Wednesday, December 2, 2015

CITY OF ASHES: EPISODE 8 (ORIGINAL SERIES)

 

PART 2: JANUAR

CHAPTER 2

  CITY OF ASHES

REIGN OF TERROR

Copyright by: Dave Cahyo

 

Juliana menatap mayat-mayat hidup berjalan itu. Mereka memang vampir baru, namun di bawah kendali Nino, mereka terlihat seperti zombie.

“Inikah pasukan barumu untuk menemukan Darah Suci?” cibir Juliana, “Kurang meyakinkan bagiku.”

“Kurasa ini lebih baik ketimbang membangkitkan seorang pemuda tampan yang sama sekali tak memiliki kesetiaan. Kemana dia sekarang? Menemui pacar lamanya?”

Juliana merasa tersindir.

***

 

“Kau ...” jerit Lana, ”Kau yang melakukan ini semua, Janu? Kau yang membunuh orang tuaku?”

“Tidak, Lana!” Januar berusaha membela diri, “Bukan aku! Aku baru saja sampai di sini! Aku mengikutimu sampai ke sini ...”

Namun itu tak menghentikan jeritan histeris Lana. Tiba-tiba Januar merasakan tembakan panah yang mengenai punggungnya. Tubuhnya langsung terasa terbakar. Vervain yang masuk seakan ikut bersirkulasi bersama darahnya, membakar sekujur tubuhnya.

Januar langsung tersungkur, sementara Shandi menarik Lana keluar dari rumah itu.

“Lana ... kumohon ...” Januar berusaha menggapai gadis itu, “Bukan aku pelakunya ...”

***

 

Damia menjatuhkan tubuh vampir tak berkepala itu ke atas meja otopsi.

“Ini mayat vampir pertamamu, Eca! Manfaatkan untuk mencari tahu kelemahan mereka!”

Aisyah Jawas, mahasiswi kedokteran muda yang biasa dipanggil Eca itu, hanya menatap hampa tubuh itu. Kemudian gadis berjilbab hitam itu segera bekerja mengambil sampel dari jenazah itu.

Diapun mengamatinya di bawah mikroskop dan merasa terkagum-kagum.

“Apa yang kau temukan?” tanya Damia.

“Darahnya bereaksi secara keras dengan vervain. Kita benar, vervain memang melumpuhkan mereka, sama seperti efek racun arsenik pada tubuh kita. Dan hmmmm ... menarik sekali.”

“Ada apa lagi?”

“Aku menemukan leukosit yang mengandung drum stick di sini, padahal fitur itu hanya ada dalam darah perempuan. Berarti dia memang menghisap darah karena tubuhnya tak mampu menghasilkan darah sendiri. Ia menggunakan darah orang lain untuk menyirkulasikan sari makanan dan oksigen dalam tubuhnya.”

“Ah, berarti mereka bernapas. Bagus, berarti mereka sama seperti manusia, bisa dikalahkan.”

“Aku takkan buru-buru mengatakan demikian,” kata Aisyah sambil meneliti sampel lainnya, “Berdasarkan pengamatanku, daya regenerasinya teramat tinggi. Rasanya mustahil kita membunuhnya kecuali dengan menonaktifkan jantung atau otaknya, yang merupakan organ paling vital bagi kehidupan.”

“Bahkan dengan vervain?”

Vervain memang bisa melukainya, namun luka itu akan cepat sembuh, tergantung konsentrasi vervain yang kita berikan. Namun tetap takkan mampu membunuhnya.”

“Lalu,” tanya Damia yang diam-diam kagum akan kecerdasan gadis itu, “Apa kau sudah tahu mengapa mereka bisa berubah menjadi vampir?”

“Aku butuh lebih banyak sampel untuk menyimpulkannya, namun aku menduga: virus. Itu akan menjelaskan mengapa mereka bisa dilukai dengan peluru perak, sebab perak adalah logam oligodinamik yang dapat mengacaukan sistem enzim virus. Kurasa merkuri akan jauh lebih efektif, sayangnya sifatnya juga beracun bagi kita.”

“Virus?” tanya Damia heran. Ia selalu mendengar vampir itu semacam hantu, namun sekarang virus? Ia benar-benar tak menduganya.

“Virus itu akan membajak inti sel dan mengubah DNA host-nya, tentu saja dengan tujuan untuk mereplikasikan diri mereka sendiri. Mereka akan meningkatkan jumlah telomerase dalam sel, menjelaskan mengapa mereka bisa hidup abadi.”

“Tunggu sebentar, telomerase? Apa itu?”

Eca mengangkat wajahnya dari lensa mikroskop dan mulai menjelaskan, “Telomerase adalah enzim yang berfungsi melindungi telomer. Telomer sendiri adalah daerah pada ujung kromosom yang melindungi DNA dari kerusakan. Bila telomer rusak, maka fungsi DNA akan menurun, akibatnya tubuh mengalami penuaan karena banyak sistem dalam tubuh kita tak berfungsi dengan baik. Nah, karena telomerase melindungi telomer, DNA akan tetap terlindungi, dengan demikian menguntungkan virus juga.”

“Namun ada efek sampingnya bukan?”

Eca menghela napas, “Aku tak begitu mengerti apa hubungannya, namun sepertinya serangan virus ini menyebabkan tubuh tak bisa melakukan biosintesis porfirin. Porfirin adalah perekursor hemoglobin dan tanpanya sel sarah merah takkan bisa mengangkut oksigen dan makanan.”

Damia mengangguk, “Karena itu mereka terus menerus membutuhkan sel darah merah dari orang lain. Hmmm ... aku mengerti sekarang. Dan aku menduga itu ada hubungannya dengan kelemahan mereka terhadap cahaya matahari?”

“Kau benar. Cahaya matahari mengandung radiasi dari berbagai sinar dengan panjang gelombang berbeda, beberapa ada yang meningkatkan radikal bebas dan merusak telomer. Entah mengapa, mutasi yang ditimbulkan oleh virus pembajak ini juga akan meningkatkan kepekaan mereka akan radikal bebas tersebut. Pada satu titik, tingkat kerusakan yang ditimbulkannya akan melampaui kemampuan telomerase untuk melindungi telomer. Pada saat itu mereka akan ...”

“Mati.” Damia menyimpulkan, “Namun kita tak bisa menunggu hingga matahari kembali bersinar. Itu bisa makan waktu lama. Bagaimana dengan kerja tim fisika? Bisakah mereka mempercepatnya?”

Eca menggeleng, “Mereka sudah mencoba sebaik mungkin, Dame. Namun sayangnya mereka tak tahu cahaya dengan panjang gelombang berapa yang paling efektif untuk meniru efek merusak sinar matahari terhadap vampir. Untuk itu kau harus menunggu.”

“Kita tak punya waktu. Kerjakan saja apa yang kau bisa, Eca.” Damia hendak berbalik, namun Eca menghentikannya.

“Dame, ada yang ingin kubicarakan. Penelitianku barusan telah membuktikan bahwa virus vampir dapat meningkatkan daya regenerasi, jadi ...”

“Tidak, Eca!” bahkan sebelum Eca melanjutkan perkataannya, Damia sudah menolak, “Kita takkan menggunakan darah vampir untuk menyembuhkan Profesor Harris.”

“Tapi tanpa Profesor Harris kita takkan selamat sampai di sini, Dame! Dia mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan kita dan kini dia hanya bertahan hidup karena alat penyokong kehidupan. Kumohon ... berikan aku izin untuk menyelamatkannya ...”

“Apa kau mau bertanggung jawab jika Profesor Harris berubah menjadi vampir, sama seperti mereka?”

“Semua virus mempunyai antivirus, Dame!” Eca bersikeras, “Jika saja aku punya lebih waktu untuk menemukan antivirus itu, aku pasti bisa ...”

“Tidak, Ca! TITIK! Aku takkan mengizinkanmu membahayakan seluruh kampus! Lanjutkan saja penelitianmu tentang bagaimana cara kita membunuh vampir!”

Damia tak membiarkan Eca berkata sepatah katapun dan langsung pergi meninggalkannya.

***

 

Damia masuk ke dalam lift dalam kondisi pusing. Ia sudah berhasil sejauh ini mengumpulkan para penyintas, semuanya mahasiswa cerdas, dari seluruh UGM. Tujuannya hanya satu, menemukan cara membunuh para vampir yang sudah menghabisi hampir seisi kampus mereka. Namun ia tak bisa melindungi mereka selamanya. Cepat atau lambat, para vampir akan menemukan lokasi mereka. Damia hanya berharap mereka akan menemukan cara paling efektif untuk membunuh para vampir sebelum hal itu terjadi.

Pintu lift terbuka dan seorang pria bertubuh tinggi besar berpakaian militer masuk.

“Dicky,” kata Damia, “Apa yang kau inginkan?”

“Aku dengar kau berhasil membunuh satu vampir. Selamat, Dame! Berarti kita sudah siap!”

“Siap untuk apa?”

“Siap untuk perang terakhir tentu saja! Kau sudah menemukan kelemahan para vampir! Kita gunakan vervain untuk membunuh para vampir itu! Aku yakin kita pasti menang!”

“Tidak, Dick! Kita belum siap! Eca sudah membuktikan luka mereka akibat vervain dengan cepat akan sembuh. Aku juga sudah melihatnya dengan mata kita sendiri. Kita harus menunggu hingga teman-teman kita dari laboratorium fisika menyelesaikan lampu yang bisa meniru matahari itu.”

“Mengalahkan vampir dengan lampu? Apa kau sadar betapa konyolnya itu? Kita harus membasmi mereka dengan senjata, Dame! Dan kita punya banyak senjata!”

“Bagaimana jika kau gagal? Apa kau mau mengorbankan nyawa teman-teman kita di sini?”

“Lebih baik mereka mati sebagai pahlawan daripada hidup seperti pengecut, seperti kamu! Apapun yang terjadi, aku akan melakukan misi itu, dengan atau tanpa izinmu!”

Tiba-tiba Damia mengeluarkan suntikan dari belakang bajunya dan segera menusukkannya ke lengan Dicky.

“AAAARGH! Apa ini?” Dicky segera tersungkur karena kesakitan.

“Entahlah,” ucap Damia dengan enteng, “Aku mendapatkannya dari tempat Eca jadi kurasa kalau itu bukan racun, pastilah virus atau bakteri mematikan.”

Dicky menggeliat di lantai, tengah sekarat.

“Te ... teganya ka ... u ...”

Damia hanya tersenyum sambil membuka pintu lift.

***

 

Shandi mempercepat laju kudanya. Lana dengan cemas menoleh ke belakang. Barisan vampir itu terus mengikuti mereka, semakin cepat.

Lana terkejut ketika Shandi membelokkan laju kuda mereka.

“Kak, rumah sakitnya ada di sebelah sana!”

“Kita takkan mampu ke sana jika kita tidak bisa lolos dari vampir-vampir ini!”

Shandi tahu benar wilayah ini. Ini adalah daerah kampusnya. Ia berharap ia bisa mengecoh vampir-vampir itu di sini.

Namun tiba-tiba ....

“Aaaaaaa!!!” jerit Lana. Sesosok vampir bersayap tengah mencengkeramnya dan membawanya terbang.

“Hai, Darah Suci!” vampir itu mendaratkan Lana ke atas gedung kampus, “Namaku Nino,” katanya sambil menyeringai, “Salam kenal.”

Lana terpojok. Ia tak bisa kabur. Satu-satunya jalan untuk lolos adalah melompat dari atap bangunan ini.

“Oh ya, kau sudah membunuh keluargaku, Andrea Lunera.” Nino langsung mencengkeram kepala Lana dan memaksanya melihat ke bawah, dimana Shandi dan Fino terjebak di antara para vampir.

“Kini kau akan menyaksikan langsung kematian orang-orang yang kau sayangi!”

“Tidak! Tidaaaak!!!”

Tiba-tiba seseorang menerkam Nino dan menjauhkannya dari Lana. Gadis itu bisa melihat siapa sang dewa penolongnya.

Januar.

Pemuda itu segera menghajar Nino, namun Nino segera kabur dengan melayang tinggi ke angkasa.

“Hahaha!!!” tawa Nino di angkasa, “Kurasa kau belum belajar terbang ya?”

Januar menatap dengan kesal karena tak bisa mengejar Nino. Di belakangnya Lana menjerit.

“Januar, kumohon ...” pintanya, “Selamatkan Kak Shandi!”

Pemuda itu menatap mata Lana. Lalu ia ganti menatap ke bawah dan melihat Shandi tengah bergelut melindungi Fino dari serangan para vampir. Ia selama ini membenci Shandi dan menganggapnya sebagai saingannya.

Januar-pun mengambil keputusan.

Ia segera melompat ke bawah dan menyerang vampir-vampir itu. Shandi mengambil kesempatan itu dengan mengambil anak panah dan menembaki vampir-vampir yang menyerang mereka.

Namun mereka berdua tetap saja bukan tandingan para vampir itu, sebab semakin banyak saja vampir yang bergabung dalam pertarungan.

Lana merasa cemas melihat baik Januar dan Shandi semakin terdesak. Ia memutuskan untuk turun melalui tangga darurat.

Sementara itu ketika makin terpojok, tiba-tiba mereka menyadari bala bantuan telah tiba.

Tembakan demi tembakan seorang sniper melumpuhkan para vampir itu. Vampir sisanya memutuskan melarikan diri. Namun mereka juga bernasib naas, sebab seorang gadis berpakaian ala cosplayer segera menebas tubuh mereka dengan pedang hingga tak bersisa.

Sang penembak pun keluar dari persembunyian.

“Vivian?” Shandi mengenalnya sebagai salah satu teman yang dikenalnya di kampus.

Namun Vivian tak pandang bulu. Ia ikut menembakkan peluru perak ke arah Januar. Pemuda itu langsung tersungkur kesakitan.

“Tidaaaak!!!” Lana menjerit keluar dari bangunan dan berusaha memisahkan mereka, “Jangan sakiti dia! Dia temanku!”

“Dia adalah vampir!” seru Vivian. “Semua vampir harus dibunuh!”

Namun Lana terus menamengi Januar dengan tubuhnya sehingga Vivian kesulitan menembak tanpa mengenai gadis itu.

“Januar, cepat pergi dari sini!”

Januar dengan cepat segera menyingkir dari arena pertarungan dan tak terlihat lagi.

“Kenapa kau melindungi vampir itu, hah?!” sergah Vivian sambil menurunkan senapannya.

“Vivian!” panggil Shandi, “Bagaimana dengan yang lain? Apa mereka selamat?”

***

 

“Dimana Dicky, Dame?” tanya Cesar Tharik, ahli komputer yang bekerja di tim UGM. “Dia bilang tadi dia ingin menemuimu.”

“Dicky?” Damia berpura-pura, “Aku tak melihatnya sejak tadi. Urus saja pekerjaanmu, Thar!”

Tharik dengan enggan mundur. Tak ada gunanya berdebat dengan wanita sekeras Damia.

Damia segera menemui Annisa, mahasiswi psikologi yang ditugaskan untuk “membaca pikiran” para vampir itu.

“Annisa, apa yang kau dapatkan?”

Gadis pemalu berkaca mata itu menoleh dan mulai menjelaskan, “Ehm, aku tak tahu apakah ini bisa membantumu, Dame.”

“Tenanglah,” berbeda dengan yang lain, Damia menyayangi gadis ini seperti adiknya sendiri dan selalu berusaha melindunginya, “Apa yang kau temukan? Katakan saja.”

“Kau menyuruhku membaca psikologis vampir ... agak aneh bagiku pertama, namun kemudian aku mencoba menempatkan diriku sebagai mereka. Jika aku hidup abadi, maka aku akan mulai merasa tak terkalahkan. Dalam satu sisi memang benar mereka sukar dikalahkan, namun di sisi lain itu akan membuat mereka rentan ....”

“Terhadap?”

“Sikap sombong, bahkan mungkin pertikaian dan persaingan antar para vampir sendiri.”

“Sebab hanya vampir yang bisa mengalahkan sesama vampir? Aku setuju.”

“Kurasa bukan tak mungkin, beberapa di antara mereka akan berkelahi dan saling menghancurkan.”

“Hmmm ... itu akan membuat misi kita jauh lebih mudah. Dan apa lagi?”

“Namun yang lebih aku khawatirkan bukan mereka, namun pemimpinnya.”

Damia menarik alisnya. Ia tak pernah berpikir sejauh itu.

“Jika ia bisa menyatukan para vampir dengan ego setinggi itu, pastilah ia vampir yang memiliki kekuatan yang sangat hebat. Rasanya mustahil jika kita belum melihat sosok dengan kekuatan sedahsyat ini.”

“Apa maksudmu, Nis?”

“Aku khawatir, pemimpin ini sebenarnya sudah berada di sini, di sekitar kita. Bahkan mungkin ia sudah ada di antara kita.”

“Kenapa kau berpikir seperti itu?”

“Entahlah, Dame. Semua serangan ini ... begitu tiba-tiba, namun terencana. Seolah-olah mereka sudah tahu ... seolah-olah sudah ada yang dikirim ke sini sebelumnya, untuk mengawasi ... untuk menyusun rencana ....” Mata gadis itu beradu dengan Dame, “Aku khawatir, Dame. Bagaimana jika kita tak selamat dari sini?”

“Kita akan selamat, aku berjanji,” Damia merengkuh pundak gadis itu, “Para vampir takkan mengetahui lokasi kita. Dan jikapun mereka menemukan kita, ada helikopter di luar yang siap mengevakuasi kita. Semua akan baik-baik saja.”

“Damia.” Suara seorang gadis di belakangnya membuatnya menoleh. Di depannya tampak seorang gadis berbaju serba putih, seorang ahli farmasi bernama Kanti.

“Ada Dokter Arshandi di sini.”

Mata Damia langsung berbinar.

***

 

“Aku melihatmu di kamera keamanan, Viv!” kata Marco Tahir sambil membuka pintu keamanan. “Kau hebat di luar sana.”

Wajah Vivian langsung memerah begitu mendengar pujian Marco. Ia lalu memperkenalkannya pada Lana dan Shandi. Yuuki masuk paling terakhir sambil menggandeng Fino.

“Ini adalah Marco Tahir, penjaga keamanan kami. Markas kami memiliki tiga lapis pintu keamanan. Tiap pintu berbahan titanium murni serta hanya bisa dibuka dan dikunci dari dalam, sehingga vampir takkan bisa masuk. Dan jikapun mereka bisa, kami sudah menyiapkan kendaraan evakuasi berupa helikopter.”

“Aku adalah pilotnya.” sahut Marco, “Namun aku juga sudah mengajari Vivian mengendarainya.”

“Shandi!” terdengar seorang wanita memanggil. Shandi menoleh.

Damia langsung memeluk Shandi begitu melihatnya. Shandi merasa kaget dan sedikit melirik ke arah Lana. Pemuda itu sama sekali tak membalas pelukan Damia, bahkan berusaha mendorongnya menjauh.

Damia melepaskan pelukannya, “Aku sangat senang kau selamat.” Ia lalu menatap curiga pada Lana yang berada di sebelah Shandi.

“Siapa dia?”

“Ah, perkenalkan, ini Lana, adik Arman Zega. Kau masih ingat dia kan? Lana, ini Damia, temanku.”

Damia agak memicingkan mata ketika Shandi lebih memilih menggunakan kata “teman” dalam mendekskripsikan hubungan mereka berdua.

Gadis itu teringat pembicaraan terakhirnya dengan Shandi beberapa hari lalu.

***

 

“Terima kasih sudah mengajakku ke sini, Dame.”

Shandi menatap ke arah Merapi yang tengah mengeluarkan percikan api.

“Apa benar kata mereka,” tanya Damia, “Kalau Merapi akan segera meletus?”

“Entahlah,” Shandi hanya mengangkat bahunya, “Aku bukan ahli vulkanologi.”

“Aku tahu tak pantas bagiku untuk mengatakan hal ini,” balas Damia, “Namun Merapi sangatlah indah jika ia meletus seperti ini.”

Shandi menatap Damia, “Kau tahu, kau selalu berpikiran bebeda dengan orang lain. Yang lain hanya akan melihat penderitaan yang ditimbulkan Merapi, namun kau ... kau masih bisa melihat keindahannya. Kau hampir sama dengan Arman, kau tahu?”

“Si Zega, mengapa?”

“Yah, dia juga orang yang unik. Bahkan dia berencana naik ke Merapi walaupun statusnya sudah waspada seperti ini. Katanya ia ingin melihatnya lebih dekat.”

“Kau banyak menghabiskan waktu dengannya,” sahut Damia, “Kalian berdua sangat dekat ya?”

“Jangan katakan apapun pada orang lain, Dame. Ini rahasia.” Shandi terkikik.

“Apa?”

“Itu karena Arman punya adik yang sangat cantik. Gadis tercantik yang pernah kulihat.”

Damia hanya terdiam.

Ia mengembalikan hadiah yang semula ingin ia berikan kepada Shandi ke balik gaunnya.

Sebuah hadiah sebagai bukti bahwa ia mencintainya.

***

 

Damia tersadar dari lamunannya. Ia masih menatap Lana, adik Arman itu.

“Aku berharap kau bisa membantu kami, Dame.” kata Shandi, “Anak ini, Fino, nyawanya terancam jika kami tak segera merawat penyakit asmanya.”

“Sayang sekali, peralatan medis di tempat ini sangat terbatas,” Kanti menjawab, “Obat-obatan untuk asma setahuku juga tak ada.”

“Kalau begitu, akan kusuruh Vivian mengantar kalian ke rumah sakit. Letaknya sudah tak begitu jauh dari sini, namun kalian tetap membutuhkan pengamaman.”

“Terima kasih, Dame.” wajah Shandi bertambah cerah, “Kau memang selalu bisa diandalkan.”

“Jika bisa, Dame.” Kanti memotong, “Bolehkah aku ikut juga? Aku membutuhkan persediaan obat-obatan jika situasi darurat terjadi.”

“Baiklah,” Damia mengangguk. “Marco, tolong siapkan motor untuk Vivian dan Kanti. Dan Vivian, bisakah aku berbicara denganmu sebentar?”

Damia menggamit lengan Vivian dan mengajaknya menjauh dari kerumuman orang itu.

“Ingat, Viv! Kau harus melindungi Shandi dengan segenap nyawamu, kau mengerti.”

“Tentu, Dame.”

“Dan satu lagi,” bisik Damia, “Gadis itu ... Lana ....”

“Ya?”

“Bunuh dia jika ada kesempatan. Dan buatlah kematiannya seakan vampir yang menyerangnya.”

Vivian hanya mengangguk sambil tersenyum.

Tak jauh dari mereka, tanpa sengaja Kanti mendengar rencana mereka.

 

TO BE CONTINUED

6 comments:

  1. idk but... "Tidak, Dick!" sounds strange XD mungkin cuma aku yang pervert kali hahaha.. semakin seru aja. lanjutkan dan semangat :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. ngucapin dick-nya jangan pake lafal kebule2an nanti artinya jadi mesum, tapi ngucapinnya keindonesia2an jadi mirip2 "dek" gitu bunyinya jadi lebih mesraaaaa (pura2nya kaka ade getho)

      Delete
  2. Bang Dave keren, bisa buat karakter seperti Dame! Di satu sisi, ia pemimpin yang baik, dan ambisius, serta memikirkan keselamatan yang lain. Tapi di sisi lain, ia tampak jahat, karena berupaya membunuh Lana hanya karena Shandi.
    .

    Bang, rahasia abang biar bisa buat cerita kayak gini apa sih??

    ReplyDelete
    Replies
    1. gua mah bikin karakternya semanusiawi mungkin, jadi ada sisi jahatnya tapi juga ada sisi buruknya. tapi kalo tokoh utama mah gue lebih suka bikin yg innocent semacam lana wkwkwk

      Delete
  3. keren bang! gue suka cara lo menyisipkan ilmu biologi keahlian lo di cerita ini XD

    ReplyDelete
  4. apakah sudah terlalu basi untuk komen di blog ini bang Dave? suka bgt sm cerita yg abang(?)XD tulis wkwk~

    ReplyDelete