“City of Ashes” adalah cerbung terbaru gue yang terdiri atas 11 episode dan kubagi dalam dua part, berdasarkan pada tokoh utama yang dominan pada tiap part. Cerita ini sama sekali tak ada hubungannya dengan salah satu seri “Mortal’s Instrument” yang kebetulan memiliki judul yang sama. Kisah ini terinspirasi oleh “30 Days of Night” jadi bila ada yang pernah menonton filmnya, maka kalian akan mengetahui garis besar cerita ini. Kisah ini bergenre horror-romance.
Uniknya, nama semua tokoh di cerita ini diambil dari nama sebagian member Line. Perlu gue ingatkan bahwa karakter tiap tokoh berbeda jauh dengan karakter asli pemilik namanya, walaupun ada beberapa yang terinspirasi dengan sosok asli kalian. Dan jika ada kisah cinta di antara dua tokohnya harap diabaikan, sebab juga tidak didasarkan pada kisah nyata pemilik namanya.
Sebagai catatan, cerita ini sudah tamat di Official Account Line MBP (silakan cek cara masuk keanggotaan di blog lama gue Mengaku Backpacker)
Jadi nikmati saja ceritanya dan gue harapkan dengan sangat feedback dari kalian.
***
PART ONE: SHANDI
CHAPTER 1
DESPAIR
Copyright by: Dave Cahyo
Pemuda itu terus berlari, tanpa mempedulikan pasir panas yang seakan membakar kakinya. Sol sepatunya kini hampir meleleh. Ia telah menanggalkan semua barang dan perlengkapan safety-nya agar ia bisa berlari lebih cepat. Kini ia tak memiliki apapun; alat komunikasi, peralatan mendaki, maupun senjata. Ia tahu ia mungkin takkan selamat dari sini.
Penyesalan menggelayut dalam hatinya. Harusnya ia mendengar apa yang dikatakan para ranger itu. Harusnya ia tak naik ke sini bersama teman-temannya. Harusnya mereka tak mendaki.
Teman-temannya ... lagi-lagi ia teringat pada mereka. Apa mereka semua sudah mati? Mungkin. Ia tak melihat mereka. Terakhir ia mendengar jeritan penuh kesakitan mereka menggema di antara tebing-tebing. Ia tak ingat apa-apa lagi semenjak itu. Yang ia ingat, ia berlari menembus goncangan dan asap tebal yang menyeruak dari dalam bumi.
Kawah ini mulai aktif. Gunung ini mulai menggelora, mengamuk dan menelan semua yang ada. Namun bukan itu yang ia khawatirkan.
Melainkan sesuatu yang beringsut di antara bebatuan.
Ya, ia sempat melihatnya, menerkam teman-temannya satu demi satu.
Ia menyaksikan makhluk itu dari balik pepohonan, mencabik sahabat-sahabatnya.
Ia berusaha menutup telinganya sembari berlari. Ia seakan masih bisa mendengar teriakan sekarat dari teman-temannya, menggema menyusuri tebing. Tapi mustahil, mereka sudah mati. Takkan ada yang selamat jika terjerumus ke dalam cengkeraman iblis mengerikan seperti mereka.
“Maafkan aku teman-teman,” bisiknya dalam hati, “Aku tak bisa menolong kalian. Aku ... aku terlalu takut.”
Tiba-tiba ia melihat sekelebat bayangan.
“Dia ada di sini!” hatinya seakan dipenuhi raungan kegelisahan. “Makhluk apa sebenarnya itu?”
Pemuda itu tak mampu menjawab. Apapun monster itu, hanya kejahatan yang mengalir dalam nadinya; murni, tanpa setetespun belas kasihan.
“Hahahahahaha!!!”
Jantung pemuda itu serasa mau melompat keluar ketika ia mendengar suara tawa yang menggaung. Tawa itu terus berulang-ulang, hingga akhirnya pemuda itu menyadari sesuatu yang membuat hatinya bergelinjang karena ngeri.
Makhluk itu tak hanya ada satu.
Mereka ada banyak.
Bayangan-bayangan itu bergerak di sekelilingnya. Satu berkelebat di samping kiri, satu di kanan, bahkan ada yang terbang di atasnya. Dan ia juga tahu benar ada beberapa yang tengah mengikutinya dari belakang.
Langkah pemuda itu terhenti tiba-tiba hingga ia jatuh terjerembap ke tanah tandus di depannya.
Salah satu dari makhluk itu kini berdiri tepat di hadapannya, menghadang langkahnya.
Ia melihat makhluk itu tersenyum, menampakkan giginya yang runcing.
“Tidak ... TIDAAAAAAAK!!!!”
Dan jeritan terakhirnya tenggelam di dalam suara gemuruh letusan gunung berapi itu.
***
“Kakak!” jerit Lana ketika terbangun dari tidurnya.
“Ia terbangun ketika merasakan tubuhnya mulai hangat karena selimut yang direbahkan ke atasnya. Kakaknya sering melakukan itu ketika ia tertidur di depan TV malam-malam.
Lana menyibakkan selimutnya dan melihat seorang pemuda memandangnya karena kaget.
“Oh, maaf Lana ... aku tak bermaksud membuatmu terbangun.” kata Januar, “Hanya aku melihatmu menggigil kedinginan tadi.”
Lana sempat kecewa karena ternyata bukan wajah kakaknya yang ia lihat, namun ia tetap tersenyum.
“Tak apa, Januar. Terima kasih atas selimutnya.”
“Kurasa kau harus pulang dan beristirahat.” Januar menjawab, “Tak ada yang bisa kau lakukan di sini.” Pemuda itu masih mengenakan pakaian dan jaket yang ia pakai kemarin, berarti pemuda itu juga tak pulang, menungguinya di sini.
“Masih belum ada perkembangan?” Lana mengambil remote televisi dan mengeraskan volume suaranya.
“ ... hingga kini belum ada kejelasan mengenai nasib enam pendaki yang hilang di Gunung Merapi. Tim pendaki yang dipimpin Arman Zega ini diketahui hilang kontak semenjak kemarin. Untuk sementara, usaha pencarian terhadap tim pendaki UGM tersebut terpaksa dihentikan karena kondisi Gunung Merapi yang semakin mengkhawatirkan ...”
“Apa?” jerit Lana tak percaya, “Mereka menghentikan pencariannya?”
“Situasi di sana sangat berbahaya, Lana.” kata Januar. “Bahkan mereka sudah mengevakuasi separuh warga Yogya. Kata mereka, Merapi sebentar lagi akan meletus. Kurasa kau juga harus segera pergi dari sini.”
“Ta ... tapi aku tak bisa pergi. Bagaimana jika kakak kembali?”
“Aku sendiri yang akan mencari Arman.”
Lana menoleh dan melihat wajah yang tak asing lagi baginya. Dia adalah Abon, kakak tingkat sekaligus sahabat kakaknya, Arman.
“Bang Abon akan berangkat mencari Kak Arman sendirian?” tanya Januar, “Kalau begitu aku ikut!”
“Aku juga!” Otong, salah satu anggota klub pecinta alam juga mengajukan diri. Dia juga adalah salah satu teman baik Arman. Seperti kebanyakan mahasiswa di sini, ia adalah orang perantauan, berasal dari Denpasar. Nama aslinya adalah Andri Tonggar, namun semua orang di sini biasa memanggilnya Otong.
“Tak usah, Otong. Kamu menjaga sekre saja, siapa tahu ada kabar terbaru dari tim pencari tentang keberadaan Arman dan yang lainnya.” jawab Abon.
“Tapi aku boleh membantu kan? Tak baik jika Bang Abon pergi sendirian.” kata Januar.
“Baiklah, kau boleh ikut. Biar aku persiapkan mobil dan alat-alat dulu.”
“Lana,” Januar mengalihkan perhatiannya ke gadis itu, “Tenanglah. Aku berjanji akan membawa pulang kakakmu dengan selamat.”
Lana tersenyum. Dalam situasi seperti ini, ia merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Januar. Mereka berdua dekat semenjak awal masuk SMP dan tak terasa kini mereka sudah berteman baik selama 6 tahun. Lana menganggap Januar sebagai kakak kedua baginya, setelah kakak kandungnya, Arman.
Januar beranjak mengikuti Abon. Kemudian Lana mendengar suara seorang gadis di ambang pintu.
“Arman masih belum ditemukan ya?”
Lana menoleh dan terkejut melihat mantan pacar kakaknya mencarinya hingga ke sini, ke ruang sekre tim pecinta alam universitasnya.
“Kak Tieya, kau di sini?” Lana segera memeluk gadis itu.
Kakaknya sudah berpacaran dengan Tieya Aulia, gadis yang merantau dari Bandung itu, selama setahun. Mereka bertemu karena kakaknya adalah seorang blogger terkenal yang memiliki banyak penggemar. Zeganisme, itu nama blog yang selalu Arman banggakan. Isinya tentang pengalamannya mendaki gunung dan berbagai tema lain.
Namun semenjak sebulan lalu, mereka tiba-tiba saja putus. Lana tak pernah tahu alasannya, baik Arman maupun Tieya tak pernah mau membicarakannya. Namun dengan kehadiran gadis itu di sini, Lana tahu bahwa masih tersisa perhatian untuk kakaknya di hatinya.
“Kudengar mereka akan menghentikan pencarian. Apa benar?” tanya Tieya.
Dengan enggan Lana mengangguk, “Kudengar kota sudah dievakuasi. Kenapa Kak Tieya tidak ikut mengungsi?”
Tieya menggeleng, “Aku tak punya siapa-siapa di kota ini. Hanya Arman dan dia kini ...” air matanya hampir menitik.
“Eh, Tieya ...” Otong tiba-tiba muncul dengan gugup, “Kau ada di sini? Kubuatkan kopi ya ...”
“Lana, Otong ... apa Bang Abon sudah berangkat?” seutas suara lain terdengar. Lana menoleh dan jantungnya terasa berdegup kencang ketika melihat pemilik suara itu.
“Otong, aku ikut denganmu ke dapur.” ujar Tieya dingin ketika melihat wajah pemuda itu. Iapun berbalik bersama Otong ke arah dapur, meninggalkan Lana berduaan saja dengan pemuda itu di ruang sekre.
“Pak Dokter, kau ada di sini juga? Sejak kapan?” kali ini gantian Lana yang merasa gugup.
Pemuda berkaca mata dengan wajah simpatik itu tersenyum, lalu beranjak maju sambil merengkuh kepala gadis itu.
“Kau sudah mengenalku sejak lama. Tak perlu ikut-ikutan memanggilku Pak Dokter. Panggil saja Shandi seperti biasa.”
Aldi Arshandi, itulah nama lengkapnya. Shandi sudah berteman baik dengan Arman semenjak lama. Shandi baru saja lulus dari jurusan kedokteran (sementara Arman butuh waktu lebih lama karena waktunya tersita dengan kegiatan pecinta alamnya). Dan Lana menyimpan satu rahasia yang tak pernah ia beberkan kepada siapapun ...
Bahwa ia sudah naksir pemuda itu semenjak dulu.
Namun Lana selalu merasa, bahwa Shandi tak pernah memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Tentu saja, baginya Lana adalah adik sahabatnya yang mungkin sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.
“Lana, aku berangkat ya ...” Januar tiba-tiba masuk dan melihat [apa yang dianggapnya sebagai] kemesraan antara Shandi dan Lana. Ia langsung memasang wajah tak suka pada pemuda itu.
Shandi segera menarik tangannya dari rambut Lana ketika gadis itu menoleh ke arah Januar.
“Oh, Januar ... berhati-hatilah ya ...”
Januar hanya menoleh sambil berkata, “Goodbye, Lana,” dan beranjak pergi.
Lana hanya bengong melihat sikap kesal pemuda itu. Pada saat itu ia belum tahu, bahwa itu akan menjadi momen terakhir mereka sebagai sahabat. Semenjak saat itu, segalanya akan menjadi sangat jauh berbeda bagi mereka berdua.
***
Abon terus mengendarai mobilnya membelah lalu lintas yang amat padat. Semua orang sepertinya ingin pergi dari Yogya. Tak ada yang bisa menyalahkan mereka. Beberapa ahli vulkanologi sudah berkoar-koar di televisi jika letusan Merapi kali ini bakalan jadi yang terdahsyat semenjak beberapa dekade terakhir ini.
Abon sendiri sudah terbiasa dengan erupsi Merapi sejak ia pindah dari Jakarta untuk kuliah empat tahun yang lalu. Namun ia belum pernah melihat gelombang kepanikan sebesar ini. Jalanan dipadati mobil dan sepeda motor hingga mereka sama sekali tak mampu bergerak. Suara klakson memekakkan telinga mereka, hingga Abon harus mengeraskan suaranya ketika berbicara dengan Januar.
“Hei, kenapa dari tadi kau cemberut seperti itu?” teriak Abon.
Januar yang sejak tadi memandang keluar menolah, “Hah?”
“Kau kelihatan kesal sejak kita berangkat tadi.”
“Oh, kemacetan ini ... semua ini hanya akan memperlambat kita untuk menemukan Kak Arman.” Namun dalam hati, Januar tahu ia sedang berbohong. Tak ada yang lebih membuatnya cemburu ketimbang melihat kedekatan Lana dengan dokter muda itu.
“Aku sebenarnya tak ingin mengatakan ini ... tapi sepertinya rencana kita akan sia-sia.”
“Apa maksudnya?”
“Kau tahu kan sangat kecil kemungkinan menemukan Arman dan yang lainnya dalam kondisi Merapi seperti itu? Muntahan laharnya katanya sudah mencapai kaki gunung. Bahkan, bisa dikatakan mustahil menemukan mereka dalam keadaan hidup.”
“Apa yang Abang katakan? Jadi kita di sini tidak untuk menolong Kak Arman?”
“Lihat saja jalanan ini. Mustahil kita bisa mencapai Merapi. Itu hanya akan membahayakan nyawa kita. Aku berubah pikiran. Sebaiknya kita pergi saja menuju tempat pengungsian.”
“Namun bagaimana dengan Lana? Aku sudah berjanji kepadanya!”
“Kau seharusnya tidak membuat janji yang tak bisa kau tepati, Jan!” Abon mulai kesal karena Januar terus membantahnya.
“Tidak! Kalaupun kita akan pergi dari sini, aku harus mengajak Lana! Aku tak mau membiarkannya sendirian di sana dalam bahaya!” Januar segera keluar dan membanting pintu. Melawan arus, ia terus bergerak membelah kerumunan untuk kembali ke pusat kota Yogya.
“Januar, tunggu!!! Huh, dasar anak kepala!” umpat Abon dalam hati.
Ia menekan klaksonnya berkali-kali, “Woi, minggir kalian semua! Minggir!!!”
Namun yang membalasnya justru teriakan dari orang-orang di depannya. Abon harus melongokkan kepalanya keluar jendela untuk melihat apa yang terjadi.
Hatinya terasa tersentak ketika melihat gunung Merapi sudah mengeluarkan awan tebal. Awan itu bergulung-gulung hingga menutupi langit, menyebar hingga ke horizon. Nyali Abon langsung ciut begitu menyaksikannya.
Perlahan namun pasti, kegelapan mulai menjalar. Langit tertutup debu tebal yang menyelimuti kemanapun mata Abon memandang. Matahari yang tadi bersinar kini lenyap ditelan angkasa yang kini menghitam.
Abon dan semua orang di situ mulai kesulitan melihat ke sekitar mereka. Hanya terang dari lampu-lampu mobil dan motor yang bisa membuat mata mereka bekerja. Debu kecoklatan menutupi semua yang ada di sekitar mereka. Abon bahkan kesulitan melihat apa yang ada di depan mobilnya.
“Astaga!” Abon dengan panik segera menekan ponselnya, berharap untuk mencari bantuan. Namun percuma, ia tak menemukan sedikitpun sinyal di teleponnya.
“Apa aku harus keluar dari mobil?” Abon berpikir, namun ia segera sadar itu percuma. Ia takkan bertahan di kegelapan pekat di luar sana. Jarak pandangnya juga sangat terbatas.
“Astaga,” keluhnya lagi, “ini masih pagi namun suasananya seperti tengah malam.”
Jeritan yang semakin keras menggema membuat Abon mendongak dari layar ponselnya. Jika tadi yang ia dengar adalah teriakan karena terkejut, maka kali ini berbeda.
Ini adalah jeritan ketakutan.
Jeritan itu makin terdengar keras dari arah depannya. Tak hanya satu atau dua, tapi banyak jeritan bersahut-sahutan, baik suara pria maupun wanita, bahkan tangisan anak kecil.
Tiba-tiba ia melihat seorang pemuda menghantam bagian depan mobilnya dan segera bangkit, memanjat ke atas mobil Abon.
“Hei!” teriak Abon. Namun langkah pria itu terus terdengar, “BRAK BRAK!” menginjak bagian atas mobilnya dan turun kembali lewat bagian belakang mobilnya. Banyak orang lain juga berlarian dari arah yang sama.
“Apa yang membuat mereka ketakutan seperti itu?” pikir Abon ketika melihat mereka sama paniknya dengan pria tadi. Ekspresi ketakutan tampak jelas terlihat di wajah mereka, seakan-akan mereka telah melihat sesuatu yang teramat mengerikan.
Tiba-tiba sesuatu tampak melompat ke kap mobilnya hingga tempat duduk Abon berguncang.
Dengan keringat dingin Abon menatap sesuatu yang tengah merangkak di depan mobilnya.
Manusia? Tidak ...
Manusia tidak menyeringai seperti itu.
Tiba-tiba tangan makhluk itu terulur hingga memecahkan kaca depan mobilnya dan mencekik leher Abon.
Pemuda itu ingin berteriak, namun ia tak mampu.
TO BE CONTINUED
hmm.. kira2 apa yah makhluk itu??
ReplyDeletelanjutkan bang.. biar gak penasaran..
ya ampun saya sampai deg-degan bacanya.. penasaran itu apaan.. oh iya dan tadi ada "ujar Tieya dingin ketika melihat wajah pemuda itu. Iapun berbalik bersama Robert ke arah dapur"... Robert siapa? apa saya yang misread? hehe maap yak kalau salah. monggo silahkan dilanjut~
ReplyDeleteEnggak ada kata2 robert tuh..atw udah di edit??..akhirnya muncul juga dave...
ReplyDeleteSeru bang dave, ditunggu lanjutannya
ReplyDeleteLanjuuut XD
ReplyDeleteKetika membaca nama Otong,kok jdi igt ama "Otong & Pakpol"?
ReplyDeleteDave, ane pengen baca lagi, tp kok ga bisa dibuat mode seluler, modenya web mulu, apa ada yg salah sama settingnya hhhhmmmmm
ReplyDelete#mikir keras
Regards
wah ga paham. tapi kalo mau baca bisa di wattpad gw : dave.cahyo
Delete