Tuesday, January 5, 2016

CITY OF ASHES: EPISODE 11 – FINAL (ORIGINAL SERIES)

 

PART 2: JANUAR

CHAPTER 5 – FINAL

  CITY OF ASHES

NOTHING LASTS FOREVER

Copyright by: Dave Cahyo

 

Lana berjalan masuk ke sebuah ruangan kosong.

“A ... aku datang ...”

“Kau salah masuk.” Suara itu terasa bergema di dalam kepala Lana, “Ia tak ada di sini.”

“Si ... siapa kau?”

Lana melihat di tengah kegelapan, ada seorang pria berkursi roda. Wajahnya tampak renta dengan keriput memenuhi tiap jengkal kulitnya. Bahkan usianya terlihat seperti ratusan tahun.

“Darah Suci ... akhirnya kau datang ...”

“Ba ... bagaimana kau tahu siapa aku? Apa kau juga ...”

“Kemarilah ... aku berbeda dengan yang lain ... aku tak menginginkan kematianmu ...”

Lana berjalan menghampirinya.

“A ... apa yang kau inginkan? Dimana yang lain?”

“Hanya darahmu ... yang bisa membunuh vampir ... dan itulah yang kuinginkan ... kematianku sendiri ...”

“Apa? Kenapa kau ingin mati?”

“Lihatlah diriku ... apa kau juga mau ... hidup selamanya dalam kondisi seperti ini ...”

Lana merasa enggan mendekatinya, namun akhirnya ia mau mengulurkan tangannya.

“ ... izinkan aku .... sebentar saja ....”

Foo mendekatkan wajahnya dan menggigit lengan gadis itu.

Hanya setetes darah saja cukup.

Foo melepaskan gigitannya dan Lana menjerit begitu melihat perubahan pada vampir tua itu.

Tubuhnya perlahan berubah menjadi seonggok debu dan hanya menyisakan pakaian yang langsung rebah ke atas singgasananya.

Lana yang merasa ngeri melihat kejadian itu segera berlari ke luar.

***

 

SATU JAM SEBELUMNYA

“Sejak kapan kau bangun, Lan?” tanya Januar dengan panik.

“Entahlah, aku tak ingat.”

“Kau tak mendengar curhatanku tadi kan?”

“Aku tak tahu apa maksudmu!”

Tiba-tib terdengar suara gemerisik di dekat mereka.

“Lana ... Lana ...”

“Suara apa itu? Bukankah semua alat komunikasi mati dan tak bisa digunakan?”

“Kecuali satu.” Lana mencari di sekelilingnya dan menemukan sebuah radio tua.

“Lana ... Lana ...”

“Ini suara Kak Shandi!”

“Lana ... Pangeran Kegelapan menyuruhku menyampaikan ini padamu ....”

“Pangeran Kegelapan?” tanya Januar, “Ia telah menangkapnya?”

“Ia akan mengangkat .... orang yang dicintai kakakmu sebagai pengantinnya .... kau harus datang .... untuk menyelamatkannya .... ke markas mereka.... Januar, vampir itu .... mengetahuinya ....”

“Kak Shandi! Kak Shandi!” Lana tahu ia tak mungkin mendengar jawaban Shandi, namun gadis itu terus memanggilnya.

“Kekasih kakakmu? Apa dia telah menangkap Tieya Aulia?”

***

 

“Januar? Januar?” Lana berjalan sendirian memasuki ruangan lain. Setelah ngeri melihat kematian Foo, ia masih berusaha mencari Januar yang tadi terpisah dengannya.

Tiba-tiba ia melihat seorang wanita tengah terikat di atas sebuah kursi. Tak jauh darinya, ia melihat pula seorang pria dalam kondisi sama, hanya matanya tertutup kain.

“Kak Shandi.” Jerit Lana, “Syukurlah kau masih hidup!”

Lana memutuskan menolong Tieya terlebih dulu. Ia diam-diam menghampiri wanita yang terikat di balik kursi itu dan berusaha melepaskan ikatannya.

“Kak Tieya, sssst! Aku akan membebaskanmu.”

Namun Lana menjerit ketika wanita itu menampakkan wajahnya dan langsung mencengkeram pergelangan tangannya.

“Kita bertemu lagi, Darah Suci!”

“Astaga!” jerit Lana, “Juliana?”

***

 

Otong langsung merasa panik mendengar berita yang didengarnya di radio. Ia langsung berlari menuju ke aula kraton, dimana ia terakhir kali melihat Tieya. Apa vampir telah berhasil menjebol pertahanan kraton dan menculik Tieya tanpa sepengetahuannya?

“TIEYA! TIEYA!” serunya panik. Semua pengungsi yang berada dalam aula langsung menatapnya heran.

Tieya melonggokkan kepalanya di antara para pengungsi.

“Otong, ada apa teriak-teriak?”

“Lho?” Otong yang keheranan langsung mendekatinya, “Kamu nggak diculik? Tapi tadi kudengar di radio para vampir berhasil menculik seseorang yang dicintai kakak Lana. Kekasih Arman ... itu kau bukan?”

Tieya akhirnya mengerti. Ia menghela napas dan mulai menjelaskan.

“Otong, apa kau tahu mengapa aku putus dengan Arman?”

***

 

“Juliana?” Lana terkejut. “Di ... dimana Tieya? Bukankah kalian menangkapnya?”

“Mengapa kau berkesimpulan bahwa kami menangkap Tieya?” Juliana tersenyum.

Lana balas tersenyum, “Dan mengapa kau berkesimpulan bahwa aku Lana?”

“Apa?”

Tiba-tiba gadis di hadapan Juliana mencengkeram lengannya lebih kuat dan berubah wujud menjadi seseorang yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Januar.

“Trik yang kupelajari selama jadi vampir.” kata Januar penuh kemenangan, “Kau bisa memiliki kekuatan super manapun yang kau mau. Lana, sekarang!!!”

Lana segera bergegas masuk dan melepaskan ikatan Shandi. Juliana berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Januar, namun pemuda itu mengerahkan tenaganya untuk mengimbangi gadis itu.

“Rupanya kalian lebih cerdik ketimbang dugaanku.” Sesosok pria berbicara. Baik Lana maupun Shandi tersentak mendengar suara yang amat mereka kenal itu.

Wajah Pangeran Kegelapan tertutup oleh bayangan, namun ketika ia bergerak maju, semua orang kini bisa melihat wajahnya.

“Ya Tuhan!” seru Januar tidak percaya, begitu melihat identitas raja vampir itu yang sesungguhnya.

Kakak?” jerit Lana.

***

 

“Ta ... tapi mata itu ...”

“Aku vampir, dasar bodoh.” Arman Zega menunjuk ke salah satu bola matanya yang berwarna biru langit. “Aku bisa melepasnya dan memasangnya semauku.”

“Kau ... selama ini kau berpura-pura mati?” seru Januar, masih sukar mempercayai apa yang ia lihat dengan matanya sendiri.

“Ta ... tapi kau adalah kakakku! Tak mungkin kau adalah ...”

“Apa kau punya foto kita sewaktu kecil? Itu karena aku datang kepadamu selama setahun terakhir ini dan menghipnotis seluruh keluarga dan temanmu, sehingga mereka menganggap aku telah ada seumur hidup kalian.” Arman berjalan sambil menyeret jubah hitamnya, menghampiri Lana.

Ia lalu menahtakan jemarinya ke atas pipi gadis itu.

“Semua penyamaran itu ... demi dirimu ... Darah Suci.”

“Di ... dimana Kak Tieya kalau begitu? Kau menyekapnya kan?” seru Lana tanpa sedikitpun gentar.

“Kenapa kau masih tak mengerti juga, Lana? Bukan dia yang kucintai. Tidakkah kau masih ingat perkataanku padamu?”

***

 

“Aku jatuh cinta dengan seseorang yang tak pernah akan bisa aku miliki, Lana.” kata Arman sambil menatap lekat ke mata adiknya.

***

 

“Astaga ... orang yang kau cintai ... adalah aku?” bisik Lana tak percaya.

Arman tertawa.

“Astaga, kau tak pernah mengerti ya? Bukan kau, tapi dia .... yang ada di belakangmu.”

Tiba-tiba seutas tangan menyekap Lana hingga ia tak bisa bergerak.

“Ya, akulah selama ini.”

Lana teringat kartu tarot terakhir yang dibuka oleh Nabila.

“Seven of swords ... Ini berarti pengkhianatan.”

“Ya, Lana ... akulah kekasih yang selamanya takkan mungkin dimilikinya.”

Lana hanya menatap pantulan wajah orang tersebut di mata biru Arman.

Shandi.

***

 

“Ramalan Safira di kraton saat itu.” Lana baru tersadar, “Semula aku pikir dia menunjukku dan mengatakan bahwa aku adalah pengkhianat dan akan mencelakai mereka semua. Namun saat itu, sebenarnya dia tengah menunjukmu yang berada di belakangku.”

Shandi hanya tertawa. “Semua sandiwaraku benar-benar sempurna, bukan?

“Lepaskan Lana!” seru Januar. Namun Juliana menarik tangannya lebih kuat lagi.

“Oh ya, aku lupa. Masih ada kau.”

Arman menjentikkan jarinya dan segera lantai di bawah Januar amblas. Tubuh pemuda itu terjatuh le cairan yang terlihat bagi Lana seperti lautan asam, sebab membuat Januar berteriak kesakitan.

“Oh ya, perlu aku peringatkan bahwa kita sekarang sedang berada di atas lautan vervain. Mungkin takkan berdampak apapun padamu, Lana, namun jelas akan sangat menyakitkan bagi kekasihmu itu.”

“Hentikan, Arman! Hentikan!!!” jeritnya, “Akan kulakukan apapun! Tapi jangan sakiti dia!”

“Kau tahu, Lana! Sejak dulu aku mengincarmu sebagai Darah Suci! Namun tentu aku tak bisa gegabah, sebab darahmu bisa dengan mudah membunuhku. Karena itu aku bersabar, menunggu waktu yang tepat. Aku tahu seluruh seluk beluk kota ini, gunung, kehidupan kalian, aku mempelajarinya .... semua! Dan ketika legion-ku tiba, aku dihadapkan masalah lain: anak-anak buahku yang kurang kompeten. Aku bisa menebak bahwa mereka akan memperebutkanmu demi ego mereka sendiri. Karena itu kuutus Shandi untuk menjagamu.”

“Arman membutuhkan manusia biasa yang takkan mati walaupun tersentuh darahmu.” bisik Shandi. “Semua sudah direncanakan. Aku meninggalkan quiver-ku di rumah sakit agar Nino lebih mudah membunuhmu, namun dia malah gagal. Sedangkan Andrea Lunera, aku memutuskan membunuhnya karena ia telah tercemar darah sucimu, sehingga takkan banyak berguna lagi bagi kami.

“Astaga ... orang tuaku ... kau juga yang telah membunuh mereka!”  jeritnya pada Arman.

Juliana menunduk ke bawah, melihat Januar yang kewalahan menjaga tubuhnya tetap terapung.

“Juliana .... kumohon ....” Januar berusaha bernapas di tengah vervain yang masuk ke tenggorokannya dan membakar paru-parunya. “Mereka akan membunuhnya.”

“Tanpamu takkan ada Darah Suci lagi!” Arman mengeluarkan sebilah pisau. “Ironis sekali. Selama ribuan tahun aku menjadi vampir, tak pernah kuduga aku akan membutuhkan pisau untuk membunuh seseorang. Namun apa boleh buat ...”

“Tunggu sebelum itu ... kau sudah berjanji akan membuatmu menjadi vampir sama sepertimu.” kata Shandi.

Arman tersenyum, “Tentu saja aku ingat.”

Ia langsung menggigit leher Shandi dan kesempatan itu digunakan Lana untuk merebut pisau itu dari tangan Arman.

Lana mengacungkan pisau itu ke arah Arman.

Pemuda itu melepaskan tubuh Shandi yang langsung ambruk di lantai sambil tertawa.

“Apa yang akan kau lakukan, Lana? Menusukku?”

Di luar dugaan, gadis itu menusukkan pisau ke telapak tangannya sendiri.

“Apa?” Arman terkejut.

Lana segera menerjangkan pisau yang sudah terlumuri darahnya itu ke arah Arman. Namun percuma, hanya dengan tatapan matanya saja, tangan Lana seperti tertahan di udara dan akhirnya pisau itu terjatuh.

“Aku Raja Vampir, Lana. Apa kau pikir aku akan kalah semudah itu oleh makhluk fana seperti kau?”

Arman kemudian menggunakan pikirannya untuk melumpuhkan Lana.

Gadis itu menjerit begitu merasakan sakit yang teramat mendera di kepalanya akibat pengaruh Arman.

“Sekarang Juliana, bunuh dia.”

Juliana bergerak secepat kilat dan menusukkan kuku-kuku panjangnya ke perut Lana. Ia tersenyum melihat Lana tersungkur bersimbah darah.

“Bagus Juliana. Selamanya kau akan diingat sebagai vampir yang membunuh Darah Suci!”

Juliana menyeringai, “Dan membunuh Pangeran Kegelapan.”

Tanpa ia duga, Juliana menusukkan kukunya ke perut Arman.

“A ... apa yang kau lakukan?!!”

Perlahan Arman jatuh berlutut hingga akhirnya terjerembap di lantai.

Shandi yang tersadar sebagai vampir segera menerjang Juliana, namun tiba-tiba sesosok vampir lain menerjangnya balik.

Shandi terkejut melihat siapa yang menyerangnya.

Gigi taring mencuat dari wajahnya yang nyaris hancur karena luka bakar.

“Damia?”

“Kau tak mengira aku akan meledakkan diriku, tanpa terlebih dulu menyuntikkan darah vampir agar aku selamat, bukan?”

Shandi memamerkan taring-taringnya, namun itu sama sekali tak membuat nyali Damia ciut.

“Kau yang mengkhianati kami!” seru Damia murka, “Kau yang membocorkan lokasi kami pada Pangeran Kegelapan dan kau pula yang menaruh bom di helikopter! Sekarang kau akan merasakan balasannya!”

Dengan kekuatannya Damia meninju lantai di bawahnya hingga retak. Mereka berdua langsung tercebur ke dalam kolam vervain dan tenggelam.

“Astaga ...” Lana berdiri. Ia segera menghampiri tubuh Januar yang tergeletak di atas lantai. Rupanya sebelum menyerang Lana tadi, Juliana sempat mengangkat tubuh pemuda itu dari dalam kolam vervain.

“Mengapa ... mengapa Lilith ... ” Arman mendesahkan napas terakhirnya.

Juliana hanya memandangnya ketika ia berubah menjadi tumpukan debu.

“Maafkan aku, Arman.” bisik Juliana, “Namun cinta yang memaksaku.”

***

 

Kegelapan perlahan-lahan mulai padam.

Lana bisa melihat langit di ufuk timur mulai terang, pertama temaram namun kemudian semakin cemerlang. Fajar menyingsing jua. Cahaya mulai merekah ketika awan vulkanik dari Merapi perlahan menyingkir ke sisi yang lain.

Matahari bak terlahir kembali.

Langit di atas mereka masih gelap, menunggu terpinggirkan, sehingga Juliana dan Januar tak terpengaruh.

Lana masih memangku Januar yang masih tak bergerak. Vervain itu benar-benar telah melumpuhkannya. Hingga kini ia belum tersadar dan sekujur tubuhnya dipenuhi luka bakar.

“Apa tak ada cara untuk menyembuhkannya?” tanya Lana, “Apa ia akan menghabiskan keabadian dengan kondisi seperti ini?”

Juliana hanya menatap pemuda itu.

Aneh, melihatnya dalam kondisi seperti justru tak mengurangi kadar perasaannya padanya.

Bahkan bertambah kuat.

Sama sekali tak logis.

Juliana buru-buru menghapus pikiran itu dari benaknya.

“Kau seorang Darah Suci bukan? Kau bisa melakukan sesuatu.”

“Apa?” jerit Lana penuh harap, “Apa?”

“Apa kau tahu apa itu Darah Suci, Lana? Bagaimana darahmu bisa membunuh vampir?”

“Apa karena darahku beracun bagi vampir?”

Juliana menggeleng, “Justru sebaliknya. Darahmu adalah penawar.”

“Apa?” Lana tak pernah menduga hal itu.

“Darahmu adalah antivirus. Kau bisa mengembalikan vampir menjadi manusia. Itulah yang paling kami takutkan: apabila kami kembali ke tubuh kami yang fana.”

Lana teringat, setelah meminum darah Lana, Andrea tak langsung mati. Ia mati karena panah yang ditusukkan oleh Shandi. Begitu pula Arman. Ia mati karena tusukan itu. Karena saat mereka kembali menjadi manusia, tubuh mereka tak lagi kebal dan mereka kehilangan daya regenerasinya.

“Efek vervain ini hanya berlaku bagi vampir, bukan?” Lana mulai mengerti maksud Juliana. “Jika ia kembali menjadi manusia, ia takkan lagi tersiksa oleh vervain, sebab cairan itu tak beracun bagi manusia.”

Juliana menyahut, “Tak semudah itu. Jika kau membuat Januar meminum darahmu, sebagian darahnya akan masuk ke tubuhmu ...”

Mata Lana membelalak.

“Dan kaupun akan berubah menjadi vampir.”

Lana hanya menatap pemuda di pangkuannya itu. Kembali teringat di benaknya masa-masa yang pernah mereka lalui bersama; semenjak sekolah hingga perjuangan mereka bersama di kota ini mengalahkan para vampir.

Air mata mulai menetes di pipi Lana.

“Tak apa, jikapun aku berubah menjadi vampir, aku tahu apa yang dia akan katakan,” bisik Lana, “Aku menerimamu apa adanya.”

Lana perlahan meletakkan pergelangan tangannya di antara gigi-gigi taring Januar dan membiarkannya meminum darahnya.

Luka-luka Januar seketika menghilang.

Lana bersiap menerima transformasi yang mengerikan itu. Ia menutup matanya, namun tak kunjung terjadi apa-apa.

“Kenapa .... kenapa kau masih melakukannya?”

Mendengar suara Juliana, Lana membuka kembali matanya.

“Padahal aku sudah berbohong seperti itu ... namun kenapa kau masih melakukannya?”

“A ... aku takkan berubah menjadi vampir?” tanya Lana tak percaya. Padahal ia siap mengorbankan semuanya. Arti kartu pertama yang dibuka Nabila dulu, pengorbanan demi awal baru. Ia pikir inilah artinya.

Juliana menitikkan air mata. Air mata pertama yang menetes semenjak ia menjadi vampir 300 tahun lalu dan menyerahkan segala kemanusiawian dalam dirinya.

“Tubuhmu memiliki antivirus. Tentu saja kau takkan berubah menjadi vampir. Namun ... mengapa kau tetap melakukannya ...”

Juliana akhirnya tersadar.

“Apa cinta kalian sungguh sedalam itu?”

Matahari perlahan mulai membentangkan sinarnya. Awan gelap di atas mereka mulai tersisih. Lana bisa merasakan hangatnya sinar mentari menyelimuti tubuhnya.

“Juliana! Jika kau terkena cahaya matahari, kau akan mati!” jeritnya sambil mengulurkan tangannya yang berdarah, “Cepatlah, minum darahku! Kau akan kembali manusia. Masih ada kesempatan!”

“Tidak,” Juliana menggeleng, “Bagiku semua sudah terlambat.”

Matahari segera menyinari tubuh gadis itu, membakar gaun putihnya. Wajah cantiknya masih tetap tenang walaupun kini sekujur tubuhnya tenggelam dalam nyala api dan perlahan menjelma menjadi untaian debu.

Lana hanya bisa menangis menyaksikannya, sementara Januar membuka matanya.

Kali ini sebagai manusia.

***

 

“Hei, bagaimana cara mulai merekam? Tekan tombol merah ini?” Otong memegang kamera dengan kebingungan.

“Ya Otong,” kata Dynda sambil bersiap meliput di depan kraton, “Tekan saja tombol merah itu.”

“Terus kalo sudah, tekan lagi tombol merahnya?”

“Iya Otong, tombol merahnya ditekan lagi.”

“Terus memegangnya seperti ini? Kalau miring bagaimana?”

“Kau sudah benar memegangnya. Nah, ayo sekarang kita mulai!” Dynda mendekatkan mikrofon ke bibirnya.

“Eh, kok nggak keliatan apa-apa ya?”

“Tutup lensanya masih belum dibuka Otooooong! Sudah, mana kameranya, biar aku taruh di atas pohon saja.”

“Eit ... jangan! Biar aku saja yang merekamnya. Nah, siap, action!”

Dynda kurang yakin, namun ia tetap memulai siarannya.

“Yogyakarta sempat diliputi kegelapan dan ketakutan kemarin. Namun kini, setelah debu vulkanik yang menutupi langit akhirnya mereda, kehidupan berjalan kembali. Para warga membenahi apa yang tersisa dari tempat tinggal mereka. Kengerian yang mereka lalui memang sangat traumatis, namun saya yakin, mereka akan mampu bangkit kembali ...”

Dynda mendongak ke atas, memandang langit biru dan sinar matahari yang kini jauh lebih ia hargai.

Semua kini sudah berakhir.

***

 

EPILOG

TIGA TAHUN KEMUDIAN

 

“Gunung Krakatau yang terakhir meletus 2014 silam, kini kembali mengeluarkan pijaran api panas serta kepulan asap vulkanik setinggi 8 kilometer. Volume abu vulkanik yang dikeluarkan diduga jauh lebih besar ketimbang letusan Merapi dua tahun silam yang menutupi langit Yogyakarta dan menimbulkan banyak korban jiwa. Dengan pergerakan arah angin saat ini, diperkirakan awan vulkanik tersebut akan tiba di Jakarta dalam waktu dekat. Para warga diminta meliburkan semua aktivitas di luar rumah, sebab langit akan gelap gulita ...”

Nocha dan kumpulan vampir-vampir lainnya menatap langit dari atas gedung pencakar langit, menggunakan tudung untuk melindungi mereka dari sengatan matahari. Dari kejauhan mereka bisa melihat awan hitam bergulung-gulung mendekat, menelan langit biru sepanjang perjalanan.

"Inilah saatnya ..."

Nocha berbisik.

“Mari kita berpesta.

 

THE END

13 comments:

  1. waaaah :D happy ending? keren banget sih mas XD makasih sudah ngasih cerita yang keren :D

    ReplyDelete
  2. Bang Dave, one question dong...jd si Arman diputusin Tieya karena dia vampir atau karena dia suka Shandi? Ty.

    -G-

    ReplyDelete
  3. Ntap bang ceritanyaa>_<

    ReplyDelete
  4. Ke... Keren... *_*
    D tunggu cerita2 berikutnya bang Dave... :v

    ~Venzuu~

    ReplyDelete
  5. gw malah fanatic nginget2 namanya, ceritanya mantap

    ReplyDelete
  6. Shandi? Jadi Shandi! Shandi, Shandi, Shandi.. Kukira Lana yg disukainya.
    Happy ending? Tragedi selanjutnya masih ada ternyata. KEREN KAK DAVE!!
    ~AI~

    ReplyDelete
  7. Sebentar...kalau darah suci menetralkan, lalu kenapa Foo sang kakek berubah menjadi abu?

    Tapi keren kok, cuma bingung bagian itunya aja

    -Kaz

    ReplyDelete
    Replies
    1. Soalnya kan dia harusnya sudah mati bertahun2 lalu jadi pas sudah jadi manusia dia langsung jd abu *masuk akal ga sih???*

      Delete
    2. Sama nih. Bingung di part knp foo jd abu setelah minum darah suci? Sebenerny masuk akal sih alasan dave tentang knp foo langsung jd abu, karna emang harusny foo mati bertahun2 lalu. Tapi seharusny andrea & arman jg langsung jd abu, karna mereka seharusny juga udah mati bertahun2 lalu. Trus klo seandainy juliana ngikutin saran lana buat minum darah suci, tetep ajah si juliana bakal mati kan? Kn umur dia udah 300 thn.. bener ga sih dave?

      ~dee~

      Delete
    3. memang sampai sekarang masih jadi perdebatan hmmm *padahal gue yg bikin*

      sebenarnya perbedaannya foo ama vampir yg lain, kalo foo jadi vampir pas dia sudah tua hampir menjelang ajal gitu, sedangkan yg lain jadi vampir ketika masih muda. jadi ya karena yg paling tua, foo langsung berubah jadi debu gitu

      penjelasan lain: mungkin foo tersesat dan tak tahu arah jalan pulang dan tanpamu dia jadi butiran debu *unch unch*

      Delete
  8. Bang dave.... pliss... ada otong..... no offense but pffft sorry mungkin pikiran gue yang agak dirty #ehh . Abisan namanya Otong sih lol

    ReplyDelete
    Replies
    1. ah ini namanya sesuai dg nama anak2 member grup MBP. kalo mau protes ke yg punya nama ajah hahaha

      Delete
  9. hmm... jadi arman ama shandi hombreng gitu ? gimana sih... ekye bingung cin...

    ReplyDelete