TERROR IN THE DARKNESS
by: Dave Cahyo
Mizuki berjalan perlahan keluar dari gerbang sekolah. Apa yang terjadi dengannya akhir-akhir ini? Kenapa banyak hal aneh terjadi dengannya semenjak kepindahannya ke kota ini? Apa benar kata Reina jika racun di kota ini belum sepenuhnya hilang dan kini mempengaruhi otaknya?
Tiba-tiba sebuah mobil mengklaksonnya dari belakang.
Mizuki menoleh. Ia tak mempercayai keberuntungannya. Itu adalah Ben dengan mobil sportnya.
“Hei,” pemuda itu melongokkan kepalanya dari jendela, “Kau mau pulang bareng? Kita searah, kan?”
***
Mizuki merasa deg-degan berada semobil dengan pemuda bule itu.
“Bagaimana kau suka kota ini?”
“Emm ...” gadis itu gugup, “Kurasa.” Tentu saja ia tak bisa menceritakan jika ia sudah diteror oleh hantu semenjak ia pindah ke kota. “Dan kau sendiri, bagaimana kau bisa sampai ke Jepang awal mulanya.”
Ben tertawa, “Kakekku itu tentara yang sudah lama tinggal di pangkalan militer AS di Jepang. Aku ikut ke sini untuk mencoba kehidupan baru. Dan yah, seseorang harus merawat kakekku bukan?”
“Tapi bagaimana kau bisa menemukan kota ini, Silent Hill?”
“Oh, kakekku dulu dirawat di panti jompo dekat kota ini. Aku membawanya ke sini karena dekat. Aku hanya mencari peruntungan di sini. Kota ini sebenarnya tak terlalu buruk dan aku juga sudah memastikan ke ahlinya jika kondisi tempat ini sudah tak berbahaya. Kata mereka usia paruh waktu zat radioaktif itu sudah habis dan terurai menjadi isotop atau apalah istilahnya, itu bukan bidangku. Aku hanya marketing di sini hahaha.”
“Apa kau juga pernah mendengar tentang Alessa?” tanya Mizuki, mulai menyelidiki.
“Alessa? Bukankah itu hanya mitos? Gadis yang mengutuk kota ini bukan?”
“Yah, kurasa kau benar. Alessa hanya kisah fiktif dalam game.” dalam hati Mizuki merasa tolol karena sempat mempercayai bahwa Alessa benar-benar ada. Ia merasa sama bodohnya dengan Ken yang mencari-cari Pyramid Head di kota ini.
“Oya, Ben aku baru teringat ...” ujar Mizuki tiba-tiba, “Siapa yang tinggal di rumah itu sebelum aku? Apa ada seorang gadis bernama Yuri yang tinggal di sana sebelum aku?”
“Seingatku tidak.” jawab Ben, “Rumah itu kosong selama bertahun-tahun sebelum dibeli tantemu. Kenapa memang?”
“Tidak apa-apa.” Mizuki kembali termenung.
“Hei, itu ada suster cantik berbaju merah.” Ben membunyikan klakson dan melambai ke arah suster klinik sekolah itu.
“Huh,” wajah Mizuki berubah kesal, “Kalau aku mengendarai mobil ini pasti sudah kutabrak dia.”
***
“Sudah kubilang kan jangan terlalu dekat dengan gaijin itu?”
Mizuki kaget setengah mati ketika membuka pintu dan menemukan Yuri sudah ada di dalam kamarnya, mencoba alat-alat riasnya.
“Hei, apa yang kau lakukan di sini?” jerit Mizuki.
“Katakan padaku, kalau kau sedang mencoba make up ini dan tak puas melihat hasilnya, apakah kekuatanmu juga langsung membuat cerminmu pecah?”
“Maksudmu cerminku otomatis pecah karena wajahku jelek? Tidak!” Mizuki segera merebut alat-alat rias itu dari tangan gadis itu, “Berhentilah menyentuh barang-barangmu! Kau hantu! Kau sudah tak butuh barang-barang ini!”
“Lho? Siapa bilang aku hantu?” Yuri keheranan.
“Sekarang beristirahatlah dengan tenang!” Mizuki mengeluarkan kertas jimat berwarna kuning dari dalam laci dan langsung menempelkannya ke jidat Yuri. Ia lalu menelungkupkan kedua tangannya dan menyatukan kedua jari telunjuknya sambil menggedor-gedor lantai dengan kaki kanannya dan merapal mantra.
“Emmm ...” Yuri melepas kertas jimat itu dari dahinya, “Ini buat mengusir vampir ... nggak akan berhasil buatku.”
“Hei, Mizu ...” Ken menongolkan kepalanya ke kamar gadis itu dan keheranan melihat tingkah Mizuki, “Kamu lagi ngapain?”
Tiba-tiba ia kaget melihat Yuri duduk di depan meja rias dan menunjuknya, “HEI SIAPA DIA?! Kok enak banget kamu baru tiga hari di sini sudah ada cewek cakep di kamarmu sedangkan aku sudah 6 bulan di sini nggak pernah ada cewek datang ke kamarku?”
“Hah, kau bisa melihatnya?” Mizuki segera mendorong kepala Ken keluar dan menutup pintu. “Jadi kau bukan hantu?” ia segera mengalihkan perhatiannya pada Yuri.
“Ya bukan lah.” Gadis itu bangkit dari kursinya dan melompat seperti kelinci ke atas kasur.
“Berhentilah sok imut dan manja seperti personil AKB48! Itu sama sekali nggak cocok!” seru Mizuki, “Lalu siapa kamu sebenarnya? Dan nggak usah ngeles ... aku sudah tanya Ben dan katanya tak pernah ada yang tinggal di sini sebelum tanteku datang!”
“Kan sudah kubilang jangan terlalu dekat dengan gaijin itu?”
“Dia baik kok sama aku. Tidak misterius dan suka masuk ke kamar orang tanpa permisi sepertimu!”
Yuri tertawa, “Haha ... baiklah akan kuralat perkataanmu. Hati-hatilah pada gaijin tua itu.”
“Richard, kakeknya Ben?” rasa penasaran Mizuki bertambah, “Memangnya ada apa dengannya?”
“Pokoknya jangan bilang kalau aku belum memperingatkanmu.” Yuri bangkit dari ranjang dan menggeser tubuh Mizuki dari depan pintu. Lagi-lagi ia ngeloyor pergi tanpa bisa dihentikan Mizuki.
***
Malam itu Mizuki kembali terbangun. Sepertinya tadi ia bermimpi, namun Mizuki tak mampu mengingat mimpinya. Ia tak ingin turun ke dapur seperti kemarin malam, sebab ia tak mau mengalami lagi kejadian aneh.
Tiba-tiba ia merasakan perasaan aneh. Ia merasakan ia tak sendiri di kamarnya ini.
Ada seseorang bersamanya di sini.
Bahkan ia mendengar dengusan napas yang bukan milknya.
Mizuki perlahan menurunkan selimut yang tadi menutupi wajahnya.
Di tengah kegelapan, cahaya rembulan masuk menyisip melalui jendelanya yang terbuka.
Mizuki sadar ia tadi telah menutup jendelanya, namun bukan itu saja yang membuatnya ketakutan.
Di ujung ranjang ada seseorang tengah berjongkok, membelakanginya. Ia hanya bisa melihat punggungnya.
Sosok itu seperti bayangan hitam. Terang rembulan sama sekali tidak jatuh ke atas tubuhnya. Ia hanya meringkuk di sana, diam, seolah menanti fajar mengusirnya pergi.
Si ... siapa dia? Apa dia yang menerornya selama ini?
Situasi itu berjalan beberapa detik, namun bagi Mizuki yang tengah ketakutan, waktu seolah berjalan berjam-jam. Ia bahkan takut bahwa degup jantungnya yang kencang mampu mengalahkan detak jam dan membuat pria itu tersadar dirinya telah terbangun.
Dan sepertinya benar.
Perlahan, diiringi suara decitan dari rangka ranjang, bayangan hitam itu menoleh.
Pertama Mizuki hanya bisa melihat seringainya.
Lalu keriput di wajahnya.
Terakhir, mata biru yang tengah menatapnya.
Ia bahkan merasa kakek itu senang akhirnya gadis itu menyadari kehadirannya.
Mizuki langsung menelungkupkan kembali selimut ke atas kepalanya dan menghitung ...
Satu ...
Dua ...
Tiga ....
Ia segera membuka selimutnya kembali dan mengarahkan tangannya ke arah bayangan penyusup itu.
Namun tak ada siapapun di sana.
Sementara itu dia melihat tirai jendela berkibar seolah ada yang baru melewatinya, diikuti suara gemerisik dari pohon yang ada di luar jendelanya dan suara kaki melompat ke atas aspal.
Diikuti suara langkah kaki.
Ke arah rumah merah itu.
TO BE CONTINUED
No comments:
Post a Comment