PART ONE: SHANDI
CHAPTER 6
MYTHICAL PROPHECY
Copyright by: Dave Cahyo
Shandi segera menggunakan kesempatan itu untuk menusuk Andrea, tepat di jantungnya.
“AAAAARGH!!!” vampir wanita itu kembali menjerit. Perlahan, tubuhnya terbakar dan berubah menjadi tumpukan abu, diiringi teriakan kesakitan yang menyayat hati.
“Dia ... dia mati?” tanya Lana tak percaya, “Tapi kata Pastur Wilson, vampir tak bisa dibunuh dengan cara itu?”
“Kurasa bukan panahku, Lana.” Shandi menatap gadis itu, “Melainkan kau.”
“Apa? Aku?” tanya Lana kebingungan. Semua ini memang terjadi semenjak Andrea berusaha menghisap darahnya.
Shandi memungut panahnya dari tumpukan abu itu, “Bagaimana tadi dia memanggilmu sebelum ajal menjemputnya, Darah Suci?”
“A ... aku tak tahu apa maksudnya itu?”
“Pastur Wilson pernah mengatakannya kepadaku saat dia menyerahkan panah ini kepadaku ...”
***
“Ini adalah panah yang dibuat dari tumbuhan vervain yang hidup di Eropa. Kau bisa menggunakannya untuk melukai vampir, namun tetap saja tidak efektif untuk membunuhnya.”
Shandi mengangguk, “Namun Pastur, tadi Anda mengatakan masih ada satu cara. Apakah itu?”
Pastur itu menghela napas, “Ini hanyalah legenda yang kudengar saat aku kecil. Aku tak tahu sejauh apa kebenarannya, namun ada satu hal yang paling ditakuti para vampir; yakni Darah Suci.”
“Darah Suci?” Shandi terkesiap.
“Itu sebutan bagi seseorang yang terus menjaga kesucian hatinya, sehingga darahnya-pun bisa membunuh kaum vampir.”
“Siapa Darah Suci itu?”
“Darah Suci terus bereinkarnasi ke dalam manusia yang berbeda-beda di tiap zaman. Para vampir berusaha mencarinya karena keberadaannya sangatlah membahayakannya bagi mereka. Jika kau menemukannya, kau harus melindunginya dengan segenap kekuatanmu, sebab mungkin hanya dia yang bisa mengakhiri semua kekacauan ini. Namun ... ”
Shandi berpikir sejenak, “Namun apa Pastur?”
Pastur itu kembali menghela napas, “Tugas itu tidaklah mudah. Tak hanya vampir wanita di luar yang kutakutkan. Ia masih versi gurem bila dibandingkan dengan tuannya.”
“Tuannya?”
“Orang-orang di desaku dulu menyebutnya Pangeran Kegelapan. Namun ia memiliki banyak nama. Salah satu nama yang mungkin pernah kau dengar adalah Count Dracula.”
“Dracula?” Shandi menaikkan alisnya, “Dia benar-benar ada?”
“Jika ia ada di sini, itu bisa berarti bencana. Pangeran Kegelapan takkan berhenti sebelum menemukan Darah Suci dan membunuhnya. Manusia biasa jelas tak mungkin bisa mengalahkannya. Dan yang lebih kukhawatirkan adalah ...”
Pastur itu tampak enggan melanjutkan penjelasannya.
“Ada apa Pastur? Katakan saja!”
“Pangeran Kegelapan memiliki kemampuan mengubah wujud, bahkan bisa berjalan di bawah sinar matahari. Ia biasa menyamar menjadi manusia normal. Bahkan mungkin ....”
Pastur itu menatap wajah Shandi dengan ketakutan.
“Ia mungkin saja salah satu dari kalian.”
***
“Darah Suci? Pangeran Kegelapan?” kepala Lana nyaris pecah, “Mustahil semua hal ini ada kaitannya denganku. Aku ... aku hanya gadis Yogya biasa ...”
Shandi menoleh ke belakang dan segera mengacungkan anak panahnya. Yang ia takutkan rupanya benar. Suara teriakan kematian Andrea rupanya telah memancing para vampir buatannya. Kini mereka mengepungnya. Bahkan ia tak yakin apakah panahnya cukup untuk membasmi mereka semua.
“Lana, cepat bangunkan yang lain. Kita harus segera pergi dari sini!”
“Ta ... tapi Kak!” Lana berdiri dengan ketakutan.
Vampir-vampir itu telah mengelilingi mereka.
Tak ada lagi jalan keluar.
***
“Kalian telah melakukan misi kalian dengan baik.”
Foo mendengar suara langkah kaki mendekat. Namun ia tak perlu membuka matanya untuk mengetahui tuannya telah datang.
“Yang Mulia Pangeran. Andrea telah mati ...”
“Dan ia telah merampungkan tugasnya menemukan Darah Suci. Pengorbanannya takkan sia-sia.”
Foo kecewa karena Pangeran Kegelapan sama sekali tak bersimpati atas kematian salah satu anak buahnya.
“Apa yang akan Anda lakukan setelah identitas sang Darah Suci terkuak?”
“Terkuak?” Pangeran Kegelapan tertawa, “Aku sudah tahu bahwa Lana adalah Darah Suci semenjak dulu.”
“Apa Tuan?” Foo tak percaya. Lalu apa tujuannya mengutus mereka jika sejak awal dia sudah tahu siapa darah suci sebenarnya?
“Aku hanya tak yakin bahwa ia adalah benar-benar orangnya. Namun kematian Andrea membuktikannya. Hanya darah suci yang bisa memusnahkan vampir semudah itu.”
“Tuan ... Anda masih ingat kan permintaan saya? Jika darah suci telah ditemukan maka ...”
“Ya ... ya ... aku tahu. Kau ingin mundur bukan dari tampuk kekuasaanmu? Baiklah, Foo. Aku akan menyanggupinya. Kau telah menjadi perantaraku untuk waktu yang lama.”
“Siapa yang akan Tuan tunjuk sebagai pengganti saya?” Foo berharap Nino, pelayannya paling setia, yang akan menjadi penggantinya.
Kesalahan Foo ketika Pangeran Kegelapan menawarinya hidup sebagai vampir adalah kenaifannya. Saat itu ia sudah menjadi pria tua yang renta dan ia berpikir, bahwa darah vampir akan membuatnya awet muda kembali. Namun kenyataannya tidak. Ia meneruskan keabadiannya sebagai pria tua. Ia tak bisa berburu, seperti vampir muda lainnya. Karena itu ia sangat bergantung pada Nino, yang akan berburu untuknya, kemudian menyumbangkan darahnya kepada Foo, yang kini bahkan tak bisa bangkit dari kursi rodanya.
“Lilith akan menjadi penggantiku.”
“Lilith?” Foo terkejut. Lilith adalah panggilan mesra Pangeran Kegelapan kepada vampir kesayangannya, Juliana Beaugerard.
“Tapi Lilith telah membunuh Callula, seakan dia bukan apa-apa, hanya demi seorang lelaki.” protes Foo.
“Justru itu.” Pangeran Kegelapan kembali tertawa, “Sifat itulah yang kusuka padanya. “Kejam dan tak bisa ditebak. Ia akan membawa kejayaan bagi kaum vampir.”
“Baiklah jika itu memang sudah menjadi titah Pangeran.” Foo tak punya jalan lain selain menurutinya.
Dari kejauhan, Nocha sedang mencuri dengar percakapan antara Pangeran Kegelapan dengan Foo.
“Juliana menjadi pemimpin? Cih, itu takkan terjadi! Akulah yang pantas menjadi pemimpin di sini!”
Nocha tersenyum, “Dan aku akan menyingkirkan wanita itu terlebih dulu.”
***
Vampir-vampir itu terus mendekat.
Lana dan Shandi terpojok. Kini hanya ada mobil van di belakang mereka. Dari dalam mobil, terdengar suara teman-temannya mulai terbangun.
“Kak Lana?” terdengar suara Fino merangkak keluar.
“Fino, jangan keluar!” teriak Lana.
Namun terlambat, satu vampir segera menyambar tubuh anak itu dan bersiap menggigit lehernya.
“TIDAAAAAK!!!”
“DOR DOR!!!” tiba-tiba terdengar bunyi tembakan membahana. Vampir itu langsung melepaskan tubuh Fino karena terkejut. Lana menoleh dan melihat seorang polisi wanita yang cantik muncul entah dari mana, menembaki vampir-vampir itu tanpa ampun.
Mencium bau ketakutan, para vampir itu segera bergerak mundur. Namun salah satu vampir berusaha menyerang Lana yang tengah lengah.
Sebelum Shandi sempat menembakkan anak panahnya, seorang sosok lain muncul melemparkan bumerang ke arah vampir itu. Bumerang itu hanya menyerempet tubuh vampir itu dan segera kembali ke pelemparnya, yang dengan cekatan menangkapnya. Namun gesekan bumerang itu cukup membuat vampir itu berteriak kesakitan dan roboh. Lukanya tampak meleleh bak tersiram asam.
“Vervain,” pikir Lana. Hanya vervain yang bisa menyebabkan luka seperti itu. Tapi bagaimana ia tahu tentang efek vervain?
Setelah semua vampir itu pergi, polisi wanita itu menyarungkan senjatanya dan memperkenalkan diri, bersama pemuda berambut gondrong yang tadi melemparkan bumerangnya.
“Namaku Renita dan dia Harry Ryuuza. Apa kalian baik-baik saja? Aku tak menduga masih ada yang selamat di bagian kota ini.”
Lana menerima uluran tangan Renita dan bangkit berdiri.
“Terima kasih atas bantuanmu. Kami baik-baik saja, namun aku tak tahu bagaimana dengan keadaan teman-temanku.”
Lana menoleh dan merasa lega begitu melihat Tieya, Otong, dan Dynda keluar dari mobil dengan selamat dan hanya menderita luka kecil.
Shandi segera menyarungkan panahnya kembali lalu memungut selongsong peluru yang tumpah saat polisi wanita itu menembaki mereka.
“Bagaimana peluru ini bisa melukai para vampir?”
“Peluru itu telah direndam ke dalam vervain. Cukup efektif untuk mengusir mereka.” Pemuda dengan rambut dikuncir bernama Harry itu menjelaskan.
“Darimana kalian tahu kelemahan para vampir? Kalian pasti bukan orang biasa.”
“Silakan ikut kami ke tempat aman. Sesampainya di sana akan kujawab semua pertanyaan kalian.”
***
Lana merasa ngeri melihat Malioboro yang benar-benar sepi dan luluh lantak. Kegelapan dan kesunyian menyelimuti bagian kota yang sebelumnya senantiasa ramai itu. Toko-toko telah hancur, gerobak delman dibiarkan terbengkalai, mobil-mobil hancur, bekas nyala api dimana-mana ... kota ini serasa kota mati. Tak terlihat sedikitpun kehidupan di sana kecuali mereka berdelapan.
Renita dan Harry memimpin mereka menuju ke arah alun-alun. Lana kemudian menyadari mengapa mereka bisa berjalan dengan aman di sini: bau vervain yang sangat menyengat.
Mereka menanam vervain dimana-mana, pikir Lana. Bagaimana mereka tahu?
Renita dan Harry membimbing mereka memasuki dinding kraton yang dijaga puluhan polisi dan abdi dalem. Lana terkejut melihat ratusan orang ternyata berlindung di sini. Seorang pria kemudian menyambut kehadiran mereka.
“Selamat datang, aku benar-benar tak menyangka masih ada yang selamat. Perkenalkan, namaku Alghiffari, pemimpin kraton untuk saat ini.”
Shandi mengulurkan tangannya untuk bersalaman, “Terima kasih telah menolong kami. Namun bisakah kau jelaskan, bagaimana kau bisa tahu tentang vervain dan cara mengalahkan para vampir ini?”
Pemuda itu menaikkan alisnya dengan terkejut, “Kalian tahu juga tentang vervain?”
“Seorang pastur dari Eropa memberitahu kami. Namun, bagaimana orang Kraton Jawa juga bisa mengetahuinya?” rasa penasaran Lana makin membuncah.
“Marilah masuk, akan kujelaskan.”
“Apa kalian punya persediaan obat-obatan di sini?” tanya Shandi ketika mereka memasuki kraton. “Kami membawa seorang anak yang sakit asma.”
“Ia akan dirawat oleh tabib kami, Aqiilah Salma. Silakan, aku akan membawa kalian ke sana.”
Alghiffari mengantar mereka ke sebuah ruangan dimana tampak seorang gadis tengan memeriksanya seorang pasien yang tergeletak dengan leher berdarah, walaupun kini telah diperban. Keluarganya dengan gelisah mengelilinginya. Sebuah dupa menyala di depannya dan asapnya memenuhi ruangan. Di depannya terdapat berbagai sesajen seperti buah jeruk, dan bawang putih. Ia kemudian membuka matanya dan memeriksa tubuh pasiennya, lalu memberikan pesan padanya.
“Mintalah jamu yang berisi campuran pare, telur putih, rosemary, dan kunyit. Jamu ini harus dibuat di dalam kendi tanah liat ...”
“Aku tak bisa membiarkan Fino diperiksa oleh dukun ini!” tunjuk Shandi dengan marah. “Cara yang ia pakai sungguh tidak ilmiah.”
“Benarkah?” Salma menoleh, “Pare atau Momordica charantia memiliki Ribosome Inactivating Protein yang mampu menghalangi sintesis protein sehingga menghambat efek bisa vampir. Rosemary yang kugunakan sebagai jamu dan dupa mengandung sejenis ester yang bersifat anti-kolinesterase yang dapat menjaga ingatan dan kewarasan agar tak mengalami dementia seperti vampir. Sayangnya jika diminum, ester tersebut tak mampu larut dalam air, sehingga harus dilarutkan ke dalam larutan organik seperti albumin telur. Apa aku juga harus menjelaskan efek demethoxycurcumin pada kunyit, allicine pada bawang putih, serta sesquiterpene dan aldehid alifatik dari kulit jeruk?”
Shandi terdiam. Semua yang dikatakannya ilmiah.
“Salma dulu seorang dokter. Namun ia hanya mau menggunakan obat-obatan herbal alami, karena itu dia dikucilkan di dunia medis.” Alghiffari menjelaskan, “Sejauh ini usahanya untuk menyembuhkan kembali orang-orang yang terinfeksi vampir cukup berhasil, namun hanya terbatas bagi vampir yang baru saja tergigit dan belum meminum darah manusia.”
Di balik pilar kraton, seorang gadis berkerudung putih tampak mengawasi mereka.
“Darah suci.” bisiknya.
***
Alghiffari lalu membawa mereka masuk ke sebuah ruangan yang mirip dengan museum. Di sana ia menunjukkan sebuah kotak musik dari kristal yang dipajang di dalam kotak kaca. Sulit membayangkan hiasan yang begitu kental dengan nuansa Eropa berada di jantung kraton ini, dikelilingi keris-keris dan benda-benda gaib lainnya dari Tanah Jawa.
“Benda apa ini? Indah sekali?” Lana memperhatikan ada figur gadis cantik di atas kotak musik itu. Seorang gadis berambut hitam panjang dengan gaun putih.
“Ini adalah pemberian Kaisar Napoleon kepada Raja Jawa, lebih dari 200 tahun lalu.”
“Apa?” semuanya tersentak, terkecuali Shandi.
“Ya, Nusantara memang pernah dijajah Prancis pada masa kekuasaan Daendels pada awal 1800-an.”
“Tepat sekali. Pada masa itu, Napoleon menganggap Jawa sebagai daerah jajahan yang penting, sebab menjadi gerbang untuk menguasai Cina dan mewujudkan ambisinya sebagai penguasa dunia. Karena itu Napoleon mengirim hadiah ini untuk menarik hati para raja Jawa agar berpihak kepadanya.”
“Lalu apa hubungannya dengan para vampir?” tanya Dynda mengikuti naluri wartawannya.
“Napoleon mengirimkan peringatan, bersama kotak musik ini, tentang iblis-iblis yang berjalan di atas bumi, yakni makhluk-makhluk yang barusan kalian hadapi. Ia juga memberitahu cara untuk melawan mereka, berserta biji-biji vervain yang kami tanam sebagai perlindungan.” Alghiffari lalu menunjuk kotak musik itu, “Tak hanya itu, ia juga memperingatkan kami tentang Lilith.”
“Lilith?” Lana menatap figur gadis cantik yang ada di kotak musik itu.
“Lilith, sang ratu iblis. Ialah yang harus kalian takuti. Napoleon banyak mendengar tentang dirinya yang menebar teror di Eropa. Ia mengatakan, Lilith berasal dari Indonesia, dan suatu saat ia akan kembali.”
“Tapi itu tak menjelaskan mengapa kalian sempat menanam vervain dan mempersiapkan diri secepat itu.” kata Dynda.
“Itu hal lain lagi. Kekasihku, Safira, ia dibekali kemampuan untuk melihat masa depan, walaupun visinya tak selalu jelas. Ia sudah meramalkan kedatangan para makhluk ini akan menyertai amukan Merapi. Namun sebaik apapun kami mempersiapkan diri, tak ada di antara kami yang menduga bahwa kejadiannya bakal secepat ini.”
“Jadi kedatangan mereka dan letusan Merapi bukan kebetulan.” Dynda menjentikkan jarinya, “Seharusnya aku tahu!”
“Apa maksudmu, Dyn?” tanya Shandi.
“Aku sudah sering membaca fakta-fakta sejarah seperti ini, namun baru kali ini aku bisa mengaitkannya. Ratusan orang menghilang secara misterius di kota Nome, Alaska, tiap musim dingin berlangsung, dimana matahari tidak akan terbit selama 3 bulan. Pada 1587, pada saat gerhana matahari, sebanyak 116 orang di koloni Pulau Roanoke, Amerika Serikat, menghilang tanpa jejak. Pada 525 SM, sekitar 50.000 prajurit Persia menghilang tanpa jejak setelah mereka terjebak dalam badai pasir yang menutupi langit dan menghalangi sinar matahari. Jauh sebelum itu, kebudayaan Amerika yang jauh melampaui Maya, Aztec, dan Inca; bernama Olmec, tiba-tiba lenyap pada 400 SM, karena erupsi gunung berapi, sama seperti ini. Semua kasus ini mirip: kasus menghilangnya manusia secara massal saat matahari tak bersinar!”
“Astaga!” Tieya gentar menyadari kenyataan menakutkan itu, “Maksudmu hal semacam ini sudah terjadi sepanjang sejarah?”
“Para vampir ini ... “ucap Otong dengan geram, “Sudah berapa banyak nyawa manusia yang mereka lenyapkan?”
“Gawat! Ini gawat!” tiba-tiba mereka mendengar Salma menyergah masuk.
“Ada apa Sal?” tanya Alghiffari.
“Kondisi anak itu terus memburuk,” jawab tabib itu, “Kurasa ia terlalu banyak menghirup debu vulkanik itu. Celakanya lagi aku kehabisan ramuan Ginkgo biloba yang bisa kugunakan merawat asma. Anak itu harus segera dirawat menggunakan oksigen murni. Itu hanya bisa kita dapatkan di rumah sakit!”
“PEMBAWA BENCANA! KAU ADALAH PEMBAWA BENCANA!”
Terdengar seruan seorang gadis. Semua menoleh dan melihat gadis berkerudung putih menunjuk ke arah Lana.
Lana menoleh ke arah Shandi yang berada di belakangnya, tak paham apa yang dikatakan gadis itu.
“Safira! Apa yang kau katakan?” tanya Alghiffari.
“Safira?” pikir Lana, “Jadi ini sang gadis peramal itu? Mengapa ia menyebutku sebagai pembawa bencana?”
“Kau akan mengkhianati kami!” tunjuk Safira dengan geram, “Kau akan membawa kematian bagi kami. Pergi! PERGI!!!”
“Safira!” Alghiffari berusaha menghardiknya, “Jangan bicara seperti itu! Mereka adalah tamu kita.”
“PERGI!!!” namun jeritan Safira makin menjadi-jadi hingga Alghiffari harus membawanya pergi.
***
“Apa benar kalian akan pergi?” tanya Tieya dengan cemas.
Lana mengangguk, “Peramal itu benar. Keberadaanku di sini hanya akan menyusahkan kalian. Para vampir itu pasti mengejarku dan kalian semua mungkin akan jadi korbannya jika aku tetap di sini.”
“Ta ... tapi ...” Tieya masih merasa keberatan dengan kepergian Lana.
“Lagipula harus ada yang membawa Fino ke rumah sakit.” Jawab Lana, “Jangan khawatir, Kak. Kalian akan aman di sini.”
“Benar.” kata Shandi. “Aku akan menjaganya. Aku berjanji.”
“Maaf aku tak bisa membantu kalian.” Alghiffari muncul di belakang mereka. “Aku tak bisa meminta Renita ataupun Harry untuk menjaga kalian sebab kamipun membutuhkan mereka di sini. Hanya ini yang bisa aku berikan pada kalian.”
Ia menyuruh seseorang menuntun seekor kuda putih di depan pintu kraton. Lana terkesima melihatnya.
“Naiklah kuda tunggangan ini. Kalian akan lebih cepat sampai ke rumah sakit.”
***
Hati Lana berdebar-debar ketika ia menunggang kuda bersama Shandi. Pertama ia merasa takut, namun kini ia yakin pemuda di depannya ini akan menjaganya. Ia kini merasa Shandi adalah pangeran berkuda putihnya.
Namun tetap saja hatinya merasa galau. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana dengan nasib kakaknya? Bagaimana dengan nasib Januar? Ia belum mendapatkan kabar sedikitpun darinya sejak ia berangkat mencari kakaknya.
Apa ia akan bertemu kembali dengannya?
Sementara itu di kejauhan, sesosok pria berjubah hitam tampak mengawasi mereka.
“Bersiap-siaplah!”
Nocha, Nino, dan Bram muncul dari belakangnya.
“Mereka telah lepas dari perlindungan mistis kraton. Kini akan jauh lebih mudah untuk menangkap mereka.”
END OF PART ONE
TO BE CONTINUED TO PART TWO
bang kalo boleh kritik dikiiit aja...cerita ini kan settingnya di Jogja, nyangkut ke Kraton juga lagi,. tapi nama tokoh2 utamanya nya kurang "njawani" bang...Lana, Shandi, masih agak terlalu bule...jadi suasana Jogjanya kurang greget...*peace*
ReplyDeleteKan dari awal dah gue bilang kalo NAMA TOKOH2NYA MENGAMBIL NAMA PARA MEMBER GRUP LINE MBP
DeleteLagian gue 100% Jawa tapi nama gue David. Don't judge people from their name