Sunday, November 8, 2015

CITY OF ASHES: EPISODE 3 (ORIGINAL SERIES)

 

PART ONE: SHANDI

CHAPTER 3 

CITY OF ASHES  

RIOT

Copyright by: Dave Cahyo

 

Dynda Noe mendekatkan mikrofon dan mulai berbicara di depan kamera.

“Reporter Dynda Noe melaporkan dari pusat kota Yogyakarta. Seperti bisa dilihat di belakang saya, kegelapan telah menyelimuti penjuru kota karena letusan abu vulkanik Merapi. Kota kini dalam keadaan kacau balau karena kepanikan warga. Penjarahan terjadi dimana-mana dan perintah untuk mengevakuasi seluruh kota telah dikeluarkan ....”

Perkataan wartawati itu terhenti karena suara deruman maha dahsyat yang memekakkan telinga.

“Ada apa itu?” Dynda segera menoleh dan melihat sebuah pesawat tergelincir dari langit dan tak mampu mengendalikan diri. Pesawat itu jatuh dan menghantam Tugu Yogyakarta, diikuti ledakan dahsyat yang disertai bunga api.

“Astaga, Gesta! Apa kau merekam itu?” seru Dynda tak percaya. “Tugu Yogya baru saja hancur!”

Gesta yang masih memegang kamera hanya terpaku. Sepanjang kariernya sebagai kamerawan, tak pernah ia merekam hal segila ini.

“Dynda, kurasa kita harus segera pergi dari kota ini!”

“Apa kau gila? Ini tugas kita, memberitakan pada dunia luar!”

“Tapi kita bisa mati jika terus ada di sini!”

“Kyahahahahaha!!!” terdengar pekikan keras dari arah langit. Gesta langsung mengarahkan kameranya ke atas.

“Ya Tuhan, suara apa itu tadi?” Dynda mulai merasa ketakutan. Suasana di sini lebih mirip zona perang, ketimbang kota pelajar yang dulu amat dinikmatinya.

Tiba-tiba mereka melihat sesuatu melesat di langit, terbang. Itu jelas bukan pesawat, namun itu adalah ....

“A ... apa itu tadi? Apa itu kelelawar?” jerit Dynda tak percaya, “Gesta, kau merekamnya kan?”

***

 

Lana dengan ketakutan menyaksikan penjarahan berbagai toko yang ada di sepanjang jalan.

“Sudah! Jangan dilihat!” kata Shandi yang memimpin mereka, “Terus saja berjalan. Kita hampir sampai.”

Lana mulai menyaksikan aksi pembakaran. Mengapa kondisi kota jadi setegang ini? Belum lagi kegelapan yang menyelimuti kota. Kapan mimpi buruk ini akan segera berakhir?

Mimpi ... semoga saja semua ini hanya mimpi, doa Lana dalam hati. Dalam keadaan semenakutkan ini, ia terus berharap kakaknya ada di sini, menenangkannya.

Lana kembali teringat pada kakaknya. Kakaknya yang selalu membanggakan blognya. Kakaknya yang selalu menunjukkan foto sunrise sepulangnya ia mendaki. Kakaknya yang memiliki keistimewaan ketimbang orang lain.

Arman adalah seorang heterochromia, artinya dia memiliki dua warna mata yang berbeda. Salah satu matanya berwarna coklat seperti orang Indonesia kebanyakan. Namun bola matanya yang lain berwana biru. Karena itu banyak gadis tergila-gila padanya. Namun Lana jarang mendengar kakaknya bercerita tentang memiliki seorang pacar. Bahkan mungkin sejauh ini, hanya Tieya gadis yang pernah dekat padanya. Ketika Arman putus dengan Tieya, hanya inilah penjelasan yang berhasil Lana peroleh dari kakaknya.

“Aku jatuh cinta dengan seseorang yang tak pernah akan bisa aku miliki, Lana.” kata Arman sambil menatap lekat ke mata adiknya.

Lana tak pernah mengerti apa maksudnya itu. Apa karena mereka berdua berbeda suku? Orang bilang mereka takkan cocok karena perbedaan budaya. Namun Lana tahu kakaknya takkan menyerah hanya karena hal semacam itu.

“Lana, bukankah itu sekolahmu!” tunjuk Shandi.

Lana segera tersadar dari lamunannya, “Oh, ya ... benar, Kak!”

Mereka berempat segera menghampiri gedung sekolah itu dan menyadari, ada sebuah truk tentara yang meninggalkan tempat itu.

“Hei, tunggu!!!” teriak mereka ketika melihat truk itu semakin jauh meninggalkan mereka.

“Percuma. Truk itu sudah penuh. Kita harus menunggu yang berikutnya.”

Lana menoleh mendengar suara itu dan melihat empat orang lain tengah menanti di halaman sekolah.

“Pak Machmuri?” Lana mengenalinya sebagai salah satu gurunya. Ia juga mengenali dua orang lainnya sebagai teman sekelasnya, Sherly dan Robert.

“Kapan truk berikutnya akan datang”

Pak Machmuri menggeleng dengan sedih, “Mungkin mereka takkan datang lagi.”

“Apa?” jerit mereka semua.

“Lihat saja kondisi sekacau ini. Mengevakuasi seluruh penduduk Yogya sepertinya adalah hal yang mustahil. Kita harus berusaha sendiri.”

Lana mendengar suara batuk dan menyadari ada seorang anak yang tengah bersembunyi di belakang Pak Machmuri.

“Hai, adik kecil.” Lana menunduk untuk berbicara dengannya. Namun anak itu tampak takut dan kembali bersembunyi di belakang Pak Machmuri.

“Namanya Fino.” jawab Pak Machmuri, “Aku menemukannya terkatung-katung di jalanan. Aku tak tak bisa menemukan orang tuanya. Dan satu lagi, dia kena penyakit asma.”

“Astaga,” Shandi yang seorang dokter segera memeriksa anak itu, “Penyakitnya belum kambuh, tapi dengan debu setebal ini, bukan tak mungkin asmanya akan kumat.”

Dalam hati Lana merasa kagum dengan kesigapan dokter muda itu.

“Pak,” Sherly memotong, “Bagaimana ini? Kita harus menunggu di sini?”

“Ya, orang tua kami pasti akan segera menjemput kami di sini.” tambah Robert.

“Kurasa tak ada gunanya berlindung di sini. Kita juga harus segera mencari pertolongan medis untuk Fino.” kata Pak Machmuri.

“Iya, guru kalian benar.” kata Shandi, “Sebaiknya kita segera ke rumah sakit.”

“Tidak!” bantah Sherly, “Kami akan tetap tinggal di sini!”

Tieya menoleh. Ia merasa melihat sekelebatan bayangan bergerak di sampingnya.

“Si ... siapa itu?” tanya Tieya ketakutan. Ia sadar bahwa manusia, atau bahkan hewan, tak ada yang bergerak secepat itu.

“Ada apa, Kak?” tanya Lana.

“Aku merasa ada sesuatu bergerak di sebelahku tadi ...”

“Ah!” kini Otong yang berteriak, “Aku juga merasakannya. Ia baru saja lewat.”

Semua menjadi waspada, apalagi dengan kegelapan yang menyelimuti mereka. Hanya lampu-lampu jalan yang menerangi sekitar mereka di tengah suasana sepekat malam.

Tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang gadis. Sangat lirih.

Entah dari mana, mereka melihat seorang gadis tengah meringkuk, di batas antara cahaya lampu dan kegelapan yang melingkupinya.

“Siapa dia?” tanya Lana.

“Hei, apa kau tak apa-apa?” Robert bergerak maju.

“Hati-hati, Bert!” seru Lana. Ia merasakan ada sesuatu yang tak beres. Jelas terdengar isakan tangis dari arah gadis itu, namun Lana bisa melihat seutas senyuman tersungging di bibirnya.

“Tak apa-apa.” kata Robert, “Mustahil gadis secantik ini bisa mencelakaiku ...”

Namun begitu Robert mengatakannya, gadis itu langsung meraih tubuh Robert dan membenamkan gigi-giginya ke leher pemuda itu.

Para gadis berteriak, namun Robert bahkan tak mampu membuka mulutnya. ia seakan terhipnotis dan memberikan seluruh darahnya untuk makhluk itu.

Gadis itu mematahkan leher Robert begitu ia selesai menghisap darah pemuda itu. Semua orang segera melarikan diri ke berbagai arah, namun Lana terpaku di sana. Ia menatap wajah cantik gadis itu yang kini ternoda oleh darah. Wajahnya menyeringai, menunjukkan gigi taringnya yang mencuat.

“Lana! Ayo cepat pergi!!!” Shandi segera menggandeng tangan Lana dan menariknya pergi.

Shandi menoleh dan ia semakin panik. Bukan karena makhluk itu mengejar mereka, namun karena ia tak tahu lagi keberadaannya. Wanita itu tiba-tiba menghilang. Hanya tubuh Robert yang terlihat teronggok di tanah.

“Dimana yang lain, kita harus mencarinya!” seru Lana. Shandi menghentikan langkahnya, ia menoleh ke sekeliling. Tampak Tieya dan Otong sedang menggedor-gedor pintu masuk sekolah.

“Hei! Biarkan kami masuk!!!” seru Otong.

“Pergilah! Pergi!” terdengar suara histeris Sherly dari dalam.

“Ada apa ini?” Pak Machmuri datang bersama Fino.

“Gadis itu mengunci dirinya di dalam,” keluh Otong, “Ia tak membiarkan kami masuk.”

“Pergilah, kumohon!” tangis gadis itu.

“Pak,” desak Lana, “Kita tak bisa membiarkannya sendirian di sini!”

“Tak ada jalan lain,” Pak Machmuri menggeleng, “Kita harus segera mencari tempat yang aman sebelum makhluk itu kembali.”

Terdengar suara tawa membahana. Mereka langsung tersadar bahwa makhluk itu masih mengawasi mereka.

“Ayo cepat, pergi!!!” Shandi mengomandoi dan mereka langsung mengikutinya. Tiba-tiba Tieya menjerit ketika melihat sesuatu melayang di langit.

“Ada ... ada sesuatu yang terbang mengitari kita!” pekik Tieya.

Tieya benar. Makhluk itu tak hanya terbang, namun mengeluarkan lolongan yang mengerikan. Seakan-akan makhluk itu hendak menakuti mangsa-mangsanya.

“Berjanjilah kalian akan membawa anak ini ke rumah sakit.” Pak Machmuri menyerahkan Fino kepada Shandi dan Lana.

“Pak, apa maksud Anda?” tanya Lana dengan wajah cemas.

“Hanya ini satu-satunya jalan. Perhatian makhluk itu harus dikecohkan agar yang lain bisa lolos.” Setelah berkata demikian, Pak Machmuri langsung berlari memisahkan diri dari mereka dan berteriak-teriak sambil bertepuk tangan, “Hei, aku di sini! Makan aku!!!”

“Tidaaaak!” jerit Lana. Ia hendak berlari ke arah Pak Machmuri, namun dihentikan oleh Shandi.

“Jangan, Lana! Kau bisa terluka jika ke sana!”

“Hooooi! HOOOOI!!!” tiba-tiba sesosok makhluk bersayap kelelawar muncul dari langit dan segera mencengkeram tubuh Pak Machmuri.

“CEPAT PERGI!!!!” terdengar seruan terakhir Pak Machmuri sebelum makhluk itu membawanya menembus kegelapan pekat.

***

 

Sudah beberapa menit semenjak Sherly mendengar teriakan Pak Machmuri. Entah apa yang terjadi dengannya dan yang lain. Setelah kejadian itu, ia tak lagi mendengar keberadaan teman-temannya. Mungkin mereka benar-benar memanfaatkan kematian Pak Machmuri untuk kabur, sesuai dengan wasiat terakhirnya.

Sherly masih meringkuk di dalam kelasnya.

Makhluk itu takkan mampu masuk ke sini, Sherly yakin itu. Seluruh ruangan terkunci dengan gembok. Satu-satunya yang menghubungkan ruangan ini dengan dunia luar hanyalah lubang ventilasi berbentuk kotak yang hanya selebar 30 cm.

Tiba-tiba terdengar suara bisikan seorang wanita. Sherly langsung mendongak.

“ ... aku tahu ... kau ada ... di dalam situ ....”

Diikuti suara kikikan pelan.

Jantung Sherly berdegup kencang.

“Tidak! Kau takkan mampu masuk ke sini!” Sherly berusaha meyakinkan dirinya.

“ ... aku akan datang ....”

Suara itu makin jelas dan jelas, seakan bergema. Sherly kemudian menyadari suara lain, seperti suara sesuatu yang tengah bergerak di tempat sempit. Arahnya dari sana, lubang ventilasi itu.

Sherly melongok ke dalamnya dan terperanjat.

Makhluk itu tengah mendesakkan tubuhnya sendiri ke dalam lubang ventilasi yang sempit itu.

Bergerak mendekatinya.

 

TO BE CONTINUED

3 comments:

  1. ih ngeri.. ngeri tapi seru...! lanjutanya cepetan ya? bagus yg ini daripada Jane X yg di pluto. kesanya yg ini kita yg mengalami sendiri,,, kalo Jane X di pluto itu kebanyakan TELL melulu, bikin bingung. mungkin saking panjang dan njlimet nya cerita

    ReplyDelete
  2. bang dave aku adalah darkreades*benergaktulisanya* dan sekarang aku nongol

    ReplyDelete