Tuesday, November 3, 2015

CITY OF ASHES: EPISODE 2 (ORIGINAL SERIES)

 

PART ONE: SHANDI

CHAPTER 2

CITY OF ASHES  

PRINCESS OF DARKNESS

Copyright by: Dave Cahyo

 

“Astaga, apa yang terjadi?” Lana dengan tak percaya melihat ke arah langit yang kini telah gelap gulita.

“Merapi telah meletus dan mengeluarkan awan panas.” kata Shandi, sambil berusaha menyembunyikan nada kepanikan dalam suaranya agar Lana tak merasa ketakutan juga, “Namun aku tak pernah menyangka volume awannya bakal sebesar dan setinggi itu.”

“Langit gelap sekali. Ini ... ini baru jam 8 pagi tapi seperti sudah malam ...” Tieya yang menyusul di belakang mereka juga tampak ketakutan.

“Kurasa kita harus segera pergi dari sini!” usul Otong, “Kota ini tak lagi aman!”

“Tapi kakak bagaimana? Jika kakak pulang ...”

“Lana!” Shandi menggenggam kedua bahu gadis itu, “Aku mengerti perasaanmu, namun jika kakakmu ada di sini, ia pasti menginginkanmu pergi ke tempat yang aman.”

Lana akhirnya menuruti perkataan pemuda itu, “Namun kemana kita akan pergi?”

Tieya berusaha menyalakan televisi, “Semua siarannya terputus. Pasti karena awan itu!”

Shandi segera meraih androidnya, “Tak ada sinyal. Aku tak bisa menghubungi siapapun, bahkan nomor emergency sekalipun.”

“Dalam keadaan darurat seperti ini selalu ada satu sumber informasi yang tetap bisa diandalkan.” Otong segera mengeluarkan sebuah radio butut dan menyalakannya.

“... bagi penduduk Yogya ... diimbau untuk segera mengungsi ... Merapi telah mengeluarkan erupsi ... dimohon segera menuju ke titik evakuasi ...” penyiar radio itu kemudian menyebutkan beberapa lokasi.

“Itu nama SMA-ku disebut. Itu adalah lokasi terdekat dari sini.” ujar Lana.

“Baiklah, kita harus segera ke sana!” kata Shandi, “Tieya, Otong, kalian juga harus ikut!”

***

 

Januar terus berlari. Awan hitam pekat yang menyelubungi langit tak menyurutkan langkahnya, bahkan ia malah berlari lebih kencang. Ia harus segera membawa Lana keluar dari situasi mengerikan ini. Hanya itu yang ada dalam pikirannya.

“Praaaang!!!” terdengar suara kaca pecah. Januar berhenti dan melihat beberapa orang tengah mendobrak masuk ke sebuah toko emas dan menggasak isinya. Ia ingin menghentikan perbuatan biadab orang-orang yang justru ingin mengambil keuntungan dari kondisi mencekam ini. Namun ia kembali teringat kepada Lana. Tidak, ia tak punya waktu untuk hal seperti ini. Ia harus segera membawa Lana ke tempat yang aman!

Januar hendak meninggalkan tempat itu ketika melihat peristiwa lain. ia mendengar teriakan seorang gadis yang tengah terpojok di dinding. Ia adalah seorang gadis yang teramat cantik dengan rambut hitam terurai panjang. Wajahnya nampak ketakutan melihat pria-pria dengan tato menjalar di sekujur tubuh mereka kini tengah mengepungnya.

“Jangan takut Nona manis ...” kata salah satu preman yang jelas tak bermaksud manis terhadap gadis itu.

“Tidak! Tolong aku!” jerit gadis itu.

***

 

“Tidak! Tolong aku!” suara itu yang meluncur dari bibirnya, namun dalam hati ia terkekeh. Ayolah mendekat, cecunguk-cecunguk menyedihkan. Aku bukan gadis tak berdaya seperti dugaan kalian. Akan segera aku tunjukkan ...

Juliana menyibak rambutnya. Nampak seorang pemuda tengah memandangnya dari kejauhan. Matanya segera terpaku pada pria itu. Darah dalam jantungnya terasa berdesir lebih kencang.

Ah, tidak ... perasaan apa ini? Seharusnya perasaan seperti ini sudah mati sejak dulu. Mengapa ... mengapa aku merasakannya lagi?

Namun pupil matanya kembali menyusut, menyorotkan kebencian. Tidak! Semua laki-laki sama saja!

Ia melihat pemuda itu berjalan mendekat.

Apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan bergabung bersama bajingan-bajingan ini? Bagus. Aku akan ikut menghabisimu bersama dengan keparat-keparat ini. Namun aku akan menikmati waktuku untuk membunuh yang satu ini.

“Hei! Apa yang kalian lakukan?” bentak pemuda itu, “Lepaskan dia!”

Mata Juliana berbinar.

Apa? Apa dia bermaksud menolongku?

“Hei, jangan ikut campur!” seru salah seorang preman itu. Ia segera mengeluarkan pisau, hendak menikam Januar. Pemuda itu menghindar, bahkan berhasil melumpuhkannya. Namun teman-temannya segera mengeroyoknya.

“Hei, apa yang kau lakukan?” bisik Juliana dalam hati, “Aku bisa mengatasi mereka sendirian.”

Salah satu preman itu menyergap Januar dari belakang dan berhasil menusuknya. Darah segera terpancar dari luka yang menganga di punggungnya.

“AAAAARGH!!!” Januar berteriak kesakitan. Ia segera tersungkur ke atas tanah dan dihujani dengan pukulan serta tendangan.

Mata Juliana segera menyala marah. Salah satu preman yang melihatnya terjatuh karena ketakutan.

Wajah Juliana kini tak lagi menyerupai manusia. Matanya seakan membara berwarna keemasan dan dua gigi taring panjang mencuat dari sudut bibirnya.

Ia menerkam salah satu preman itu dan menyobek nadi di lehernya dengan gigi taringnya. Darah langsung memancar deras dari pembuluh darahnya yang terkoyak. Salah satu preman membeku ketakutan melihat kejadian itu dan segera menjadi mangsa empuk Juliana selanjutnya. Ia mencengkeram leher pria itu dan memuntirnya 180 derajat hingga kepalanya kini menghadap ke belakang, diikuti suara “KRAAAK!” yang teramat keras.

Dua preman sisanya berhenti menghajar Januar. Satu orang berusaha menyerang Juliana dengan menghujamkan pisau. Namun dengan mudah Juliana menghentikannya dengan mencengkeram lengan pria itu lalu memutarnya. Preman itu berteriak kesakitan ketika dengan enteng Juliana mencabut tangannya dari tubuhnya. Darah segera menyembur keluar dari pundaknya yang kini tak berlengan. Belum cukup, Juliana mengeluarkan cakar dari tangannya dan menyabetkannya ke leher pria itu. Segera, kepala preman itu terputus dan menggelinding ke atas tanah, diikuti tubuhnya yang langsung rebah tak bernyawa.

Satu-satunya preman yang tersisa langsung berlari ketakutan. Namun Juliana segera bergerak gesit untuk menghadang pria itu.

“Ti ... tidak ... jangan bunuh aku ... kumohon ...” pria itu tersungkur karena ketakutan.

Juliana hanya tertawa dan segera menghujamkan gigi-giginya yang tajam ke leher pria itu.

***

 

Batavia, 1715

Juliana Beaugerard memandang langit biru yang sangat terang. Ia sangat menikmati panasnya cahaya matahari seperti ini. Ia jarang menikmati suasana seperti ini di Eropa. Di sana, yang ia rasakan hanyalah udara dingin yang mencekam. Karena itu, ia lebih menyukai berada di Indonesia.

Juliana lahir dengan darah campuran. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda, sementara ibunya adalah pribumi. Karena itu, ia acapkali diasingkan. Tak ada orang pribumi yang mau berteman dengannya, sebab semua orang lokal di sini menganggap ibunya pengkhianat karena menikah dengan penjajah. Sedangkan orang-orang di Belanda juga memandang kehadirannya sebelah mata. Ia dianggap sebagai anak yang lahir dari hubungan dengan seorang budak.

“Juliana, kau sudah kembali dari Rotterdam?”

Juliana tersenyum melihat pemilik suara itu: orang yang sama yang juga memiliki hatinya.

“Ya, Mario. Di sinilah aku.”

Pemuda itu juga adalah salah satu alasan mengapa ia lebih menyukai Indonesia ketimbang Belanda. Mario adalah anak seorang tuan tanah. Orang tuanya memiliki perkebunan teh dan ia sering mengajaknya menikmati pemandangan indah di sini.

“Tempat ini indah sekali, bukan?”

Juliana mengangguk.

“Sayang aku harus meninggalkan tempat ini.” kata Mario dengan wajah masam.

“Apa?” Juliana terkejut, “Kenapa?”

Mario memandangnya dengan sedih. “Beberapa budak ayahku melakukan pemberontakan. Uang ayahku banyak yang hilang dicuri mereka. Kurasa, usaha kami akan segera gulung tikar dan aku terpaksa kembali ke Belanda.”

“Apa?” wajah Juliana berubah pucat. Ia tak bisa membayangkan berpisah dengan Mario untuk selamanya. “Apa tak ada jalan lain?”

“Seandainya saja aku punya saja sedikit uang untuk mengembalikan modal kami.” Mario menghela napas, “Namun rasanya mustahil memperoleh pinjaman uang sebesar itu dalam waktu yang cepat. Uang dari bank pun akan butuh waktu lama untuk cair.”

Semula Juliana tampak ragu, namun akhirnya ia berkata, “A ... aku bisa meminjamimu sedikit uang jika kau benar-benar butuh ...”

“Apa?” wajah Mario berubah cerah, “Benarkah?”

“Iya.” Juliana mengangguk penuh keyakinan. Jika ini demi Mario, apapun akan dia lakukan. Malamnya, ia berjalan mengendap-ngendap di kantor ayahnya di VOC. Ia menuju ke ruangan kerja ayahnya, dimana sebuah brankas berdiri dengan kukuh di pojok ruangan.

Brankas itu tidak memiliki lubang kunci. Tidak, brankas itu sama sekali tak membutuhkan kunci seperti brankas konvensional. Ayahnya pernah mengajarinya cara membukanya. Di depannya terdapat lempeng-lempeng kubus yang dapat digerakkan ke posisi tertentu. Dengan menggesernya ke posisi-posisi yang tepat, maka brankas ini bisa terbuka.

“Nona, apa yang anda lakukan di sini?”

Jantung Juliana hampir copot begitu sadar ia telah tertangkap basah. Ia menoleh dan melihat seorang gadis pribumi berdiri di belakangnya. Juliana mengenalnya sebagai Tjan Amenueli, seorang gadis yang dipekerjakan sebagai pelayan di sini. Ia cukup dekat dengan gadis itu, karena dia biasa melayaninya ketika Juliana berada di sini.

“Astaga Tjan, apa yang kau lakukan di sini malam-malam begini?”

“Saya biasa pulang malam Nona. Apa yang Anda lakukan dengan brankas itu?”

Juliana tampak khawatir, “Berjanjilah padaku kau takkan mengadukanku pada ayahku. A ... aku hanya ingin meminjam sedikit uang, lalu aku akan mengembalikannya.”

Tjan tampak iba melihat wajah keresahan Juliana dan akhirnya mengangguk.

“Baik, Nona. Saya akan mengawasi. Apabila ada penjaga yang datang, saya akan memperingatkan Nona.”

Juliana menarik napas lega, “Terima kasih, Tjan. Kau memang sahabat baikku.”

Juliana kemudian menggeser kubus-kubus di bagian depan brankas itu hingga terdengar bunyi klik. Ia melakukannya berkali-kali hingga kombinasi yang tepat tercapai dan akhirnya brankas itu terbuka dengan sendirinya.

Juliana menatap isinya dengan puas. Ia mengambil saja secukupnya, beberapa ratus ribu gulden. Ia rasa jumlah itu cukup untuk membantu Mario dan keluarganya.

