Thursday, January 19, 2017

AFTER DAWN: CHAPTER 7

 

UNTIL DAWN 2

“Oh, aku tak mau kau mengulangi dialog ‘Tapi kau kan sudah mati ...’ atau semacamnya yang pernah kau ucapkan pada Hope.” Calvin mengejek sambil mengelap pisaunya yang berlumuran darah, “Namun, yah ... aku memang masih hidup. Gotcha!”

“Cal ... Calvin? Kenapa? Ki ... kita baru saja bertemu hari ini ...”

“Aaaaah, kenapa sih kau selalu menyangkut-pautkan segalanya dengan dirimu? Semua yang terjadi di sini bukan hanya tentangmu, Tuan Putri! Kau bukan tokoh utama cerita ini sayangnya.” Calvin meludah ke arah mayat yang terbujur di bawah kakinya, “Tapi dia. Dia –lah sasaranku.”

“Edwin? Kau mengejar Edwin? Tapi kenapa?” Sam masih menuntut penjelasan.

“Sepupuku yang brengsek ini memang pantas menerimanya. Begitu pula semua orang yang membuangku ... semua keluarga Fear!”

“Kau ... kau seorang Fear?”

“Cih, mendengar nama itu saja sudah membuatku jijik. Keluarga kaya dambaan Amerika ... gambaran kesempurnaan ... Jika aku bisa membunuh mereka, akan kuhabisi semuanya tanpa sisa. Namun aku mulai dari yang muda dulu.”

Ia lalu mendongak menatap Sam, “Namun terima kasih kau sudah membunuh kakakku untukku.”

“Josh?” Sam langsung menyadarinya begitu melihat betapa miripnya mata mereka berdua, “Josh adalah kakakmu?”

“Lebih tepatnya kami memiliki ibu yang sama. Cuih ... Wallace Washington yang memuakkan. Bagaimana bisa ibuku menikahi pria menjijikkan itu? Ketika aku muncul di depan pintunya, meminta agar aku bisa berkumpul lagi dengan ibuku ... bertemu dengan saudara-saudaraku ... ia justru mengusirku. Ia menyebutku anak haram!”

Semua perkataan James di pantai kembali terngiang di kepalanya.

“Banyak gosip gila berterbangan mengenai alasan mereka bercerai. Mulai dari kabar burung bahwa Damona pernah memiliki seorang anak di luar pernikahan sebelum ia bertemu Wallace.”

“Suara jeritan itu tak lagi terdengar dari dalam peti, namun segera digantikan oleh jeritan ngeri semua orang ketika mereka membukanya. Di dalamnya ada mayat yang sudah separuh gosong. Itu mayat Wallace, ayah Josh.”

“Karena itu ayah dan ibu Josh bercerai,” bisik Sam, “Karena ia mengetahui Damona Fear memiliki anak di luar pernikahan.”

“Keluarga Fear sama saja! Bahkan ketika aku lahir, mereka mengadakan rapat akbar hanya untuk memaksa ibuku untuk membuangku. Ya! Mereka membuangku begitu saja ... seolah aku ini sampah!”

Suara Edwin kini terngiang di kepala Sam.

“Kau tahu ada berapa banyak Fear di Amerika? Aku mungkin bersaudara dengan Josh, namun kami adalah saudara jauh. Aku hanya pernah bertemu dengannya dan ibunya waktu kecil. Saat itu keluarga kami merapatkan sesuatu, entah apa itu aku lupa. Tapi itu bertahun-tahun yang lalu dan aku sama sekali tak dekat dengannya.”

“Ya Tuhan ... kau ke sini bukan untuk mengincarku ... kau mengincar Edwin.” Sam menutup mulutnya dengan telapak tangannya. “Ta ... tapi kenapa kau juga membunuh orang-orang tak bersalah? Gaston-Pierre. Miranda, Chelsea ...”

“Tak bersalah? Gaston-Pierre adalah pria kasar. Dan aksen Eropa Timur Miranda, tidakkah ia mengingatkanmu pada seseorang?”

“Ah, orang Prancis memang seperti itu. Lagipula mustahil Gaston-Pierre membunuh Miranda. Mereka sudah berpacaran selama 2 tahun setelah gadis itu pindah dari Budapest ke Paris.” kata Edwin pada Chelsea.

Ingatan Sam kembali melayang ketika kejadian di pondok setahun lalu, sebelum semua pembunuhan itu, Josh mengenalkan seorang gadis padanya dan teman-temannya.

“Perkenalkan semuanya, ini pacarku, Lyra.”

“Lyra?”

“Yup, Lyra Fear.”

“Di ... dia seorang Fear juga?”

“Dia mati malam itu. Dan Miranda adalah adik kandungnya, seorang Fear. Tidakkah kau ingat apa yang terjadi saat itu di kapal, Sam? Miranda dan pacarnya, Gaston-Pierre menjebakmu. Pria itu pura-pura terluka, lalu ketika kalian hanya bertiga di kapal, dia berusaha membunuhmu dengan memukul kepalamu. Mereka berusaha membalaskan dendam Lyra, karena sama seperti Edwin tadi, mereka mengira kau-lah yang bertanggung jawab. Untung saja aku datang tepat waktu.”

“Ka ... karena itukah aku tak ingat apapun tentang perjalanan di Bali itu?”

“Dan Chelsea ... oh, aku tak ingin memanfaatkannya. Namun ia begitu mudah ditipu. Ia benar-benar tergila-gila padaku, Jadi ketika aku memberitahukan bahwa aku punya rencana berpura-pura mati agar aku bisa menjebak si pembunuh, ia langsung percaya dan membantuku.”

Chelsea segera memeriksa denyut nadi Calvin dan dengan berurai air mata, ia menoleh ke arah Edwin. “Dia ... dia sudah meninggal ...”

“Ta ... tapi bagaimana kau bisa mengacak-acak tenda kami ... sementara kau ada berada bersama kami sepanjang perjalanan dari pantai ke perkemahan?”

“Oh, bukan aku yang melakukannya. Namun dua pemburu sial yang ternyata ada juga di pulau ini. Itu di luar rencanaku. Tapi aku sudah membereskan mereka. Aku memang memasang beberapa jebakan di sini untuk mengamankan rencanaku.”

“Semua ini ... semua ini kaulakukan hanya untuk membalas dendam?”

“Kutukan ini mendarah daging dalam hati kami, Sam. Kurasa, walaupun aku sangat membenci mereka, kenyataannya aku memang bagian dari keluarga Fear ... Namun kau, Sam ... kau-lah tujuanku berada di sini ...”

“Apa maksudmu?”

Pemuda itu pergi dan Clara segera menyikut Sam. “Ganteng sekali kan dia? Kurasa dia naksir padamu.”

“Kita senasib ... aku tahu itu. Aku tahu semua yang terjadi padamu malam itu. Itu semua karena keluarga Fear. Kita punya musuh yang sama ...”

Calvin mengulurkan tangannya, “Bersama kita akan menumpas generasi terakhir keluarga Fear ... dan mereka akan lenyap dari muka bumi ini ...”

“Tidak!” tolak Sam, “Aku bukan pembunuh sepertimu!”

“Ikutlah bersamaku, Sam!”

“TIDAAAAK!!!” Sam memejamkan matanya dan menutup telinganya.

Tiba-tiba terdengar teriakan.

Sam membuka matanya dan terkejut melihat tubuh Calvin kini berlumuran darah. Tubuhnya terjerembap ke depan dan di belakangnya tampak seorang pemuda tengah menggenggam kapak.

Irwan.

“Ka ... kau ...”

Pemuda itu juga tampaknya terkejut melihat perbuatannya dan menjatuhkan kapaknya yang berlumuran darah.

“Ayo cepat lari dari sini!” serunya sembari mendorong Sam ke depan. Mereka berdua berlari melintasi jembatan gantung itu, namun tiba-tiba mereka merasakan jembatan itu bergoyang keras.

Mereka berdua menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.

“Tidak! Jangan lakukan itu Calvin!”

Pemuda itu rupanya masih hidup. Dengan sisa tenaganya, ia memotong tali jembatan gantung dengan kapak yang tadi dijatuhkan Irwan.

“Hentikan!” dengan susah payah jagawana itu berpegangan pada tepi jembatan, “Kau akan membuat kita semua jatuh ke bawah!”

Cahaya bulan menyinari senyuman bengis Calvin.

“Jika aku pergi ke neraka,” bisiknya, “Kita akan pergi bersama-sama ...”

Sam menjerit ketika tubuhnya dan tubuh Irwan terjatuh ke dalam kegelapan ketika jembatan itu runtuh.

***

 

Sam mengeluarkan kepalanya dari air, megap-megap berusaha bernapas setelah entah berapa lama ia terendam. Ia mencoba berenang, namun percuma. Dinginnya air serasa membekukan kaki dan tangannya. Belum lagi derasnya aliran sungai yang entah kemana akan membawanya.

“Irwan!” panggil gadis itu sembari berusaha menjaga agar kepalanya tetap berada di atas air, “Irwan, dimana kau?”

Tiba-tiba seseorang menggenggam tangannya. Gadis itu berbalik dengan lega, mengira Irwan juga selamat setelah terjatuh dari jembatan itu.

Namun dengan segera, tangan itu meraih kepalanya dan membenamkannya ke dalam air.

Sam merasa air mulai masuk ke hidung dan mulutnya. Tangan itu menjambak rambut Sam dan menarik kepalanya ke atas.

Hampir sesak napas karena air yang tadi masuk ke dalam wajahnya, Sam masih mampu melihat sosok yang baru saja membenamkannya.

Calvin.

Hatinya langsung menciut begitu menyadari pembunuh itu masih hidup. Sam segera meronta, namun mendengar suara gemuruh yang semakin mendekat serta buih-buih putih di permukaan air, ia menyadari perjuangannya akan semakin berat.

Air Terjun Pengantin berada tepat di depan mereka.

 

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment