Tuesday, January 5, 2016

CITY OF ASHES: EPISODE 10 (ORIGINAL SERIES)

 

PART 2: JANUAR

CHAPTER 4

  CITY OF ASHES

PASSION FOR REBELLION

Copyright by: Dave Cahyo

 

“Dokter Arshandi, bangunlah! Kumohon, cepat bangun!” seru Kanti sambil mengguncang-guncangkan badannya. Pecahan-pecahan kaca masih berserakan di tubuhnya.

“A ... ada apa ...” Shandi mulai tersadar, namun kebingungan.

“Vivian ... Damia mengutusnya untuk membunuh Lana!”

***

 

“Ke ... kenapa kau melakukan ini Vivian?” tanya Lana dengan gemetar, “Aku tak pernah melakukan kesalahan apapun terhadapmu.”

“Aku hanya menjalankan perintah. Namun aku sama sekali tak keberatan. Manusia macam apa yang mau berteman dengan vampir? Benar-benar membuatku muak!”

“Vivian, kumohon hentikan!” jerit Lana.

“Jangan sakiti dia!” tiba-tiba terdengar suara perempuan.

Lana dan Vivian menoleh.

“Nabila?”

Gadis itu telah berdiri di ambang pintu, sambil memegang kartu-kartu tarotnya di jemarinya seperti kipas. “Aku adalah lawanmu.”

Vivian hanya tertawa, “Memangnya apa yang bisa kau lakukan?”

Nabila segera melemparkan kartu-kartunya. Vivian dengan cepat menghindar dan melihat kartu-kartu itu menancap di dinding belakangnya bak pisau.

“Kau bukan orang biasa rupanya. Kau sudah mengisi kartu-kartu itu dengan energi gaib.” Vivian justru tersenyum, “Kau akan jadi lawan yang sepadan. Kita lihat mana yang lebih cepat, kartumu atau peluruku?”

“Atau panahku!”

Vivian menoleh dan terkejut melihat Shandi telah menodongkan dengan anak panahnya yang teracung tepat ke kepalanya.

“Kenapa, Viv? Kenapa Damia melakukan ini semua?”

Vivian hanya mencibir ketika melihat Kanti bersembunyi di belakang Shandi, “Dasar pengkhianat kecil. Kali ini kalian bisa lolos.”

Vivian berbalik pergi dan melompat dari kaca jendela. Shandi dan Nabila berusaha mengejarnya, namun ternyata ia dengan lincah melompati tiap balkon bak pemain akrobat. Dalam waktu singkat, ia telah sampai di lantai satu dan kabur menggunakan motornya.

“Aku benar-benar tak mengerti, mengapa Damia tega melakukan ini semua.” bisik Shandi.

Tiba-tiba Nabila menjatuhkan semua kartunya. Tangannya tampak gemetar.

“Ada apa, Nab?” tanya Lana cemas. Ia tahu gadis itu merasakan sesuatu.

“Musuh yang sebenarnya telah datang. Ia amat kuat!”

“Siapa?” tanya Lana.

Tiba-tiba ia melihat semuanya tak bergerak, diam mematung.

“Kak Shandi? Nabila?” tanya Lana.

Ia menoleh. Tak hanya tubuh teman-temannya membeku, namun jarum jam juga berhenti berdetak. Ia melihat ke wastafel dan melihat air yang menetes dari keran juga berhenti, mengambang di udara.

“Teman-teman, sadarlah!” jerit Lana.

“Mereka takkan mendengarmu, Darah Suci. Atau harus kupanggil, Lana?”

Lana melihat seorang gadis cantik berambut hitam dan bergaun putih panjang bak putri Eropa masuk menembus dinding.

Ia pernah melihat gadis ini sebelumnya. Ia langsung teringat pada figur yang ada di atas kotak musik pemberian Napoleon yang ia lihat di kraton.

“Lilith?”

“Darimana kau bisa tahu nama itu?” tanya Juliana, “Kurasa aku terlalu meremehkanmu. Kau tahu lebih banyak ketimbang yang kuduga, Lana. Namun jujur saja, jangan panggil aku Lilith. Aku sendiri tak suka nama itu.”

A ... apa yang kau lakukan dengan teman-temanku?”

“Jangan khawatir, mereka baik-baik saja. Aku hanya menghentikan waktu sementara. Itu ilmu yang kupelajari selama 300 tahun. Melelahkan, tapi setimpal.”

“Siapa kau sebenarnya? Dan bagaimana kau bisa tahu namaku?

“Namaku Juliana Beaugerard, nama yang indah bukan? Arti namaku adalah 'mata yang inda'h. Kau jelas tak cocok menyandang nama seindah diriku, Lana.” Juliana terkikik mengejek.

“Jujur aku kecewa. Kupikir kau lebih cantik dari ini hingga bisa membuat Januar tergila-gila, namun matamu biasa-biasa saja. Mata kakakmu jauh lebih indah.”

“Kakakku? Darimana kau tahu tentang kakakku?”

Juliana tertawa, “Kakakmu Arman Zega? Tentu saja aku mengenalnya. Kakakmu dan teman-temannya, aku sendiri yang membunuh mereka di Merapi. Hahaha ...”

“Kau bohong!” jerit Lana, “Ka ... kakakku masih hidup!”

“Kakakmu adalah pemuda tampan dengan satu mata coklat dan satu mata biru bukan? Benar-benar mata yang indah, karena itu aku selalu menyimpannya.”

Juliana mengeluarkan sesuatu dan menggelindingkannya di kaki Lana.

Sebutir bola mata berwarna biru.

“Tidak! Tidaaaaaak!!!!”

***

 

Lana tersungkur di atas lantai, menangis terisak-isak.

“Apa salah mereka kepadamu!!” jeritnya histeris, “Apa?”

Juliana hanya tersenyum.

“Jika kau menginginkanku, bunuh saja aku sejak awal!” Lana mendongak penuh amarah, “Tak perlu melibatkan mereka!”

“Kau ingin mati? Dengan senang hati permintaanmu akan kukabulkan!”

Tubuh Lana terangkat dengan sendirinya, ia tak mampu mengendalikannya. Tanpa sadar, ia mulai berjalan menuju ke jendela dan membukanya. Air matanya menetes ketika melihat sungai yang dalam di bawahnya.

“Melompatlah!”

Lana berusaha melawan sekuat tenaga, namun ia tak mampu menolak dorongan tubuhnya.

Lana memanjat jendela itu.

Dan melompat ke bawah.

***

 

“Lana! Lana!” jerit Nabila. Ia langsung melihat keluar jendela dan hanya melihat sungai dengan arus yang sangat deras. Tak terlihat sedikitpun tanda-tanda Lana di sana.

“Apa? Apa yang terjadi?” seru Shandi kebingungan, “Dimana Lana?”

Nabila berurai air mata, “Aku menyaksikan semuanya, Shan ... karena aku lebih peka ketimbang manusia manapun. Aku melihatnya datang, menghentikan waktu, namun aku tak bisa melakukan apa-apa. Juliana, sang Lilith ... ia datang dan membuat Lana melompat ke dalam sungai.”

“Apa?” Shandi langsung berusaha mencarinya dan mengarahkan senter ke sungai di bawahnya. Namun hanya ada kegelapan di sana.

“Lana! LANA!!!!”

“Maafkan aku. Shan!” Nabila masih menangis, “Kurasa ia sudah meninggal.”

***

 

Eca masih menatap tubuh Profesor Harris yang masih tergolek lemas di atas tempat tidur. Alat penyokong kehidupan masih berjalan, namun entah sampai kapan. Eca sudah menganggap Profesor Harris sebagai ayahnya sendiri. Demi menyelamatkan murid-muridnya dari para vampir, ia mengorbankan dirinya hingga koma seperti ini.

Namun Damia sama sekali tak menghargai pengorbanan Profesor Harris, tak sedikitpun. Eca menatap garis zig zag yang terus muncul di layar. Ia selalu takut suatu saat garis itu akan berubah menjadi datar dan ia kehilangan “ayahnya” ini selamanya.

Ia tahu darah vampir dapat menyembuhkan segala penyakit. Damia juga tahu itu, namun ia tak mau mengakuinya.

Eca tahu cara kerja virus itu. Jika saja ia memberikan virus itu dalam dosis yang teramat kecil, mungkin efeknya takkan sefatal seperti mengubah Profesor Harris menjadi vampir, namun cukup untuk meregenerasikan tubuhnya.

Mungkin.

Yang pasti, Eca tahu ia harus mencoba. Ia tak bisa membiarkan dosen yang disayanginya ini meninggal begitu saja.

Gadis itu mengeluarkan serum dari dalam saku jas dokternya.

Suntikan berisi darah vampir.

Dan menginjeksikannya ke dalam infusnya.

Beberapa saat kemudian, mata Profesor Harris membuka.

Matanya menyala berwarna emas.

***

 

Januar masih menggendong tubuh Lana yang basah di punggungnya.

“Jika saja aku adalah laki-laki yang berani berterus-terang, mungkin kau takkan mengalami nasib seperti ini.”

Entah kepada siapa Januar berbicara, sebab ia tahu Lana masih tak sadarkan diri setelah ia mengangkatnya dari dalam sungai.

“Jika saja bisa mengatakan perasaanku padamu sejak dulu, mungkin segalanya akan berbeda.”

“Namun aku selalu takut, Lana. Takut jika kau mengatakan tidak dan kemudian mulai menjauhiku. Itu resiko yang terlalu besar yang tak mungkin aku tanggung.”

“Aku selalu takut mengatakan siapa kau di mataku. Bagiku kau adalah gadis paling berharga.”

“Matamu saat kau menceritakan kehidupanmu di rumah bersama kakakmu. Aku tahu betapa kau menderita, walau kau tak pernah mengatakannya. Namun percayalah, aku tahu.”

“Tiap kali kau merasa sakit, itu semua terpancar dari matamu, meskipun kau memaksakan diri tersenyum. Dan percayalah, rasa sakit yang kurasakan jauh berlipat-lipat.”

“Dan rasa sakit itu, semua tertebus ketika aku melihatmu bahagia. Walaupun itu hanya terjadi ketika kau bersama lelaki lain.”

Tanpa sadar Lana menitikkan air mata.

***

 

“Maafkan aku, Dame.”

Damia menoleh dan melihat Vivian telah kembali ke markas mereka di UGM.

“Kutebak kau tak melakukan tugasmu dengan baik?” Damia mengangkat gelas anggur merah yang hendak diminumnya.

“Entah mengapa, vampir mengejarnya dan menyebutnya Darah Suci.”

Damia hanya memainkan jemarinya di atas bola dunia yang tergeletak di atas meja sembari memutarnya.

“Apa yang kau ingat ketika aku menyebut tahun 1816, Viv?”

“Entahlah, Dame. Apa tahun itu penting?”

“Penting bagi dunia,” kata Damia sambil meneguk sedikit anggurnya, “Di saat itulah letusan sebuah gunung di Indonesia mengguncang dunia.”

“Krakatau?”

Damia tertawa, “Krakatau terlihat seperti tangisan bayi jika dibandingkan dengan raungan Tambora pada 1816. Abunya memenuhi langit dunia, menyebabkan Eropa dan Amerika tak mengalami musim panas. Langit yang gelap tanpa matahari menyebabkan penjuru dunia gagal panen dan lebih dari 200 ribu jiwa melayang. Namun kita semua tahu, tak semua korban mati karena kelaparan.”

“Serangan vampir?”

“Uniknya, pada tahun itu, jauh sebelum Bram Stoker menulis ‘Dracula’, seorang penulis bernama John William Polidori menuliskan untuk pertama kali, karya sastra yang menyebut kata ‘vampyre’. Mungkin itu bukan hanya imajinasinya saja. Mungkin saja ia melihatnya sendiri dan kemudian menginspirasinya.”

“Apa maksudmu menceritakan hal ini?”

“Apakah karena ini mereka mengincar negara kita? Karena lebih banyak gunung berapi di sini? Ataukah karena alasan lain? Itu yang selalu membuatku curiga.”

“Gadis itu? Dia alasan mereka ada di sini?”

“Aku selalu curiga ada yang tak beres. Entahlah, ada sesuatu, bukan tentang gadis itu, namun seseorang ... sesuatu yang tidak klop. Ditambah lagi perkataan Annisa saat itu ....”

“Mengapa Dame?” suara seorang laki-laki membuat Damia dan Vivian terkejut.

“Shandi, kenapa kau ada di sini?”

Shandi mengacungkan anak panahnya ke arah Damia.

“Kenapa kau berusaha membunuh Lana?”

“Shandi ... bersabarlah!” Damia menahan Vivian yang hendak mengambil senjatanya.

“Dia sudah mati sekarang!” tangis Shandi. “Apa kau puas?”

***

 

“Profesor? Ini saya, Eca. Apa anda ingat?” mata Eca berbinar melihat Profesor Harris tersadar dan mulai bangun. Serum darah berisi virus itu benar-benar bekerja. Profesor Harris kini sembuh dengan cepat.

“Prof?” tanya Eca.

Profesor itu menoleh dan langsung menyerang Eca, menggigit lehernya.

***

 

“AAAAAAA!!!” semua orang panik dan berteriak. Mereka berusaha kabur, namun Profesor Harris dan Eca yang kini telah berubah menjadi vampir menyerang mereka semua dan menyebarkan virus itu.

“Ada apa ini?” Yuuki Raven dan Tharik terkejut melihat kekacauan yang terjadi di markas mereka. Beberapa teman mereka telah berubah menjadi vampir haus darah, dengan langkah terseok-seok bak zombie.

Yuuki segera mengibaskan katana kembarnya, menghabisi beberapa teman mereka tanpa ampun. Tharik berteriak seketika saat salah satu vampir berhasil menggigit lengannya.

Yuuki menoleh dan langsung menebas kepala vampir itu.

“Yuuki ...” rintih Tharik, “Tolong aku ...”

“Maafkan aku, Thar,” kata Yuuki sambil bersiap mengayunkan pedangnya, “Ini yang terbaik!”

“Ti ... tidaaaaak!!!” namun katana itu langsung menikam jantung Tharik. Yuuki kembali menghadapi para vampir lainnya, namun ia segera sadar ia telah kalah jumlah.

Yuuki-pun mengambil jalan terakhir dengan mengunci pintu keamanan pertama dari dalam. Pintu titanium itu tertutup, tak mungkin terbuka lagi.

Yuuki hanya tersenyum melihat vampir-vampir itu mendekat.

“Kalian takkan pernah bisa mengalahkanku!”

Dan Yuuki segera menusukkan katana itu ke jantungnya sendiri.

***

 

“Awas Annisa!” Marco Tahir berusaha melindungi Annisa, sang ahli psikologi dari serangan vampir. Akibatnya ia sendiri tergigit.

Sebuah anak panah vervain langsung menancap di kepala vampir itu sebelum ia sempat melancarkan serangan lebih lanjut.

“Syukurlah kau sadar bahwa kita memiliki musuh yang sama.” ujar Damia.

“Tapi aku tetap tak percaya denganmu, Dame! Aku akan bikin perhitungan denganmu nanti. Yang penting sekarang, bawa semua yang selamat pergi dari sini!” kata Shandi sambil tetap mengacungkan busur panahnya.

“Marco, ayo cepat pergi!” ujar Vivian, “Kami akan mencarikanmu pertolongan!”

“Tidak, Viv! Kau tahu tak ada yang bisa menolongku!” Marco mendorong Annisa keluar dan mengunci pintu keamanan kedua dari dalam.

“Tidak, Marco!” jerit Vivian dari balik pintu, “Buka pintunya!”

“Aku tak bisa, Viv.” bisik Marco di sela nafas terakhirnya, “Kau tahu aku takkan bisa menyakitimu.”

“Tidaaaak!!!” jerit Vivian berlinang air mata. Namun Damia segera menarik lengannya.

“Dengar, Viv! Tak ada gunanya meratap sekarang! Kau segera bawa Annisa dan Shandi pergi dari sini dengan helikopter.”

“Bagaimana dengan kau?” seru Shandi.

“Harus ada yang menutup pintu keamanan ketiga! Jika tidak, makhluk-makhluk ini akan keluar dan berkeliaran mencari mangsa.”

“Tapi kau akan mati di dalam sini!” Shandi berbalik ke arah Vivian dan Annisa, “Kalian berdua pergilah! Aku akan tetap di sini!”

Mata Damia berkaca-kaca memandang Shandi.

Sementara itu, Vivian mengusap air matanya sambil berlari bersama Annisa ke arah helikopter. Hanya mereka berdua yang selamat dari seluruh kampus ini. Mereka berdua segera masuk ke dalam helikopter dan begitu Vivian menyalakan mesin, ia menyadari sebuah kabel terjuntai di bawah kemudian.

“A ... apa ini?”

Tiba-tiba saja helikopter yang mereka tumpangi meledak, menyisakan bola api raksasa di udara.

“Tidaaaak!!!” jerit Damia ketika melihat ledakan itu.

Shandi menarik tali busur panahnya. Damia menoleh untuk melihat mengapa Shandi bereaksi seperti itu.

Di hadapan mereka, berdiri seorang pria dengan wajah tertutup caping dan jubah hitam.

“Si ... siapa kau?” bisik Damia.

Pria misterius itu mengangkat tangannya dan seketika, tubuh Shandi terpental ke belakang hingga ia terhempas tak sadarkan diri di atas tanah.

“Shandi!” jerit Damia. Akhirnya ia memutuskan untuk mengunci pintu keamanan ketiga, mengurungnya bersama dengan sosok misterius itu di dalam kurungan titanium.

“Siapapun kau, kau takkan bisa lolos dari sini.”

Damia mereguk anggur dalam gelasnya dan segera menyemprotkannya ke arah sang Pangeran Kegelapan.

“Aaaaargh! Aaaargh!!!” ia sama sekali tak menduga anggur itu telah dicampur dengan vervain. Ia langsung menjatuhkan capingnya dan memperlihatkan wajahnya yang terbakar dan nyaris leleh. Namun dengan segera, luka itu menghilang dan wajahnya kembali ke wujud yang semula.

Damia terkejut melihat wajah Sang Pangeran Kegelapan yang sebenarnya.

“Kau?”

***

 

Damia tertawa.

“Sudah kuduga itu kau. Astaga, ternyata aku benar-benar lebih pintar dari dugaanku sendiri.”

“Benarkah? Jika kau pintar, kau takkan mengurungku di sini. Apa yang akan kau lakukan terhadapku? Memuntahkan vervain lagi? Membuatku sesak napas di ruang tertutup ini?”

“Tidak.”

Damia mengeluakan korek api.

“Jangan sebut kami mahasiswa universitas terbaik jika kami tak tahu cara membuat bom.”

***

 

Shandi terbangun dari pingsannya dan sadar bahwa ia tengah terbaring di atas rumput. Busur dan semua anak panahnya terpental jauh darinya.

“Damia?”

Tiba-tiba ia melihat gedung di depannya meledak dengan dahsyat, memusnahkan apapun yang ada di dalamnya.

“Tidaaak!!!” seru Shandi.

Namun kemudian ia melihat seseorang berjalan keluar dari kobaran api.

Pria berjubah hitam itu menghampiri Shandi.

Pemuda itu berdiri sesuai dengan gerakan tangan Pangeran Kegelapan.

“Aku ingin kau menyampaikan sesuatu pada Darah Suci.”

 

TO BE CONTINUED

No comments:

Post a Comment