

James menunjuk ke seberkas cahaya yang terlihat di kejauhan.

“Itu ... apa itu rumah pohon?” Edwin seakan tak mempercayainya.

“Ini Taman Nasional bukan? Kurasa itu pos park ranger.” jawab James.

“Jagawana! Benar! Mereka pasti akan menolong kita!” sergah Chelsea, “Masih ada harapan!”

***

 

“Apa itu tadi? Apa itu tembakan?!” tanya Irwan pada dirinya sendiri. Ia menggunakan teropongnya dan melihat cahaya bergerak di bawah sana, seperti berasal dari senter.

Ia mengisikan peluru ke dalam senapan yang semenjak tadi ia pangku.

“Baguslah,” bisiknya pada dirinya sendiri, “Aku sudah menunggu semalaman.”

Akhinya mereka datang juga.

 

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment