Thursday, January 19, 2017

AFTER DAWN: CHAPTER 3

 

UNTIL DAWN 2

Nama lengkap jagawana itu adalah Indra Irwansyah, namun teman-temannya biasa memanggilnya Irwan. Ia baru saja ditugaskan di taman nasional ini selama dua tahun. Ia tak banyak berinteraksi dengan penduduk lokal, apalagi turis. Toh tugasnya adalah menjaga kawasan hutan nasional berhektar-hektar luasnya, tanpa kehidupan (manusia maksudnya). Sesekali ia berkunjung ke pulau-pulau yang kecil yang juga tercakup di taman nasional ini. Saat salah satu pengecekan rutinnya, ia menemukan kapal bersandar di pelabuhan ini.

Harusnya tak ada orang di pulau ini, pikirnya. Pulau ini off-limit bagi siapapun. Namun memang, Irwan mengakui, amat sulit menutup seluruh akses tempat ini. Ia dan jagawana lain yang jumlahnya tak seberapa mustahil mengawasi garis pantai sepanjang bermil-mil ini. Kadang mereka kecolongan.

Seperti saat ini.

Namun ini tak seperti biasanya. Ada tiga kapal yang ia temukan tersebar di pulau ini. Tiga, bayangkan! Apa ada rombongan turis di sini yang tak ia ketahui? Namun yang paling ia takutkan, bukanlah wisatawan yang penasaran, melainkan pemburu.

Taman Nasional ini adalah perlindungan terakhir bagi habitat burung jalak putih. Jumlahnya sudah sangat sedikit, dan itulah yang menyebabkan harganya di pasaran gelap amat tinggi. Bahkan burung yang sudah matipun dapat dijadikan taksidermi berharga puluhan juta.

Irwan menyiapkan senjatanya. Para pemburu ini bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka bersenjata dan amat berbahaya. Karena itulah Irwan harus mengimbanginya.

“Halo, masuk!” ucapnya di radio. Namun hanya suara gemerisik yang menjawabnya.

“Sial,” pikirnya. Memang sinyalnya memang tak pernah mencapai Pulau Air Terjun Perawan, Irwan bingung, haruskah kembali ke markas pusat untuk meminta bantuan dulu ataukah ia harus bertindak sendiri. Ah, tak waktu lagi, pikirnya.

Jantung Irwan nyaris berhenti ketika senternya menyinari sesosok tangan pucat. Ya, tangan. Ia mengarahkan cahayanya ke atas dan terlihat noda cipratan darah di batang pohon.

Dengan langah perlahan ia mendekat dan menyaksikan seonggok tubuh tergeletak dengan luka parah di kakinya. Jebakan. Ya, ada jebakan beruang yang memangsa kakinya. Ia pasti meninggal karena kehilangan banyak darah.

Siapa yang memasang jebakan sebesar ini, pikirnya. Mustahil para penangkap burung ini ....

Namun sebelum ia sempat menyelesaikannya, ia melihat mayat lain lagi dengan cahaya senternya. Kali ini tergantung di pohon. Lagi-lagi tak bernyawa.

Dua pemburu terbunuh? Apa ini? Apa mereka terkena jebakan mereka sendiri?

Tiba-tiba ia mendengar jeritan seorang perempuan.

***

 

“AAAAAAA!!!” Clara menjerit histeris begitu melihat kondisi kemah mereka. Semua tenda mereka keadaan sobek. Semua peralatan mereka berantakan, seolah-olah ada yang mengacak-ngacaknya.

“Apa ini perbuatan binatang liar?” Edwin mengecek alat-alatnya yang tersisa.

“Tidak!” Calvin memeriksa sobekan di tendanya, “Potongannya sangat halus dan rapi, seakan dibuat oleh pisau atau cutter.”

“Maksudmu ada yang sengaja mengobrak-abrik kemah kita?” jerit Chelsea tak percaya, “Tapi siapa?”

“Apa kau akan mencurigaiku lagi, James? Kita semua ada di dermaga tadi saat semua ini terjadi” sambung Edwin.

James menatap semua kekacauan yang tersaji di depan matanya. Ia sendiri tak punya jawaban.

“Kita semua akan berjaga. Pembunuh itu masih berkeliaran di luar sana.” Edwin menatap James tajam, “Dan mungkin ia mengincar kita semua.”

***

 

“Maafkan aku, Clara.” ujar Sam di depan api unggun, “Gara-gara aku mengajakmu ke sini ...”

“Lupakan saja, Sam. Kau tak tahu ini semua akan terjadi kan?” jawab Clara, “Lagipula, belum tentu ini ada hubungannya dengan peristiwa yang menimpamu.”

“Semua sudah jelas, bukan?” Sam menghela napas, “Kemanapun aku pergi, sepertinya kematian akan selalu mengikutiku.”

“Kalian butuh sesuatu, Nona-Nona?” Calvin datang dan menyela, “Masih ada makanan kaleng di ranselku.”

Sam mendongak dan tersenyum, “Kami baik-baik saja, Calv. Terima kasih.”

Pemuda itu pergi dan Clara segera menyikut Sam.

“Ganteng sekali kan dia? Kurasa dia naksir padamu.”

“Apa yang kau bicarakan? Ini jelas bukan saatnya! Lagipula ...” Sam menoleh ke arah Edwin yang tengah termenung di depan apa yang tersisa dari tendanya. “Kurasa dia butuh teman bicara. Dua temannya baru saja terbunuh.”

“Sam, lupakan saja si Fear itu! Kadang dia membuatku takut.”

“Edwin?” Sam memandang sahabatnya dengan tatapan tak percaya, “Namun ia begitu baik.”

“Entahlah. Ada sesuatu dalam dirinya yang sangat ... Fear.”

Samm nyaris terkekeh mendengarnya, “Jangan bilang kau termakan urban legend itu. Jika ada yang patut dicurigai di sini, itu pastilah James.”

“Yah, kurasa kau benar. Ia sampai mencarimu hingga ke sini ...”

“Dia tidak mencariku ...” Sam mengalihkan pandangannya pada James yang tengah berjaga di dekat pepohonan. “Dia sedang mencari Josh.”

***

 

“Perbuatan siapa ini?” dengan kesal Chelsea menghampiri api unggun sembari memegang sesuatu, “Aku menemukan ini di tasku. Ada yang meletakkannya di sana ....”

Chelsea membanting semua topeng dengan tulisan “DIE” terukir di dahinya. Sam langsung menjerit begitu melihatnya.

“I ... itu topengnya ...”

Edwin, Calvin, dan James segera menghampirinya.

“Topeng apa?” tanya Calvin.

Ia mendongak dan menatap ketiga pemuda itu, “Topeng dari pembunuh itu ... yang beraksi di resort ski setahun lalu.”

“Ke ... kenapa benda itu ada di sini?” tanya Edwin.

“Di ... dia telah kembali ...” tubuh Sam langsung gemetar. Clara segera menenangkannya.

“Sudah cukup!” Edwin kembali ke tendanya dan mengambil sesuatu. Semua langsung menjerit begitu melihatnya.

Sebuah pistol.

“Kau membawanya menembus bea cukai?” jerit Sam tak percaya, “Tapi bagaimana?”

“Ada banyak orang yang bisa disuap di sini!” Edwin mengisi senjatanya dan berdiri, “Aku akan membunuh bajingan ini sebelum dia menghabisi kita!”

“Semoga beruntung, Kawan!” James memberikan tanda salut, mengejeknya, “Sama sekali tak ada penerangan di sini. Kau sudah sangat beruntung bila pergi 5 meter dari sini dan bisa menemukan jalan kembali.”

“Sudahlah, cukup! Edwin ada benarnya!” lerai Calvin, “Kita tak bisa diam di sini menunggu si pembunuh datang. Kita seperti mangsa empuk berada di ruang terbuka seperti ini.”

“Bunker.” tiba-tiba Chelsea berkata.

“Apa?” semua orang menatapnya.

“Aku pernah membacanya. Katanya ada sebuah bunker peninggalan Jepang di pulau ini. Mungkin jika kita menemukannya, kita bisa menggunakannya sebagai tempat persembunyian.”

“Kau tahu dimana letaknya?”

“Entahlah, tapi kurasa tak jauh dari air terjun ini. Mereka pasti membutuhkan sungai sebagai sumber air minum kan?”

“Masuk akal. Apa kalian mau berpencar mencarinya?”

“Lalu mati satu persatu seperti film horor konyol? Hell no!” James menolak ide itu mentah-mentah.

“Lalu bagaimana?”

Edwin mengokang senjatanya, “Kita cari sama-sama!”

***

 

Gemericik sungai menuntun mereka dalam kegelapan. Hanya beberapa senter yang mereka miliki, sangat tak cukup untuk menembus kegelapan pekat hutan itu.

“Kalian semua kejam!”

Sam menoleh. Ia merasa seperti mendengar suara jeritan diiringi isak tangis.

Ia mengenali suara itu.

Dawn.

Ia seperti melihat bayangannya, berlari keluar pintu, ke arah salju.

Dawn, tunggu!” Sam memanggilnya dari belakang.

“Dawn, ayolah ... kami hanya bercanda ...” terdengar suara Michael. Namun Dawn tetap bersikeras keluar di tengah hujan salju.

“Dawn, kembalilah! Kau akan mati jika pergi!” Sam mengulurkan tangannya, seolah mencegahnya pergi, “DAWN!”

“Sam! Kau tidak apa-apa?”

Gadis itu menoleh dan melihat Edwin menggoncang-goncangkan bahunya. Clara juga menatapnya dengan khawatir.

“Ma ... maafkan aku ...” Sam memegangi kepalanya, “A ... aku berhalusinasi ... sepertinya aku mengalami flashback kejadian malam itu ...”

“Ingatanmu mulai kembali?” James tampak tertarik.

“Tinggalkan dia sendiri, James!” Clara memperingatkannya.

“AAAAAAARGH!!!” tiba-tiba terdengar suara teriakan yang amat keras dari arah depan mereka.

“Itu suara Calvin!” seru Sam. Mereka semua segera bergegas ke sana.

Mereka terkesiap ketika melihat Calvin tengah meringkuk di tanah dengan kesakitan, sementara kakinya bercucuran darah.

“A ... apa yang terjadi?”

“Ia ... ia baru saja menginjak jebakan ...” Chelsea menatap mereka dengan ketakutan.

“Jebakan? Siapa yang menaruhnya di sana?” Edwin tampak panik, “Ini Taman Nasional, demi Tuhan, bukan arena berburu.”

“Memang siapa lagi.” komentar James, “Kau bisa berjalan?”

“Kurasa bisa ... AW!” Calvin dengan susah payah mencoba berdiri, dibantu oleh Chelsea. Namun percuma. Ia kembali terduduk dengan kesakitan.

“Sepertinya mustahil, Teman.” rintih pemuda itu,

“Lukamu sepertinya parah. Aku masih menyimpan perban dan beberapa obat.” Sam menawarkan bantuan.

“Aku akan baik-baik saja.” pemuda itu tersenyum, “Sebaiknya kalian meneruskan perjalanan tanpa aku.”

“Apa? Itu ide gila!” tolak Sam, “Kami takkan meninggalkanmu di sini!”

“Baiklah, bagaimana jika aku berjaga di sini?” kata Edwin. Ia menatap James dengan tajam, “Rasnya sukar kupercaya aku mengatakan ini, tapi pergilah dan jagalah gadis-gadis ini!”

“Bagaimana kami tahu kau bukan pembunuhnya? Meninggalkan Calvin sendirian denganmu sepertinya ide yang buruk.”

“”Demi Tuhan, James! Lakukan saja!” seru Edwin, mulai kesal.

“Apa kau yakin akan baik-baik saja, Ed?” Sam terlihat khawatir.

“Aku punya ini.” Edwin mengacungkan pistolnya, “Sebaiknya kalian berhati-hati dengan James. Aku tak sepenuhnya percaya padanya.”

“Aku akan tetap di sini.” tiba-tiba Chelsea berkata.

“Apa kau yakin?”

Gadis itu mengangguk dan berjongkok di sebelah Calvin untuk mengecek lukanya.

Dengan berat hati Sam meninggalkan mereka bertiga dan meneruskan perjalanan.

“Hmmm ... kita mulai berpencar.” James bersiul sembari menengok menatap Sam, “Sudah seperti film horor murahan, bukan?”

 

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment