PART 2: JANUAR
CHAPTER 3
BETRAYAL
Copyright by: Dave Cahyo
“Ada apa kau memanggilku ke sini, Nocha?” tanya Juliana ketika ia tiba di dalam ruangan yang sangat gelap. Insting vampirnya membuatnya waspada.
Tiba-tiba ia mendengar rintihan seorang gadis.
Dan ia juga mencium bau darah.
Gigi taring mulai muncul tanpa mampu Juliana kendalikan. Dan tanpa sadar, Juliana sudah menerkam gadis itu dan meminum darahnya.
“AAAAARGH!!!” teriak Juliana kesakitan. Tenggorokannya bagai terbakar. Rasanya begitu perih tak tertahankan.
Juliana langsung menggeliat di lantai. Suara tawa seorang pria membahana.
“Hahaha ... aku tak menyangka kau akan terjebak semudah itu, Lilith!”
“Nocha! Sudah kuduga ini semua pasti akal bulusmu!” jerit Juliana dengan murka.
Nocha muncul dari balik kegelapan sambil membawa jarum dan infus berwarna bening.
“Darah gadis itu sudah kucampur dengan vervain. Namun jangan khawatir.” Nocha menyuntikkan jarum infus ke dalam nadi Juliana.
“Aaaargh! Apa yang kau lakukan?”
Juliana hendak melawan, namun tubuhnya kini lemah karena sengatan vervain dalam darahnya.
“Jika kau ingin vervain murni, akan kuberikan!”
Nocha segera mengalirkan vervain itu ke dalam tubuh Juliana. Jeritan gadis itu makin kencang.
“Kenapa? Kenapa kau lakukan ini?”
“Akulah yang lebih pantas jadi pemimpin, bukan kau!” seru Nocha.
Tiba-tiba sesosok bayangan menerjang tubuh Nocha. Jarum infus itu ikut tercabut, menumpahkan isinya.
Juliana tak percaya siapa yang menolongnya.
Januar.
Mereka berdua bergelut. Nocha semula unggul dan melemparkan tubuh januar. Namun pemuda itu lalu mengambil kantung infus berisi vervain dan menyemprotkannya ke wajahnya.
“AAAAARGH!!!” kini giliran pemuda itu yang menjerit kesakitan. Dengan segera ia terbang melarikan diri.
Juliana akhirnya berhasil meredakan efek vervain itu dalam tubuhnya dan bangkit berdiri. Ia sempat berharap bahwa Januar menyelamatkannya karena ia peduli kepadanya, namun pemuda itu hanya menjawab.
“Sekarang kita impas. Kau pernah menyelamatkanku dan kini aku sudah menyelamatkanku. Jangan pernah cari aku lagi.”
Pemuda itu hendak meninggalkannya, namun Juliana lalu berseru.
“Mau kemana kau pergi? Apa kau masih mengharapkan cinta Lana?”
Januar langsung menghentikan langkahnya dan menoleh.
“Darimana kau tahu tentang Lana?”
“Saat aku mengubahmu menjadi vampir, aku bisa membaca sebagian ingatanmu. Kenangan manis yang selalu kau kenang, aku melihatnya seakan aku mengalaminya sendiri. Dan kau selalu menyimpan memori tentang Lana, gadis yang kau cintai sepenuh hati, namun tak pernah membalas perasaanmu.”
Januar hanya terdiam.
“Aku benar kan? Dia sudah mencintai orang lain. Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Mencarinya?”
“Kau takkan pernah mengerti, Juliana. Hatimu telah lama mati.” balas Januar, kali ini dengan nada penuh simpati. “Kau tak tahu, namun saat kau mengubahku menjadi vampir, sekilas kenanganmu juga terbaca dalam benakku.”
Juliana ganti terdiam.
“Aku paham semua rasa sakit hatimu. Namun kau juga pernah merasakan perasaan indah yang dinamakan cinta. Aku tahu, jauh di dalam lubuk hatimu, kau ingin merasakannya lagi.”
Air mata hampir menetes dari pelupuk mata Juliana, namun ia menahannya.
“Jika kau pernah merasakannya, maka kau pasti tahu mengapa aku tak bisa kehilangan dia.”
“Namun apa gunanya jika kau tak mampu memilikinya?” tanya Juliana, berusaha mengeraskan hatinya.
“Jika menjadi sahabatnya bisa membuatnya bahagia,” jawab Januar, “Itu sudah cukup buatku.”
Januar berbalik dan pergi.
Juliana hanya terdiam, meratapi nasibnya.
“Apakah dia seberharga itu sampai kau tak bisa melupakannya?” jeritnya dalam hati. “Jika kau tak bisa melupakannya, aku tahu satu cara untuk membuatnya hilang dari ingatanmu selamanya.”
Juliana tersenyum.
“Jika ia mati.”
***
Lana kembali menunggang kuda bersama Shandi dan Fino. Sementara itu ia menatap kagum pada Vivian yang mengendarai motor Harley Davidson sementara Kanti menumpang di sidecar-nya.
Gadis itu lega begitu melihat bangunan rumah sakit yang megah. Mereka beruntung sepanjang perjalanan mereka tak diganggu oleh vampir.
Lana agak kaget ketika turun dan menuntun Fino ke pintu masuk. Rumah sakit ini tampak aman dari gangguan vampir. Tak ada tanda-tanda serangan ataupun mayat yang biasanya banyak bergelimpangan dimana-mana.
“Halo!” teriak Sandhi. “Ada orang di sini?”
Seorang perawat keluar dari balik pintu dan menyambut mereka.
“Selamat datang. Senang rasanya bertemu dengan penyintas lainnya.” kata suster itu.
“Jangan keluar!” kata Shandi panik, “Keadaan masih bahaya di luar sini!”
Perawat cantik itu tersenyum, “Vampir maksudmu? Tenanglah, kalian aman kok di sini. Silakan masuk!”
Dengan kebingungan, Lana dan yang lainnya segera mengikuti perawat itu masuk. Ternyata kondisi di dalam rumah sakit sangatlah normal, seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa. Para perawat dan pasien bebas lalu lalang tanpa mempedulikan bahaya yang mungkin akan muncul.
“Dokter Citra,” suster itu memanggil, “Ada pasien yang datang.”
Seorang dokter wanita berkaca mata keluar menyambut mereka.
“Terima kasih, Suster Sheliza. Apa yang bisa saya bantu?”
“Dokter,” kata Shandi, “Anak ini membutuhkan oksigen secepatnya. Ia menderita asma dan telah menghirup banyak debu vulkanik.”
“Oh, kalau begitu tolong bawa dia ke unit perawatan segera.”
“Baik, Dokter.” suster yang dipanggil Sheliza itu membawa Fino pergi. Lana lega akhirnya setelah perjuangan yang panjang, anak itu akan dirawat secara intensif.
“Dokter Citra, bisakah Anda menceritakan, bagaimana kalian semua selamat dari serangan para vampir? Kalian sepertinya sama sekali tak mencemaskan makhluk-makhluk itu.”
“Vampir takkan menyerang tempat ini.” jawabnya.
“Mengapa?”
“Semula aku juga bingung seperti kalian, namun kemudian aku sadar. Jika vampir membutuhkan darah manusia, maka mereka pasti akan memilih darah manusia yang sehat. Mereka pasti menghindari yang sakit, sebab ada banyak sekali parasit dan patogen yang beredar melalui darah. Dan aku juga menduga, vampir memiliki penciuman yang amat tajam untuk memilih mangsa mereka, seperti kebanyakan predator. Kurasa aroma orang-orang sakit di sini jauh lebih tajam ketimbang yang sehat, sehingga mereka tak mau mendekat.”
“Karena itukah rumah sakit ini aman?” Shandi menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak menduga orang-orang yang lemah seperti orang-orang sakit ini justru selamat dari serangan para vampir haus darah itu.
“Kalian bisa berlindung di sini selama kalian mau.”
“Terima kasih, Dok.” jawab Shandi, “Tapi kami harus bergabung dengan tim UGM untuk mencari cara untuk mengalahkan para vampir.”
“Aku juga berpikir hal yang sama.” jawab Dokter Citra sambil berpikir, “Silakan ikuti aku.”
“Apa? Kau sudah tahu cara membunuh para vampir ini?” Vivian tampak tertarik. Mereka berdua segera mengikuti langkah Dokter Citra.
“Lana.” panggil Kanti dengan cemas.
“Ya, ada apa?” Lana menoleh.
“Ada yang ingin kukatakan padamu ... tentang ...” Kanti merasa ragu.
“Kanti!” tiba-tiba suara panggilan dari Vivian membuat gadis itu tersentak, “Ayo cepat kemari!”
“Ma ... maaf. Kita bicara lain kali saja.”
Gadis itu lalu mengikuti Vivian dengan gugup.
“Apa yang hendak dikatakan gadis itu?” pikir Lana heran.
***
Fino merasa segar setelah mendapat oksigen. Ia melepas maskernya dan melihat seorang anak gadis seusianya tengah berbaring di ranjang rumah sakit.
“Halo.” sapa Fino, “Siapa namamu?”
Gadis itu tersenyum, “Namaku Syari Nurmala. Kau bisa memanggilku Mala.”
“Halo Mala. Kau sakit apa?”
“Kata orang aku sakit parah. Sesuatu tentang darahku. Tapi aku tak begitu mengerti.”
Fino terdiam. Ia sadar selama ini dia kurang menghargai hidupnya. Setelah matahari menghilang hampir sepanjang hari ini, dia sadar betapa ia melewatkan indahnya langit biru dan matahari yang hangat. Melihat kondisi Mala sekarang, ia menyadari bahwa kesehatannya jauh lebih baik ketimbang gadis malang ini.
***
“Apa kau lihat gadis cilik itu?” tunjuk Dokter Citra.
“Gadis yang berbicara dengan Fino itu? Ya, kasihan sekali dia.” kata Lana penuh rasa iba.
“Namanya Mala. Mungkin dialah kunci untuk menghabisi para vampire itu.”
“Bagaimana bisa?”
“Ia menderita penyakit yang sangat aneh. Jumlah sel darah putihnya sangat tinggi.”
“Semacam leukimia?” tanya Shandi.
“Lebih aneh dari itu. Sel-sel darah putihnya cenderung membelah dengan kecepatan tinggi ketika berada di luar tubuh, bahkan bersifat infektif.”
“Lalu bagaimana itu bisa membunuh vampir?” tanya Vivian.
“Para vampir itu menghisap darah untuk suatu alasan. Sepertinya darah sangat penting bagi mereka, mungkin karena mengalami kelainan dalam sintesis hemoglobin sehingga mereka tak bisa menghasilkan sel darah merah sendiri.” Dokter Citra menjelaskan, “Dengan menyerang darah mereka, maka mereka bisa kita lumpuhkan.”
“Ah, aku mulai menangkap maksudmu, Dok.” Kata Shandi, “Kita bisa menyerang para vampir itu menggunakan darah Mala bukan?”
“Maksudnya?” tanya Lana.
“Kita bisa menyuntikkan darah Mala ke tubuh vampir itu sehingga sel-sel darah putihnya akan berkembang biak di dalam tubuh vampir itu dan menghancurkan sel-sel darah merahnya.”
“Namun cara itu tak pernah kami coba sehingga kami tak tahu seberapa efektif rencana itu.”
“Darah Suci?”
Lana berbalik dan melihat seorang gadis tengah menatapnya.
“A ... apa yang barusan kau katakan?”
“Ah maaf,” gadis itu tertawa, “Aku memang sering meracau seperti ini. Kata itu terlintas begitu saja di kepalaku saat melihatmu. Siapa kau?”
“Namaku Lana,” ia masih menatap gadis itu dengan curiga, “Dan kau?”
“Aku Nabila. Apa kau mau kuramal?”
***
“Darah Suci.” bisik Foo dalam tidurnya. “Mengapa nama itu sangat penting hingga tiga dari saudara kita pun mati karenanya.”
“Tugas mencari Darah Suci ini mulai membuatku muak.” kata Nino, “Bila kutemukan, akan langsung kubunuh dia. Aku tak peduli lagi apa kata Pangeran Kegelapan.”
“Bersabarlah Nino, justru kau bisa memanfaatkan Darah Suci untuk membawamu ke tampuk kekuasaan.”
“Apa maksud Tuan Foo?” Nino mulai tertarik.
“Buktikan bahwa kau bisa menangkap Darah Suci sebelum Juliana, maka Pangeran Kegelapan pasti akan mengangkatmu sebagai penggantiku.”
“Lalu dimanakah Darah Suci itu, supaya saya bisa segera menangkapnya?”
Foo mulai berkonsentrasi.
“Dia ada di tempat yang tak ingin kau kunjungi.”
***
“Apa yang kau inginkan untuk kuramal?” tanya Nabila sambil menata kartu tarotnya di atas meja secara terbalik.
“Aku menyukai seseorang,” tanpa sadar Lana melirik ke arah Shandi yang tengah bercakap-cakap dengan Dokter Citra. “Namun ... aku juga memiliki seorang sahabat. Tetapi ia telah berubah ... berubah menjadi seseorang yang tak aku inginkan. Aku bingung ... mereka berdua senantiasa melindungiku. Akan tetapi aku hanya bisa memilih salah satu.”
“Apa yang hatimu inginkan?”
“Yang kuinginkan adalah tak menyakiti satupun dari mereka. Namun sepertinya itu mustahil. Apa ... apa aku harus mundur dari keduanya?”
“Ambillah tiga kartu. Kartu-kartu ini akan menjelaskan tentang takdirmu.”
Lana menurutinya dan mengambil tiga kartu secara acak.
Nabila membuka kartu pertama. Kartu “Judgement”.
“Kau benar. Kau sedang di ambang antara dua pilihan yang sama beratnya. Namun jangan khawatir, kartu ini akan mengatakan bahwa pada akhirnya nanti, pilihan yang akan kau buat sangatlah jelas.”
“Lalu apa arti kartu kedua?”
Lana tersentak melihat kartu kematian, namun Nabila hanya menjawab dengan santai.
“Jangan khawatir. Kartu kematian tak selamanya berarti buruk. Kartu ini berarti kelahiran kembali. Entah, mungkin kelahiran hubungan yang baru. Yang pasti akan terjadi suatu perubahan. Namun kelahiran baru ini selalu dimulai dengan pengorbanan. Jika kau tak mau berkorban, maka kau akan kehilangan sesuatu yang sangat kau cintai.”
Lana tak begitu paham apa yang ia maksudkan, namun ia tetap penasaran akan arti kartu ketiga.
Ketika Nabila mengangkatnya, wajahnya tampak terkejut; jauh lebih terkejut ketika ia menemukan kartu kematian.
“Seven of swords, astaga ...” bisiknya.
“Apa artinya? Apakah itu buruk?”
Nabila hanya menatapnya, “Ini berarti pengkhianatan.”
***
Fino tengah bercakap-cakap dengan Mala ketika ia melihat suatu titik di luar jendela.
“Ada apa Fino?” tanya Mala.
“Ada sesuatu sedang menuju ke sini.”
***
Lana keluar dari kamar Nabila dan berjalan menghampiri Shandi. Namun tiba-tiba Kanti menggamit lengannya.
“Astaga, Kanti!” Lana mengelus dadanya, “Kau membuatku kaget. Ada apa?”
“Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu, Lana! Ini penting!”
“Ada apa memangnya?” tanya Lana keheranan.
“Vivian berusaha ...”
“PRAAANG!!!!”
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari jendela kaca yang pecah. Semua orang menjerit ketika sosok bersayap kelelawar sudah berada di tengah-tengah mereka.
Ia langsung menatap ke arah Lana sambil menyeringai.
“Kita bertemu lagi, Darah Suci!”
“Nino!” jerit Lana.
***
Shandi segera meraih anak panahnya, namun ia lalu tersadar. Ia lengah karena kondisi yang aman dan meninggalkan quiver serta busurnya di dekat pintu masuk.
“Lana!” seru Shandi sambil berlari ke arahnya, “Cepat pergi!!!”
Namun Nino mengangkat tangannya ke arah Shandi dan serta-merta tubuhnya langsung terpental ke belakang, menembus kaca ruangan dimana Fino dan Mala dirawat.
“Ini kekuatan baru yang diberikan Tuan Foo kepadaku,” senyumnya, “Telekinesis.”
“Sheliza, jaga Mala!” perintah Dokter Citra, “Lana, cepat pergi bersamaku ke lab!”
“Kau takkan bisa lari, Darah Suci! Hahaha!!!” Nino dengan langkah santai mengejar mereka berdua.
Sementara itu Vivian hanya menyaksikan semua kejadian itu dari jauh.
“Hmmm ... menarik sekali. Jadi vampir itu mengejarnya.” Vivian tersenyum, “Baguslah ... berarti aku tak perlu repot-repot.”
***
Setiap kali Nino lewat, kaca-kaca yang ia lalui pecah berkeping-keping.
“Kau akan kutangkap, Darah Suci!” serunya, “Huh, bau di sini sangat tak enak. Tapi tak apa ... demi darahmu yang akan kupersembahkan pada Tuan Foo, aku siap melakukan apapun!”
“Dok, mau kemana kita?” tanya Lana.
Dokter Citra membawanya masuk ke sebuah ruangan penuh bahan kimia.
“Ini adalah saat yang tepat untuk menguji teoriku. Cepat! Kunci pintunya!”
Lana menutup pintu kaca, sementara Dokter Citra mengambil sebuah jarum suntik.
“Alihkan perhatiannya, kau bisa?” tanya Dokter Citra.
“Kurasa itu keahlianku. Aku seperti magnet bagi vampir.” Lana memutar-mutar bola matanya. Namun ia siap mempertaruhkan nyawanya untuk mengalahkan vampir ini dan menyelamatkan seisi rumah sakit.
“Hei, Kelelawar Jelek! Aku di sini!” seru Lana. Tiba-tiba kaca di depannya pecah berkeping-keping hingga gadis itu terlontar ke belakang.
Lana yang tersungkur berusaha bangkit, namun Nino telah berada di hadapannya.
Nino hanya mengangkat tangannya ke arah lehernya dan tiba-tiba Lana merasa tercekik. Tubuhnyapun terangkat begitu Nino menaikkan tangannya.
“Aaakkkh ... ” Lana berusaha bicara, namun nafasnya tersendat.
“Ada permintaan terakhir, Darah Suci?”
“Ya!” seru Dokter Citra dari belakangnya, “Pergilah ke neraka!”
Dokter itu segera menyuntikkan jarum berisi darah Mala ke tubuh makhluk itu. Nino berteriak kesakitan dan melepaskan sihirnya atas Lana. Gadis itu terjatuh dan melihat Nino menggeliat kesakitan seolah tubuhnya tengah terbakar dalam kobaran api.
“Aaaaargh!!! Apa ini! Tubuhku ... tubuhku terasa ingin meledak!!!”
“Serum itu berhasil, Dokter!” seru Lana dengan gembira.
“Apa kau ingin meledak sungguhan?” Dokter Citra yang tak sabaran begitu melihat efek darah Mala membunuh Nino perlahan, langsung mengambil sekaleng natrium dari lemari lab dan memasukkannya ke dalam mulut Nino.
Dokter itu segera menghampiri Lana sambil berteriak, “Menunduk!!!”
Kedua orang itu langsung merunduk di lantai begitu kepala Nino meledak dan hancur berkeping-keping.
“Astaga ... apa itu?” tanya Lana kebingungan.
“Natrium dicampur air akan meledak. Tubuh vampir, sama seperti manusia, 90% terdiri atas air.”
“Dokter, terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku. Apa Anda baik-baik saja.”
“Ya, aku harus memeriksa keadaan pasien-pasienku. Kau tak apa-apa di sini?”
Lana mengangguk sementara Dokter Citra meninggalkannya sendiri di ruang laboratorium bersama sisa-sisa jenazah Nino.
Suara langkah sepatu boots yang menginjak pecahan-pecahan kaca mengagetkannya.
“Oh, Vivian.” ucapnya lega, “Kita berhasil membunuh satu vampir lagi.”
“Aku tahu,” ucapnya sambil menarik senjata, “sayang sekali.”
“Sayang sekali?” tanya Lana, “Mengapa?”
“Karena dengan begitu aku terpaksa harus membunuhmu dengan tanganku sendiri.” ujar Vivian sambil membidikkan senapannya ke arah Lana.
TO BE CONTINUED
aduuuhhh macem-macem aja vivian mah... lanjut kak :D
ReplyDeleteBang, kenapa si Vivian tanpa alasan jelas (cuma disuruh) mau bunuh si Lana?? Kirain musuhnya cuma vampir doang, ternyata manusia juga ya...
ReplyDeletedi bab berikutnya bakal dijelasin motifnya
DeleteLanjut bangg, penasaran banget ini������
ReplyDeletecerita buatan bang dave selalu keren! sampe detail banget yg jelasin, berhubung aku anak ips jd agak bingung sm yg bagian si eca jelasin cara buat bunuh vampir, tapi gk papa yg penting asik banget ceritanya. lanjut terus bang dave �� lumayan nih buat ngisi waktu liburan biar gk gabut di rumah. Tp btw ini GGS The Series ya bang dave? hehehe
ReplyDeletechapter selanjutnya kapan bangg???
ReplyDeletekalo windows live writer gue dah bener yaaa
Deletekak dave, aku blh ga copas tulisan ini buat di blog aku? tp aku msh ksh sumber dan penulisnya, kok! buat nambah-nambahin cerita.
ReplyDelete