Monday, September 12, 2016

HINGGA FAJAR MENJELANG: CHAPTER 7

 

272_221574219

“Mau kemana kita, Matt?” tanya Ashley yang mulai kelelahan berlari. Salju yang semakin tebal membuat langkahnya terasa berat. “Kurasa kabin ke arah sana.”

“Tidak, aku ingat arahnya ke sini.”

Namun ia tercengang melihat percabangan di depannya. Jelas sekali mereka tak pernah melewati jalan ini sebelumnya.

“A ... apa kita tersesat?” tanya Ashley sambil bergidik. Ia sendiri tak tahu apakah ia gemetar karena kedinginan ataukah karena sosok mengerikan yang ia lihat tadi.

“Tidak! Kita tidak tersesat!” Matt tak mau membuat kekasihnya ketakutan. “Lihat di sana!”

Matt dan Ashley melihat secercah harapan. Ada asap mengepul tak jauh dari mereka, dan juga cahaya.

“Pasti ada rumah di sana, ayo.”

Ashley mau tak mau mengikuti langkah Matt. Dalam hati ia ragu. Bukankah satu-satunya rumah di sini selain kabin keluarga Washington adalah milik ...

Langkah mereka tehenti ketika melihat sebuah pondok kayu berukuran sedang di hadapan mereka. Tampak beberapa batang kayu telah terbelah dan sebuah kapak menancap di salah satu batang tersebut.

“Apa menurutmu ada orang di sini?” Ashley dengan ragu kembali mengikuti langkah Matt mendekati pintu kabin tersebut, “Bagaimana jika ini rumah orang yang kita lihat tadi?”

“Jika ada telepon di rumah ini mungkin kita bisa minta bantuan.” ujar Matt. Ia mendorong pintu, tak terkunci.

Lantai kayu di dalam kabin itu mulai berdecit ketika kaki Matt menginjaknya.

“Matt!” bisik Ashley panik, “Kau tak serius kan mau masuk ke sana?”

“Lalu kemana kita akan pergi? Kau mau membeku kedinginan di luar sana?”

Ashley hanya menggenggam tangan Matt dan memberanikan diri masuk.

Kabin itu amat gelap. Di sisi perapian yang masih setengah menyala, mereka melihat sofa dan meja kayu kecil. Di atasnya, terhidang segelas kopi yang masih menguar.

“Lihat ... kopi itu masih baru. Berarti ada orang yang tinggal di sini.”

“Pemburu itu? Bagaimana jika dia yang kita lihat tadi?”

Matt tertarik melihat sesuatu yang berkilau di dekat perapian. Iapun menghampirinya.

“Matt!!!” bisik Ashley. Ia tahu masuk ke sini adalah ide buruk, dan kini Matt berniat menggeledah barang orang.

“Kalung-kalung ini ... aneh, apa ada wanita yang tinggal di sini?” Matt menyentuh kalung-kalung yang bergelantungan di sisi perapian. Ada pula beberapa jam tangan milik laki-laki dengan model yang berbeda-beda, seakan-akan mereka milik orang-orang yang berbeda pula.

Mata Matt membelalak ketika melihat sepasang kalung dengan liontin kembar. W.

“Ash, lihat!” tunjuk Matt, “Bukankah ini kalung si kembar!”

“Dawn dan Hope?” Ashley tak percaya, “Namun bagaimana Victor Ingram bisa memilikinya?”

Matt dan Ashley tahu benar, liontin emas berinisial “W” itu pastilah milik keluarga Washington.

“Apa jangan-jangan ...” Matt beranjak semakin memasuki rumah itu. Ia tertarik dengan sebuah pintu di lantai yang membuka dengan anak tangga menuju ke basement.

“Matt, apa yang kau lakukan?”

Matt menoleh ke arah Ashley, “Ash ... masih ada kemungkinan Dawn dan Hope masih hidup. Mungkin ia menyekap mereka di sana.”

“Matt, apa yang kau pikirkan! Mereka berdua sudah meninggal!”

“Aku harus memastikannya.” Matt menuruni tangga, “Lagipula ini semua kesalahanku.”

“Matt, apa maksudmu? Demi Tuhan, kembalilah ke sini!”

“Kau tunggu saja di sini. Aku akan turun sebentar memeriksanya.”suara Matt makin menghilang ketika ia makin terbenam ke dalam basement.

Mau tak mau Ashley mengikutinya.

***

Elle menoleh. Sepertinya tadi ia mendengar hembusan napas di belakangnya. Namun tak ada siapa-siapa di sana. Elle menggeleng-gelengkan kepala begitu menyadari begitu paranoidnya dirinya. Pasti itu tadi hanya hembusan semilir angin.

“Huh, lama sekali dia!” omel Elle sembari melirik ke jam tangannya, “Apa sih yang ia lakukan di atas sana?”

Elle memutuskan keluar dan naik ke atas. Di sana ia hanya melihat Jung Soo berdiri sambil memandang jurang di bawahnya.

“Jung Soo, apa yang kau lakukan? Sudah kau perbaiki belum?” bentak Elle dengan kesal.

Ia merinding melihat tatapan Jung Soo ketika pemuda itu menoleh. Begitu dingin. Begitu tak berperasaan.

Kemudian ia menyadari sebilah pisau lipat tergenggam di tangannya.

“Ketimbang memperbaiki cable car ini kemudian menjatuhkanmu dari atasnya ... kupikir lebih baik jika aku mengakhiri segalanya di sini ...”

Jung Soo menyeringai.

“Takkan ada yang tahu bukan jika kau terjatuh ke jurang ini? Dan seperti kita semua tahu, tak ada yang pernah bisa selamat ...”

***

Sam masih menatap Lyra dan Michael penuh kecurigaan. Ia mulai berpikir dengan logika.

Tidak! Mustahil gadis itu, pikir Sam. Pelakunya tadi jelas seseorang berkekuatan besar. Tubuh Lyra bahkan tak lebih besar dengan tubuhku, pikir Sam lagi. Michael juga ... tak beralasan jika ia harus menunggu Jessica keluar kabin untuk membunuhnya. Ia memiliki banyak waktu sendirian dengan Jessica. Ia bisa melakukannya kapan saja.

“Ada apa, Sam?” pertanyaan Michael membuyarkan lamunannya, “Dimana Jess?”

“Jess ... Jessica ...” Sam kembali terisak. “Se ... seseorang membunuhnya ...”

Tiba-tiba Sam teringat sesuatu.

“Ya Tuhan ... teman-teman kita yang lain ... kita harus menemukan mereka! Mereka dalam bahaya!”

***

Elle tahu ada yang tak beres dengan pemuda itu. Ia berusaha melarikan diri, namun Jung Soo keburu menangkap syalnya. Dengan kasar ia merenggut tubuh Elle dan mencengkeram lengannya agar ia tak mampu kabur.

“Lepaskan aku!” jerit Elle, “Mengapa kau lakukan ini?”

Jung Soo tak menjawab dan langsung melemparkan tubuh Elle ke dalam kegelapan jurang.

“AAAAAAAAAAAAAAAA!!!” jerit Elle.

Tubuhnya tak langsung jatuh, namun mendarat di ketiga kabel baja yang menggantung dari stasiun tempat mereka berdiri ke stasiun di ujung tebing yang lain.

Elle merasakan tubuhnya teriris. Di suhu membeku seperti ini, kabel baja yang tipis itu menegang semaksimal mungkin, ditambah lagi dengan krstal-kristal es tajam di permukaannya.

Kabel-kabel itu kini berubah menjadi pisau dan mulai mengiris tubuh Elle.

Berat tubuhnya membuat irisan kabel-kabel itu semakin dalam.

Gadis itu tak mampu lagi menjerit ketika tubuhnya terpotong menjadi tiga dan potongan-potongannya terjatuh, dimangsa kepekatan di dasar jurang.

Jung Soo hanya tersenyum.

“Aku sudah melakukan perintahmu.” Ia berbalik pada sosok di belakangnya.”Sesuai katamu, wanita jalang itu pantas mati.”

Namun sosok itu justru menembakkan panah yang ia pegang; panah yang tadi ia pakai untuk berburu.

“Apa?” Jung Soo memuntahkan darah dan tubuhnya limbung, tergelincir es yang licin.

Iapun jatuh ke dalam jurang, hanya mampu menatap sosok yang baru saja mencabut nyawanya itu.

***

“Matt ...” panggil Ashley. Tangga kayu yang diinjaknya berdecit perlahan.

“Ash ... jangan ke sini!” terdengar suara Matt yang bercampur ketakutan.

“Matt ... ada apa ...” Ashley segera menjerit perlahan melihat apa yang terhidang di dalam basement.

Potongan-potongan mayat manusia digantung bak di toko daging; masing-masing terkait dengan rantai yang menyambung ke langit-langit.

Ada tubuh wanita, laki-laki, semuanya tak utuh dan sepertinya sudah mati dalam waktu yang lama.

“Jam dan kalung itu ...” bisik Ashley, “itu suvenir ...”

“Ash, kita harus segera pergi dari sini,” seru Matt dengan cemas, “Ada pembunuh berantai di sini ...”

Ashley menoleh dan menjerit ketika sesuatu menghantamnya. Gadis itu langsung terjatuh tak sadarkan diri.

“Ashley!” seru Matt. Ia berusaha naik kembali ke tangga, namun sosok itu menghadangnya. Sosok bertopeng menakutkan.

Matt mencoba melawan dan menarik topeng yang dikenakannya.

Darahnya langsung terasa membeku.

“Kau???”

 

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment