Wednesday, January 18, 2017

AFTER DAWN: CHAPTER 1

 

UNTIL DAWN 2

AFTER DAWN: A SEQUEL OF UNTIL DAWN

THE NIGHTMARE IS NOT OVER YET

SAMANTHA WEST SELAMAT DARI PEMBANTAIAN YANG MENIMPA TEMAN-TEMANNYA. NAMUN KEMATIAN SELALU MENGIKUTINYA KEMANAPUN IA PERGI.

SAMANTHA TERBANGUN, TANPA INGATAN APAPUN, BERSIMBAH DARAH DAN TERDAMPAR DI SEBUAH PULAU TERPENCIL BERSAMA TEMAN-TEMANNYA DAN BEBERAPA ORANG YANG TAK IA KENAL.

MEREKA SADAR BAHWA MEREKA TENGAH DIBURU OLEH SESOSOK PEMBUNUH MISTERIUS YANG BERTEKAD MENCABUT NYAWA MEREKA SATU PERSATU.

SATU DEMI SATU.

PERATURANNYA MASIH SAMA, MAMPUKAH MEREKA BERTAHAN HIDUP HINGGA FAJAR MENJELANG?

WELCOME TO THE GAME

***

 

“APA YANG TERJADI?”

Samantha membuka matanya. Ia terbangun karena ada yang menggoncang-goncangkan tubuhnya dengan keras. Ia terkesiap ketika memandang Edwin Fear berada di depannya sembari menggenggam kedua bahunya dengan wajah cemas.

“Apa yang terjadi, Sam?”

Sam dengan bingung menengok ke atas bahu Edwin dan menjerit.

Di belakang Edwin, tergeletak tubuh seorang gadis berlumuran darah. Kepalanya tampak ... pecah. Sam yakin ia bisa melihat tengkoraknya yang putih menyembul retak di balik rambut pirang yang tergerai, terselimuti darahnya sendiri.

“Miranda!” jerit Sam, “Miranda! Apa yang terjadi dengannya?”

“Kau tak ingat? Kalian pergi bersama kan ke kapal ini untuk mengantar Gaston – Pierre?”

Sam menatap Edwin dengan kebingungan. “Be ... benarkah?”

Ia merasa kapal yang ditumpanginya terombang-ambing. Ia berdiri dan nyaris muntah melihat darah yang begitu banyak membasahi geladak yang semula putih itu.

“Gawat! Tangkinya bocor. Sepertinya ada yang sengaja merusaknya.” seorang pemuda berjalan ke arah mereka. Wajahnya amat tampan, namun Sam tak mampu mengenalinya.

Sial,” pikir gadis itu, “Apa aku hilang ingatan lagi?”

“Di ... dimana kita?” bisik Sam kepada Edwin.

Pemuda itu menatapnya, “Kau tak ingat? Kita di Bali?”

“Lebih tepatnya di pulau antah berantah beberapa jam dari Bali yang kita sendiri tak tahu letaknya.” Ia mengintip smartphone-nya, “Masih tak ada sinyal. Aku tak bisa mencari lokasi pulau ini dengan google maps.”

Si ... siapa dia?” tanya Sam kebingungan.

Pemuda itu kembali memandangnya, kali ini dengan heran. “Kau tak ingat padaku?”

“Sudah kubilang kan ia punya masalah dengan ingatannya?” Edwin menjawab, “Perkenalkan saja dirimu lagi padanya.”

“Namaku Calvin.” jawabnya sambil memicingkan mata, “Kau benar-benar lupa padaku? Kita bersama seharian ini. Kau juga lupa pada Chelsea?”

Sam menggeleng. Ia tak ingat pada pemuda itu. Namun yang jelas ia ingat pada Edwin. Ia sudah mengenalnya jauh sebelum ini. Ia pergi kuliah bersamanya di Yale. Edwin adalah pemuda populer di sana, sulit untuk tak memperhatikannya. Lagipula ia berasal dari keluarga Fear, salah satu keluarga paling terpandang di Amerika.

Tak ada yang tak mengenal siapa Fear. Reputasi mereka amat ....

“Bagaimana dengan Gaston-Pierre?” Edwin berbalik ke arah pemuda berambut gelap bernama Calvin itu.

Ia menggeleng, “Hanya ada bekas darah yang diseret di mana-mana. Mungkin saja mayatnya dijatuhkan ke laut. Aku tak menemukannya dimanapun.”

“Jangan biarkan para gadis melihatnya. Biar aku yang ...”

“Clara!” Sam langsung menggenggam lengan Edwin dengan erat, “Jangan katakan Clara ada di sini!”

“Hei guys,” terdengar suara langkah menaiki kapal, “Kenapa kalian lama seka ... AAAAAAAAA!!!”

Gadis berparas Asia itu menjerit dengan histeris hingga Calvin harus menariknya turun dari kapal. Sama seperti Calvin, Sam merasa tak pernah melihat gadis itu sebelumnya.

“Di ... dimana sebenarnya kita?”

Sam menoleh dan melihat sebuah pantai indah dengan pohon kelapa berjejer di tepinya, juga bunga-bunga yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Warna laut amat biru dan Sam bersumpah bisa melihat terumbu karang dengan ikan-ikan eksotik berenang di bawah permukaannya yang benih. Langit juga berwarna lazuardi, senada dengan corak lautan.

Dan juga berpadu amat serasi dengan warna mata Edwin yang indah.

Sam buru-buru menghapus pikiran itu dari benaknya. Ada mayat terbujur kaku di sini dan ia sendiri tak tahu bagaimana ia bisa berada di sini. Bagaimana mungkin ia bisa berpikir tentang berada satu kapal dengan pemuda yang ia taksir saat ini?

“Clara? Bagaimana dengannya? Ia baik-baik saja kan?”

“Tentu ... ia kusuruh berjaga di kemah kita bersama ... Ah, sial! Jika Chelsea ada di sini berarti ...”

Edwin segera berbalik dan berseru. “Hei, Chelsea! Kau meninggalkan Clara sendirian di sana?!”

***

 

Sam berjalan melintasi sebuah hutan tropis yang amat hijau dengan kanopi yang sejuk, bahkan agak dingin. Ia tadi merasa hawa amat panas di pantai, namun di sini ia merasa mengiggil. Ia hanya memeluk dirinya sendiri karena lembapnya udara di sini. Tiba-tiba ia merasakan sebuah jaket ditelungkupkan ke arahnya. Sam menoleh dan melihat Edwin menyelimuti dirinya dengan jaket almamater Yale-nya.

“Ini, pakai saja! Kau kelihatan kedinginan.”

Wajah Sam bersemu merah, “Terima kasih, Ed.”

“Calvin baru saja menceritakannya padaku,” gadis di sampingnya mengajaknya bicara, “Katanya kau lupa siapa kami?”

“Ehm,” Sam terbatuk sebentar, “Sejujurnya iya. Aku tak ingat bagaimana aku bisa sampai di sini. Yang terakhir aku ingat, aku mempersiapkan liburan musim panasku di Connecticut. Dan tiba-tiba saja aku berada di atas sebuah kapal dengan mayat seorang gadis tak jauh dariku.”

“Jadi kau tak ingat siapa pembunuhnya?” selidik gadis itu.

Sam menatapnya balik penuh curiga.

“Ah maaf, aku Chelsea Alexandra. Kau pasti lupa. Kita pernah bertemu di Buleleng.”

“Dan pemuda itu?” Ia menatap ke arah Calvin yang berjalan paling depan, “Apa dia pacarmu?”

Chelsea tertawa ringan, “Pengennya sih begitu, Sayang aku juga baru bertemu dengannya. Ia couch-surfing di villaku semalam. Aku tak begitu mengenalnya, namun ia ganteng sekali bukan?”

“Kau asli sini?”

Ia menggeleng, “Yah, aku orang Indonesia jika kau tanya. Namun asalku dari Surabaya. Aku hanya menghabiskan liburanku di Bali dan bertemu kalian saat ...”

“HEI, KAU!” seru Edwin tiba-tiba. Sam baru tersadar mereka telah tiba di sebuah tanah lapang dengan beberapa tenda berdiri. Suara gemericik air yang keras membuatnya mendongak ke atas dan melihat sebuah air terjun yang amat indah diselimuti kabut yang terasa mistis.

Tanpa disangka, Edwin langsung menerjang tubuh seorang pemuda dan bergelut dengannya di tanah.

Sam menjerit begitu melihat wajah pemuda itu.

“James Lincoln!” serunya, “Apa yang dia lakukan di sini?”

***

 

“Sam!” panggil seorang gadis, “Kau baik-baik saja?”

Sam menoleh dan melihat Clara, teman sekamarnya di asrama Yale sekaligus sahabatnya. Ia langsung memeluknya dan menitikkan air mata.

“Ya Tuhan, untung kau selamat!” Sam tak bisa menahan rasa harunya.

“Apa yang kau bicarakan? Dimana Miranda?”

Sam mengusap air matanya dan baru saja teringat pada perkelahian antara Edwin dan James yang masih berlangsung.

“Kalian berdua, tolong hentikan!”

Namun James memukul wajah Edwin hingga ia tersungkur.

“Calvin!” seru Edwin sembari mengusap darah di bibirnya, “Bantu aku menahan pria ini!”

Calvin langsung menuruti apa yang ia perintahkan dan menahan tubuh James dari belakang.

“Apa yang kau lakukan!” James berusaha meronta.

“Hentikan!” seru Clara, “Ia sama sekali tak menyakitiku. Ia datang untuk membantu kita! Yatch-nya lebih cepat ketimbang kapal kita. Kita bisa menggunakannya untuk membawa Gaston-Pierre ke rumah sakit.”

Semua orang langsung memandangnya.

***

 

“Apa?” tubuh Clara bergetar ketika ia menangis tersedu-sedu, “Miranda dan Gaston-Pierre sudah meninggal? Ba ... bagaimana bisa?”

“Entahlah, Clara ...” Sam menunduk penuh sesal, “Aku mungkin melihat siapa pelakunya, namun aku tak ingat ...”

“Ingatanmu hilang lagi? Ba ... bagaimana bisa?”

“Entahlah. Aku bahkan tak ingat bagaimana kita bisa berada di sini.”

“Kau tak ingat pada lotere itu?”

“Lotere?”

“Ya, kita memenangkan lotere berhadiah liburan gratis ke Bali. Namun kita berdua belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya kan, jadi kita mengajak Edwin? Lalu Edwin mengajak dua temannya semasa magang di Paris, Miranda dan Gaston-Pierre. Kau tak ingat? Kita berlima pergi ke sini ...”

“Lalu pemuda itu?’

Ia masih menatap pemuda berwajah tampan itu. Entah kenapa, semenjak tadi Calvin menjadi semacam magnet bagi perhatiannya.

“Calvin? Kita baru bertemu dengannya kemarin bersama dengan Chelsea. Kita dengan cepat berteman dengan Chelsea sebab dia gadis lokal yang mengerti Bali dengan baik dan mengajak kita berjalan-jalan ke objek yang menarik. Lalu ia menyarankan kita pergi untuk berkemah di Air Terjun Pengantin seperti yang ia baca di Lonely Planet ...”

“Air Terjun Pengantin?”

“Ya! Kau sama sekali lupa tentang hal itu? Kita bertujuh berlayar ke sini dengan kapal yang disewa Edwin. Tapi Gaston-Pierre tergelincir dari atas air terjun dan terjatuh .... ah, benar-benar mengerikan! Ada darah dimana-mana. Saat itu Calvin dan Edwin sedang ada di hutan, jadi hanya kau dan Miranda yang memapah Gaston-Pierre kembali ke kapal.”

“Lalu James?” ia menatap pemuda yang duduk di depan perapian itu. Sesekali mata mereka bertatapan, namun Sam buru-buru mengalihkan pandangannya.

“Aku juga tak tahu bagaimana James bisa ada di sini. Tiba-tiba saja ia muncul saat kalian semua pergi.”

“Dia menguntitku sampai ke sini. Benar-benar sulit dipercaya.”

“Mungkin saja itu kebetulan, Sam. Ia berkata ia melihat kita di Buleleng dan ...”

“Tidak! Mustahil ia kebetulan! Semenjak kejadian di resort ski setahun lalu, ia selalu mengikutiku. Ia mengatakan bahwa ia adalah sahabat Josh dan selalu saja menginterogasiku tentang apa yang terjadi padanya malam itu. Ia menuntut jawaban, tapi aku ... aku tidak ingat ...”

Sam memegangi kepalanya. Ia terus saja merasa pusing ketika berusaha mengingat apa yang terjadi malam itu – ketika teman-temannya terbunuh satu demi satu karena ulah pembunuh berantai.

“Sudahlah, Sam. Jangan diingat lagi. Tak ada yang memaksamu.” Clara menepuk bahunya, “Toh pelakunya sudah tertangkap bukan. Michael kalau tak salah namanya.”

“Michael ...” entah mengapa Sam merasa bukan itu yang terjadi malam itu. Ada yang lebih mengerikan ... jauh lebih mengerikan ... namun seakan ingatannya sendiri menolak untuk mengenangnya. Yang Sam bisa lakukan sekarang hanya bertanya-tanya.

“Mencurigakan sekali.” ujar Edwin memecahkan keheningan sore itu. “Kau datang ke sini dan tiba-tiba dua teman kami terbunuh.”

“Itu tak ada hubungannya denganku.” jawab James sambil menatapnya dengan dingin, “Lagipula kau yang mengajak mereka berdua ke sini kan, teman-teman Eropamu itu? Kau-lah yang harusnya disalahkan atas kematian mereka!”

“Kurang ajar kau!” Edwin berusaha mennghajarnya lagi, namun Calvin buru-buru menghentikannya.

“Bersabarlah, Man!” ia lalu mengalihkan perhatiannya pada James, “Bagaimana kau bisa sampai ke sini?”

“Dengan yatch-ku.” jawabnya, “Ada di dermaga.”

Yang lain saling bertatapan.

“Dermaga yang kita lihat terbengkalai itu?” tanya Chelsea, “Berarti kita bisa keluar dari sini.”

“Kau ke sini sendirian?” selidik Edwin.

“Tentu saja. Aku bisa mengemudikan yatch-ku sendiri. Ada teknologi GPS dan ...”

“Ada internet dan alat komunikasi?” sela Clara sembari menghela napas lega, “Syukurlah, kita bisa memanggil polisi.”

“Namun aku peringatkan, kita tak sendirian di sini.”

“Apa maksudmu?” Edwin mengerutkan dahinya.

James memandangnya dengan ekspresi misterius, “Aku melihat ada kapal lain berlabuh di sana.”

***

 

“Apa tak apa kita meninggalkan kemah begitu saja?” tanya Clara sepanjang perjalanan,

“Nyawa kita lebih penting.” jawab Edwin yang memimpin mereka menembus hutan. Di belakangnya, Sam, Clara, James, Calvin, dan Chelsea mengikuti.

“Sudah kuduga seharusnya kita tidak ke sini ...” Chelsea berbisik penuh sesal. Sam bisa mendengarnya.

“Bukankah seharusnya ada yang mencari kita bila kita tak kembali ke hotel atau semacamnya?” tanya Sam padanya.

“Kita ke sini tanpa izin. Ini adalah wilayah Taman Nasional yang tertutup oleh wisatawan. Seharusnya kita tak berada di sini.” Chelsea menjelaskan. “Tak ada yang tahu kita di sini.”

“Hebat! Itu menjelaskan mengapa pantai itu sepi sekali di musim liburan seperti ini.” keluh James.

“Hei, lihat! Api itu!” tunjuk Calvin. Dari arah pantai, terlihat semburat warna jingga yang membara diikuti kepulan asap. “Jangan bilang itu adalah ....”

“SIAL! KAPALKU!” James segera berlari ke arah pantai. Semua segera mengikutinya dengan langkah kencang.

“Tidak! TIDAK!” seru James dengan murka ketika kakinya menyentuh pasir dan melihat kapalnya terbakar dengan hebat di dermaga kayu. Apinya membumbung tinggi. menerangi pantai itu.

“Se ... seseorang sengaja membakarnya ...” kata Sam terbata-bata.

“Bila kutemukan bajingan ini aku akan ...” James mulai mengancam sambil mengepalkan tangannya, “Jika ini perbuatan salah satu dari kalian ...”

“Tidakkah kau mengerti!” jerit Sam.

Semua perhatian segera terarah padanya.

“Ada yang mempermainkan kita! Ada yang sengaja mengurung kita di sini!”

Bibir Sam tergetar saat mengucapkannya. Ia tahu ia tidak aman ... ia takkan pernah aman.

“Ya Tuhan ...” James memandangnya, “Ini terjadi lagi, bukan?”

 

BERSAMBUNG

1 comment:

  1. Finallyyyyyyyyyyyyyyyyyyyy. Yeay so glad to know chapter II Realeased!!!!!! <3

    ReplyDelete