Gadis itu segera menutup brankas itu seolah tak ada yang terjadi. Ayahnya tentu takkan menyadari ada yang hilang dari brankas ini. Jumlah yang ia ambil bisa dibilang sedikit jika dibandingkan dengan kekayaan VOC yang tersimpan dalam brankas ini.

“Ayo, Tjan.” ajak Juliana, “Mari kita pergi dari sini.”

Keesokan harinya, Juliana kembali bertemu dengan Mario di kebun teh.

“Apa ini cukup?” Juliana menyodorkan sekantung penuh kepingan uang emas.

Mata Mario berbinar melihatnya, “Terima kasih, Juliana! Bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu? Aku berjanji, setelah bank memberikan pinjamannya, aku akan segera mengembalikan seluruh uangmu ini!”

Juliana tersenyum. Apa saja asalkan pria yang dicintainya bahagia.

Namun janji yang terucap dari mulut pria itu tinggallah janji.

Beberapa hari kemudian, atasan ayahnya di VOC menyadari bahwa brankas mereka telah dibobol. Seluruh isinya telah digasak, lenyap tanpa sisa. Juliana terkejut. Ia ingat benar bahwa ia hanya mengambil sedikit dari brankas itu. Kemudian Juliana teringat, siapa yang melihatnya membuka brankas itu dan mengetahui kombinasinya.

Tjan.

Juliana dengan panik mencarinya, namun ia telah menghilang.

Ia telah pergi ke Belanda bersama Mario.

Kedua orang tua Mario menyatakan bahwa mereka tak pernah mengalami kesulitan keuangan dan tak pernah mengharapkan pinjaman dari bank.

Mario telah memanfaatkannya. Namun tak hanya itu.

Ayahnya yang bertanggung jawab atas isi brankas itu dituduh oleh pemerintah Belanda sebagai pencurinya dan dijatuhi hukuman mati.

Juliana hanya bisa meratap ketika ayahnya digantung di alun-alun di depan Stadhuis, disaksikan ratusan orang.

Malam itu ia berada di sebuah tebing di pantai Priok. Lautan utara Jawa yang luas dengan ombaknya yang menderu menantinya.

Ia hendak menjatuhkan tubuhnya ke dalam lautan. Sudah tak ada lagi yang tersisa dalam hidupnya kecuali kepedihan.

Juliana merasa bahwa inilah saatnya untuk mengakhiri hidupnya.

“Apa benar kau ingin mati?” terdengar suara bisikan dari belakangnya.

Gadis itu menoleh dan di balik derai air matanya, ia melihat seorang pria bertudung hitam berdiri jauh darinya.

“Aneh sekali,” pikir Juliana, “Ia berada sangat jauh dariku, namun aku mendengarnya berbisik di telingaku. Apa aku sedang berkhayal?”

“Tidak, Juliana. Kau sedang tidak berkhayal.”

Juliana terkesiap ketika sadar, pria itu tengah berbicara dalam pikirannya.

“Kau ... siapa kau?”

“Tidaklah penting siapa aku. Namun yang penting bagiku adalah, apakah kau pikir bunuh diri akan menyelesaikan masalahmu”

Juliana menggeleng sedih, “Namun hanya ini bisa kulakukan. Aku telah menyebabkan ayah meninggal. Aku ... aku patut mendapatkannya.”

“Bukan kau yang patut memperoleh kematian, Juliana yang cantik .... melainkan kekasih dan sahabatmu yang telah mengkhianatimu.”

Api dendam mulai menyala dalam batin Juliana, “Ya kau benar. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak tahu dimana mereka sekarang.”

“Tapi kau setuju bukan, jika kematian tak bisa menyelesaikan masalahmu?”

“Kalau itu tidak bisa, lalu apa yang bisa?” tanya Juliana.

“Hidup abadi.” jawab pria itu tanpa sedikitpun membuka mulutnya.

“Ba ... bagaimana caranya?”

Tiba-tba dalam sekejapan mata, pria itu berada di depan Juliana dan langsung menanamkan taring-taringnya ke dalam lehernya.

Jeritan gadis itupun karam ke dalam deru deburan ombak yang menghempas batu karang.

***

 

Amsterdam, setahun kemudian

Mario terbangun dari tidurnya karena mendengar teriakan.

Ia membuka matanya. Suasana sangat hening. Hanya suara derapan kereta kuda terdengar dari jalan di bawah balkonnya.

Apa yang ia dengar tadi hanya mimpi? Mario bahkan tak ingat mimpi apa dia barusan, jikapun ia benar-benar bermimpi.

Mario juga baru menyadari bahwa kekasihnya, Tjan, tak ada di ranjang.

“Sayang, dimana kau?” Mario bangun dan hanya mendapati sisi ranjang yang kosong.

“Ah masih malam rupanya,” katanya ketika menatap tirai jendela yang berkibar tersibak angin. “Mengapa jendela ini terbuka? Padahal kurasa tadi aku telah menutupnya.”

Mario beranjak dari tempat tidurnya dan menutup jendela itu sebelum mencari istrinya. Ia berjalan menuju ke dapur, tempat biasanya istrinya pergi jika terbangun malam-malam, untuk mencari kudapan atau segelas susu.

“Tjan, kau ada di situ?”

Namun jantung Mario terasa melompat hingga ke tenggorokannya begitu melihat apa yang terhidang di dalam dapur. Di lantai, tergeletak jasad istrinya yang bersimbah darah dan tak lagi utuh. Darah seakan menenggelamkan tubuh cantiknya, sementara isi perutnya telah ditarik keluar, berceceran di lantai dapur. Mario hampir-hampir tak mengenali tubuh istrinya, jika bukan saja karena gaun tidur sutra yang dikenalinya sebagai milik Tjan.

Lehernya terasa tercekat. Ia tak mampu berteriak karena terlalu ngeri. Tiba-tiba ia mendengar suara ... suara yang amat akrab di telinganya.

“Hai, Mario. Kita bertemu lagi.”

Mario dengan gemetar menoleh dan melihat Juliana berada di belakangnya, masih secantik dulu.

“Ju ... Juliana ...” katanya gemetar.

“Apa kau pikir aku takkan bisa menemukanmu di sini? Kau salah!”

Gadis itu tersenyum dan Mario segera menyadari dua gigi taring seputih gading mencuat di sela-sela bibirnya.

“A ... apa ... makhluk apa kau ...”

“Aku adalah pembalasan dendam ...”

***

 

Juliana melepaskan tubuh preman itu setelah dirasanya darahnya telah habis, kemudian mencampakkannya begitu saja di jalan. Juliana nyaris terbahak-bahak ketika mendengarnya memohon tadi, hampir sama dengan pinta Mario sebelum Juliana membunuhnya dengan sadis tiga abad yang lalu.

Perhatian Juliana kembali tertuju pada tubuh Januar yang tergeletak di jalan, bersimbah darah. Juliana menghampirinya dengan langkah yang hampir melayang. Ia menatap wajah pemuda itu. Mereka saling bertatapan. Dari mata Januar yang hampir padam, Juliana tahu pemuda itu tengah sekarat.

Pemuda itu menatapnya tanpa rasa takut sedikitpun. Juliana hanya mengelus pipi pemuda itu sambil berkata.

“Aku tak punya belas kasihan terhadap jiwa manapun sebelum bertemu kau. Sayang sekali perjumpaan kita sangatlah singkat.”

Januar mulai menutup matanya, seakan ia tak memiliki sisa tenaga untuk menjaga kedua kelopak matanya tetap terjaga.

Tidak ... aku tak bisa membiarkan pemuda ini mati.

Juliana kembali teringat perkataan Sang Pangeran Kegelapan ketika ia merubahnya menjadi vampir 300 tahun yang lalu.

“Hanya hidup abadi yang dapat menyelesaikan masalahmu.”

Dan Juliana memutuskan untuk menghujamkan taring-taringnya ke leher pemuda itu.

 

TO BE CONTINUED

3 comments: