Thursday, November 26, 2015

CITY OF ASHES: EPISODE 7 (ORIGINAL SERIES)

 

PART 2: JANUAR

CHAPTER 1

  CITY OF ASHES

LADY IN RED

Copyright by: Dave Cahyo

 

Januar membanting mayat narapidana itu dan mulai mengejar yang lainnya. Seorang pria yang ia lihat di televisi sebagai perampok dan pembunuh menjadi mangsanya berikutnya. Perlawanan pria itu sama sekali tak ada artinya bagi Januar. Ia segera merobek pembuluh nadi di lehernya dan menghisap habis darahnya. Setelah itu tak lupa ia mencabut jantungnya untuk memastikan ia tak berubah menjadi vampir, sesuai pesan Juliana.

Ia menatap gelimpangan mayat yang mengelilinginya. Setitik rasa bersalah muncul di hatinya. Namun buru-buru perasaan itu dihapusnya. Mereka semua adalah penjahat yang pantas mati. Ia telah banyak melihat dan mendengar kejahatan mereka. Karena itu ia datang ke penjara ini untuk makan. Ia hanya memuaskan hasrat membunuhnya pada orang-orang jahat saja.

Namun kemudian ia merasakan sesuatu.

Bau ini ... ia teringat pada seseorang.

Aroma ini adalah aroma yang amat dikenalnya.

Setelah berubah menjadi vampir, kelima indranya tiba-tiba menjadi sangat tajam. Penglihatan, pendengaran, bahkan penciumannya.

Januar segera menengok dari jendela dan melihat tiga orang sedang menunggang seekor kuda putih.

Lana.

Ya, ia tak salah lihat.

Gadis itu ada di sini.

***

 

Lana menoleh melihat gedung penjara yang baru saja ia lewati. Entah mengapa ia merasakan ada seseorang yang tengah memperhatikannya.

“Kak Shandi?”

“Ada apa Lana?” jawabnya di tengah suara derapan langkah kuda.

“Dalam perjalanan ke rumah sakit kita akan melewati rumahku. Bisakah kita mampir sejenak untuk melihat keadaan ibuku? Apa itu akan mengganggu Fino?”

“Kurasa tak apa jika hanya sebentar. Fino masih tertidur.”

Lana mengeratkan pelukannya di tubuh Shandi. Dalam benaknya teringat tentang betapa kacaunya kondisi rumah tangga keluarganya; kondisi yang membuat setiap hari dalam kehidupan Arman dan dirinya serasa seperti di neraka.

***

 

“Lana, mau kemana kau?” tanya ayah tirinya.

Lana menjawab tanpa berusaha memandang wajah ayah tirinya, “A ... aku hendak pergi bersama Januar.”

“Mengapa kau mau pergi? Tinggallah saja di rumah.” Ayah tirinya segera meraih tangan Lana. Gadis itu langsung meronta dan menjerit.

“Lepaskan aku! Lepaskan!!!”

Ayah tirinya itu berusaha mencium Lana, namun sebuah bogem mentah langsung mendarat di wajahnya.

“BRAAAK!!” tubuh ayah tiri Lana segera tersungkur di ruang tamu, menabrak meja.

“Ada apa ini?” ibu kandung Lana dan segera membantu suaminya berdiri. Ia menatap gerang Januar yang telah menghajar suaminya.

“Dasar anak berandalan! Mulai sekarang kau tak boleh lagi bergaul dengan putriku!”

“Tidak! Ini bukan salah Januar!” jerit Lana, “Dia yang berusaha berbuat mesum padaku!” tunjuk Lana pada ayah tirinya.

“Jangan berbohong, Lana! Suamiku tak mungkin berbuat bejat seperti itu!”

Walau dengan darah di mulutnya, ayah tiri Lana tersenyum mendengar pembelaan istrinya.

“Ibu tak pernah peduli padaku dan Kak Arman! Karena itu Kak Arman tak pernah ada di rumah, karena tak betah dengan kalian berdua!” tangis Lana. Entah mengapa, Lana merasa ibunya begitu membenci mereka berdua. Bahkan Lana tak pernah bisa menemukan foto-foto masa kecilnya bersama Arman. Ibunya mungkin telah membuang semuanya.

“Sudahlah, Lana!” Januar berusaha menenangkan sahabatnya sejak kecil itu, “Ayo kita pergi saja dari sini.”

***

 

Semenjak Arman menghilang pun, ibunya sama sekali tak menunjukkan tanda kekhawatiran. Karena itulah Lana lebih suka menunggu di sekre, dikelilingi teman-temannya, ketimbang berada di rumah.

Namun itu bukan berarti Lana tak lagi menyayangi ibunya. Ia masih tergerak untuk melihat keadaannya di rumah. Semoga mereka baik-baik saja, harap Lana.

“Di sini kan rumahmu?” tanya Shandi. “Bisakah kau turun sendiri, Lana? Aku harus menjaga Fino.”

Lana kemudian turun dari kuda dan berjalan masuk ke rumah.

“Ibu? Kau ada di dalam? Mengapa pintunya terbuka?”

Lana masuk tanpa sedikitpun curiga. Namun begitu sampai di ruang tamu, ia langsung menjerit.

Ia melihat ayah tirinya sudah tewas dengan kondisi yang sangat menggenaskan. Keempat kaki dan tangannya terpuntir ke arah yang berlawanan. Lehernya juga telah patah dengan luka sobek menganga. Tak hanya itu, isi perutnya juga telah tumpah ruah ke luar. Siapapun yang telah menghabisinya benar-benar menikmati waktu dengan menyiksanya.

“Ibu! Ibu!!!” jerit Lana panik. Ia takut ibunya telah mengalami nasib yang sama dengan ayah tirinya.

“La ... Lana ...” terdengar rintihan dari kamar ibunya. Lana langsung merasa lega sebab paling tidak ibunya masih hidup.

Namun lana kembali menjerit begitu ia memasuki ruang tidur. Ibunya berdiri di samping dengan darah mengucur deras dari lehernya. Sama seperti ayah tirinya, ada luka sobek lebar di lehernya yang terus mengeluarkan darah.

“I ... ibu ...” Lana bahkan tak berani mendekat. Tatapan mata ibunya kosong bak terhipnotis.

“Maafkan aku Lana ... ia menyuruhku untuk melakukan ini ... supaya aku tak berubah menjadi sama seperti mereka ...”

“I ... ibu ... melakukan apa ibu?”

Ibu Lana segera mengeluarkan korek api, menyalakannya, lalu membakar gaun yang dikenakannya.

“Tidaaaak! Ibu!!!!” jerit Lana, namun terlambat. Api itu sudah melalap tubuh ibunya, menelannya dalam kobaran api yang membesar hingga menjilat langit-langit.

“Lana?”

Mendengar suara laki-laki di belakangnya, Lana menoleh dan lagi-lagi terkesiap.

Januar berdiri di belakangnya, berlumuran darah.

Darah segar masih menetes dari sela bibirnya dan taringnya.

“Januar ... Ya Tuhan, kau yang melakukan semua ini???”

***

 

Nino mencampakkan mayat dari kamp pengungsian itu ke tanah. Itu adalah korban terakhirnya. Ia, Nocha, dan Bram telah menyapu habis semua orang yang berada di sini, tanpa tersisa sedikitpun.

“Aku bosan, Nino!” kata Bram, “Mereka sama sekali tak melawan.”

“Hati-hati dengan permintaanmu, Bram.” Nocha datang dan berkata. “Aku dengar sudah ada grup gerilya yang ingin melawan balik kita.”

Bram tertawa, “Melawan balik? Dengan apa, bambu runcing?”

“Kita hanya mampir makan di sini,” balas Nino, “Jangan lupakan tugas kita untuk menemukan Darah Suci.”

“Huh, aku ingin bersenang-senang dulu. Dimana grup gerilya itu? Aku sangat ingin menemukan dan bermain dengan mereka.” Bram tersenyum dengan sombongnya.

***

 

Gadis bergaun merah itu berjalan di tengah jalan yang lengang, sambil menatap langit yang masih saja gelap tertutup awan hitam.

“Apa ada orang di sini?” katanya dengan nada ketakutan, “Halo?”

Rambut panjangnya terurai, namun kotor oleh debu vulkanik yang jatuh dari langit bak salju.

“Hei, Nona!” panggil seorang pemuda, “Apa yang kau lakukan sendirian di sini?”

Gadis itu menoleh dan lega melihat masih ada orang lain selain dirinya di sini. Ia juga tertegun melihat keelokan pemuda itu. Ia sangat tampan dengan kulit putih dan bola mata berwarna hijau terang.

“Kau bukan orang sini ya?” tanya gadis itu, “Apa kau mahasiswa internasional dari UGM?”

“Ya, kau juga dari UGM?”

Gadis itu mengangguk, “Aku terpisah dengan teman-temanku. Apa ... apa yang terjadi di sini? Kemana semua orang?”

“Semua orang sudah mengungsi, Nona.” kata pemuda itu dengan santun, “Ayo kuantar kau ke kamp pengungsian. Aku yakin semua temanmu sudah berada di sana.”

Gadis itu menerima uluran tangan pemuda itu. “Siapa namamu?”

“Namaku Abraham,” jawabnya sambil tersenyum, “Tapi kau bisa memanggilku Bram. Kau?”

Gadis itu membalas senyumannya dan tiba-tiba berkata.

“Lepaskan jaringnya!!!”

Tiba-tiba seutas jaring dilemparkan ke arah pemuda itu, seketika membakar kulitnya. Bram meronta dan menampakkan wujud aslinya. Kuku-kuku panjang segera muncul dari tangannya, bersiap merobek jaring itu. Namun lagi-lagi tangannya terasa tersulut begitu menyntuh jaring itu.

“Nikmatilah. Jaring itu telah direndam ke dalam vervain.” bisik gadis itu, “TEMBAK SEKARANG!”

“DOR DOR DOR!!!” suara tembakan menggema. Timah panas segera menembus tubuhnya, melemahkannya. Daging dan tulangnya terasa terbakar setelah bersentuhan dengan peluru-peluru itu.

“Peluru perak! Ini peluru perak!!!” seru pemuda itu dengan marah.

“Tepat sekali.” ujar gadis itu.

Sosok sang penembak akhirnya menunjukkan dirinya. Ia adalah seorang gadis berkepang dengan baju ala Lara Croft dengan sepatu boot berhak tinggi. Tangannya memegang senapan yang masih berasap.

“Hahaha!!! Bram justru tertawa, “Permainan seperti ini justru membuatku makin bergairah! Vervain dan peluru perak takkan melukaiku terlalu lama!”

Setelah mengumpulkan kekuatannya, Bram berhasil mengoyak jaring itu dan untuk menerkam kedua gadis itu. Namun mereka hanya tersenyum, seolah telah mempersiapkan skenario selanjutnya.

“KATANA!” serunya.

Kali ini sosok ketiga muncul dari belakang Bram dan menggunakan pedangnya untuk memenggal tangan vampir itu.

Sosok ketiga itu akhirnya berjalan ke depan Bram sambil mengacungkan kedua pedangnya bak samurai. Ia berpenampilan seperti cosplayer, dengan rambut palsu berwarna pink dan kostum biru.

“Kau ingin tahu namaku, bukan?” tanya gadis bergaun merah itu, “Namun terlebih dahulu perkenalkan teman-temanku.”

“Namaku Vivian Fakasi.” ujar gadis bersenjatakan senapan itu.

“Aku Yuuki Raven.” kata gadis yang memegang katana itu.

“Dan aku ...” katanya sambil meminjam salah satu pedang itu dan menebaskannya ke kepala Bram.

“Damia.”

 

TO BE CONTINUED

2 comments:

  1. "Sosok sang penembak akhirnya menunjukkan dirinya. Ia adalah seorang gadis berkepang dengan baju ala Lara Croft dengan sepatu boot berhak tinggi."
    please deh bang... lebay ah, apa gk repot berburu vampir pke spatu hak tinggi? klo keseleo pegimana?

    ReplyDelete